Dalam 6 bulan wabah semakin tak terkendali dan semakin mengkhawatirkan. Selalu kedisplinan masyarakat dijadikan kambing hitam sebagai penyebab utama kegagalan penanganan wabah. Sehingga aparat Satpol PP, TNI, Polisi sibuk dikerahkan melakukan operasi yustisi penindakan masyarakat yang tidak memakai masker di jalan raya.Â
Padahal data dan fakta menunjukkan kluster terbesar justru bukan di jalan raya tetapi di perkantoran pemerintah, pasar, tempat ibadah, dan rumah makan.
Ketika banyak negara dalam 3 bulan sudah berhasil keluar dari wabah covid-19 gelombang pertama. Indonesia justru belum bisa keluar dari wabah gelombang pertama tragisnya justru semakin meningkat mengkawatirkan. Bahkan setiap hari dilaporkan rekor harian kenaikkan baru kasus. Tampaknya banyak yang harus dievaluasi dalam penanganan wabah di indonesia.
Data dan fakta epidemiologis yang ada dalam wabah sebenarnya dapat dijadikan dasar langkah ilmiah untuk pencegahan dan penanganan pandemi.Â
Ketika langkah ilmiah tersebut tidak digunakan sebagai langkah utama dalam perencanaan pencegahan penyakit maka yang terjadi adalah salah langkah dalam penanganan wabah. Ketika kluster utama adalah perkantoran dan pasar maka fokus utama bukan operasi yustisi di jalan raya.
Benarkah masyarakat tidak displin? Hasil survei yang dilakukan oleh Social Resilience Lab Nanyang Technological University menunjukkan bahwa 90 persen warga Ibu Kota mengaku rajin mencuci tangan, 97 persen menjaga jarak, dan 90 persen memakai masker saat di luar rumah.Â
Data itu juga dikuatkan oleh fakta di lapangan yang diungkapkan Arifin, Ketua Satpol PP DKI Jakarta saat melakukan operasi penertiban PSBB di jalanan. Saat ini sulit mencari warga Jakarta tidak memakai masker di jalanan. Masyarakat Jakarta tampaknya sudah disiplin.
Data lain menunjukkan bahwa ketidak disiplinan tampanya bukan yang utama. Didapatkan data bahwa 90% penderita covid19 ternyata sudah memakai masker saat aktifitas di luar.Â
Fakta lain mengungkapkan hanya sekitar 0,7% driver ojek online yang dirawat di RS Isolasi Wisma Atlit di Jakarta. Teori epidemiologis juga menjelaskan bahwa jarak lebih dari 2 meter dan bukan kerumunan seperti di jalan raya dianggap bukan sebagai tempat resiko penularan utama.
Tidak banyak disadari dan luput dari penanganan, justru kluster terbesar penularan covid-19 adalah perkantoran.Â
![drwido.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/09/22/blendmephoto1588563977494-860x280-5f694b76d541df0991656132.jpg?t=o&v=770)
Kementerian Komunikasi dan Informatika (65 kasus), Kementerian Pertahanan (64 kasus), Kementerian Keuangan (61 kasus), Asrama Cendrawasih Pemda Papua (60 kasus) dan Dinas Kesehatan DKI (55 kasus).Â
Data yang memprihatinkan ini justru aparat ASN khususnya kementrian kesehatan yang selama ini jadi tulang punggung pemerintah untuk memberikan edukasi dan teladan pada masyarakat justru kedodoran menjadi kluster utama sarang penularan.
Data lain menunjukkan bahwa kluster rumah makan juga banyak dilaporkan sebagai kluster penularan. Hal ini didukung oleh fakta ilmiah yang diungkapkan Penelitian CDC menunjukkan bahwa rumah makan, kedai kopi atau restoran justru menunjukkan 4 kali lebih beresiko dari pada penularan di kendaraan umum.
Apa makna semua itu? Tampaknya selama ini upaya untuk selalu menyalahkan masyarakat sebagai biang penyebab wabah yang tidak terkendali menjadi tidak relevan dan jangan diteruskan.Â
Memang benar ada beberapa masyarakat yang belum dispilin, tetapi selama ini media dan pejabat selalu berlebihan menganggap masyarakat Indonesia adalah biangnya kesalahan penanganan wabah.Â
Sehingga masyarakat sudah terancam kesehatan dan terpuruk dalam ekonomi, dibebani lagi dengan vonis menjadi masyarakat yang paling tidak disiplin di muka bumi ini.Â
Apalagi penindakan operasi yang berlebihan ketika masyarakat mengeluh menurunkan masker didagu saat berkendaraan di jalan raya atau tidak memakai masker di dalam mobil langsung mendapat sangsi denda dan sanksi sosial. Padahal jalan raya buka tempat yang beresiko terjadi penularan.
