Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KAMI Vs KITA: Mengkritisi Kaum Pengkritik

24 Agustus 2020   07:47 Diperbarui: 24 Agustus 2020   07:46 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah muncul gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), kini muncul deklarasi tandingan bernama Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA). KITA ini dideklarasikan oleh mantan Direktur Relawan TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, yaitu Maman Imanulhaq. "Tidak ada Kami, tidak ada Kamu. Yang ada KITA. KITA Indonesia," kata Maman selalu Koordinator KITA seperti keterangan tertulis yang diterima pada Jumat, 21 Agustus 2020. 

Tampaknya gerakan moral yang dideklarasikan tokoh Muhamadiyah, NU, Mantan Panglima TNI dan para tokoh lainnya disikapi dengan cara yang unik dalam kehidupan berdemokrasi. Memang KITA punya hak untuk menyuarakan pendapatnya. 

Tetapi sikap sikap reaktif itulah yang menjadi pergunjingan dalam masyarakat demokrasi. Para tokoh pengusung demokrasi akan menilai bahwa KITA adalah mengkritik untuk kaum pengkritik. Tetapi bagi pendukungnya, KITA adalah pahlawan penyelamat bangsa dari rongrongan kaum anarkis dan kaum makar.

Menurut mantan Direktur Relawan TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, yaitu Maman Imanulhaq. , KITA adalah koalisi independen yang menyemai, mengembangkan dan melestarikan Tanah Air Indonesia sebagai bagian dari diri, identitas dan masa depan bersama."KITA Bergerak dalam politik kesadaran yang berusaha membangun masyarakat-yang-terbayang (imagined community) Indonesia yang kreatif dan berkelanjutan," ujar Anggota DPR Fraksi PKB ini. 

Deklarasi KITA dilakukan oleh beberapa organ relawan di Gedung Joeang Jalan Menteng 31 Jakarta Pusat seperti dilansir Kompas pada Rabu, 19 Agustus 2020. Rencananya, KITA sebagai gerakan moral akan terus melakukan silaturrahmi kepada tokoh bangsa, lembaga negara, partai politik dan ke daerah-daerah

Sebelumnya sejumlah tokoh mendeklarasikan KAMI di lapangan Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa, 18 Agustus 2020. Koalisi ini diisi sejumlah tokoh nasional, seperti eks politikus PPP, Ahmad Yani, mantan panglima TNI Jenderal (purnawirawan) Gatot Nurmantyo, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-26) Rochmat Wahab. 

Kemudian ada akademikus Rocky Gerung, pakar hukum tata negara Refly Harun, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhamad Said Didu. Lalu ada ekonom Ichsanuddin Noorsy, mantan Komisioner KPU Chusnul Mariyah, dan aktris senior Neno Warisman. Saat ini beberapa daerahpun sudah mulai beramai ramai mendeklarasikan KAMI.

Kedua kelompok tersebut tidak salah dalam era demokrasi saat ini karena sama sama mempunyai hak untuk menyuarakan aspirasi dan mempunyai hak untuk berserikat. Tidak harus dikritisi bila kedua kelompok tersebut berdiri demi kepentingan rakyat dan bangsa. Akan menjadi tidak benar saat masing kelompok tersebut bergerak demi kepentingan invidu, kelompok tertentu dan kekuatan besar tertentu. Untuk membedakan hal tersebut tidak sulit dan masyarakat Indonesia sudah cerdas menilai.

Persamaan dan Perbedaan KAMI dan KITA

Persamaan KAMI dan KITA adalah sama sama mengkalim suara rakyat Indonesia. Persamaan lainnya sama mengkalaim mempunyai hak demokrasi untuk berserikat dan suara rakyat dilindungi undang undang. Persamaan lainnya sama sama mengklaim dari berbagai kelompok rakyat baik dari tokoh peduli agama, sosial dan politik. Persamaan penting lainnya adalah sama sama mengklaim bertujuan untuk membuat Indonesia lebih baik.

Perbedaannya, banyak pengamat politik menyebutkan bahwa KITA adalah respon dari reaktif menyikapi deklarasi dari KAMI. Hal reaktif itu sangat jelas bisa dilihat dari pemilihan waktu dan pemilihan kata KITA. Waktunya hanya beberapa hari setelah deklarasi KAMI. Nama KITA dikonotasikan untuk melawan kata KAMI. 

Bila KITA sebagai hanya sebagai sikap reaktif dari aktifitas KAMI maka hal ini akan menjadi preseden unik di kemudian hari. Karena, semua aktifitas dan suara KITA hanya terkesan akan meredam melawan argumentasi dan aktifitas  KAMI. Pemilihan kata KAMI juga dianggap merupakan langkah awal dari sikap konfrontatif terhadap KAMI.

Ketika terjadi perseteruan argumentasi dengan diskusi yang cerdas dan rasional berdasarkan fakta, data dan solusi hebat maka akan menjadi pelajaran demokrasi yang baik bagi rakyat. Ketika pertarungan argumentasi tidak disertai niat baik untuk membangun negeri maka akan pasti akan terjadi pertentangan yang tidak berkualitas dan tidak menyentuh substansi atau masalah perdebatan. 

Contoh kecil, pemilihan kata KITA juga menurut para pakar komunikasi merupakan pemiihan kata konfrontatif. Sehingga perdebatan nantinya pasti tidak akan berfokus pada substansi masalah tetapi substansi perbedaan konotasi kata KAMI dan KITA. 

Sehingga bisa ditebak bahwa dengan perdebatan konotasi kata