Selama ini tidak disadari sumber penularan justru lebih banyak ada dalam perkantoran. Selama ini para karyawan perkantoran mungkin saja banyak tidak memakai masker, menurunkan masker atau tidak menjaga jarak saat dalam ruangan. Karena, para karyawan menganggap di dalam kantor aman.Â
Selama ini teman kantor dianggap sehat karena di pintu masuk kantor semua sudah ditembak Thermo Gun dan harus cuci tangan. Inilah yang menyesatkan, karena kasus OTG justru adalah musuh yang tidak kelihatan di sekitar karyawan kantor tetapi dianggap bersih. Mungkin hal inilah yang membuat berbagai perkantoran khususnya instansi pemerintah banyak yang kebobolan jadi kluster utama.
Hal lain yang membuat perkantoran, rumah makan, tempat ibadan dan pasar sebagai kluster utama karena CDC dan WHO telah merevisi rekomendasi pencegahan bahwa penularan lewat udara harus lebih diperhatikan. Sehingga tempat tertutup justru menjadi sangat rawan dibandingkan tempat terbuka seperti jalan raya.
Tampaknya penanganan selanjutnya bukan lagi menyalahkan masyarakat  tetapi melakukan evaluasi mengapa justru kluster utama justru diperkantoran khususnya instansi pemerintahan.Â
Melihat data dan fakta tersebut tampaknya strategi pencegahan harus direvisi. Bukan sibuk mencari kesalahan pemakaian masker di jalanan tetapi fokus melakukan penertiban ketidak disiplinan di perkantoran, rumah makan, pasar, dan tempat ibadah.
Dalam mengevaluasi pelaksanaan kediplinan di dalam perkantoran memang tidak mudah. Karena, saat dilakukan sidak ke lapangan pasti karyawan kantor segera berbenah menutup masker yang sempat ditaruh dibawah dagu atau di kantong.Â
Satgas dalam perkantoran atau perusahaan yang dibentuk juga tidak efektif, buktinya kluster di perusahaan dan perkantoran menjadi utama. Hal yang bisa dilakukan mungkin mengevaluasi secara berkala CCTV di setiap perkantoran. Sangsi tegas harus diberikan bila CCTV tidak berfungsi, dimatikan atau di edit saat jam jam tertentu.
Langkah cepat yang dilakukan oleh Gubernur DKI jakarta tampaknya sudah sangat tepat dengan meningkatkan PSBB menjadi lebih ketat. Meski harus disindir 3 menteri karena dianggap mengganggu ekonomi.Â
Dalam setiap narasi yang diucapkan Anis Baswedan tampaknya sudah benar. Gubernur tidak serta merta menyalahkan masyarakat tetapi langsung menutup sementara semua perkantoran di Jakarta dan semua rumah makan hanya melayani "take away".
Untuk kluster rumah tangga tampaknya pemerintah harus mengandalkan peran tokoh masyarakat setempat, RT atau RW dalam melakukan lockdown kampung saat daerahnya menjadi daerah oranye atau merah.
Kejujuran dan konsistensi harus lebih kuat dilakukan. Ucapan presiden bahwa kesehatan lebih utama, bila masalah kesehatan membaik ekonomi akan membaik harus dijadikan pedoman bukan hanya dijadikan ucapan. Jangan lagi ada narasi bahwa Indonesia situasinya membaik karena angka penyembuhan meningkat.Â
Pakar epidemiologis sudah mengingatkan dengan keras bahwa keberhasilan penanganan wabah adalah menurunkan angka kematian, menurunkan recovery rate, positivity rate. meningkatkan jumlah tes dan meningkatkan tracing bukan meningkatkan angka kesembuhan. Faktanya semua parameter itu semua di negeri ini sedang sangat tidak baik.
Angka kesembuhan bukan parameter perbaikan dan keberhasilan, karena 80% penderita mengalami gangguan ringan yang akan sembuh sendiri.Â
Sebagian besar sembuh bukan karena keberhasilan pemerintah, bukan obat penemuan BIN-TNI, bukan karena obat herbal dari "profesor H", bukan karena vitamin yang mahal, bukan karena berjemur sampai gosong, bukan karena kalung anti virus atau alat terapi lain yang tidak ilmiah.
Pesan 3M di telinga masyarakat tampaknya sudah sangat berlebihan, mungkin sudah tidak muat lagi di otak banyak orang. Bila 3M sudah dilakukan habis habisan oleh masyarakat, tetapi tidak berhasil mengendalikan wabah, apalagi yang harus dilakukan?Â
Langkah sederhana yang harus dilakukan bukan mencari kambing hitam di jalan raya tetapi segera menutup sementara daerah hitam sumber penularan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI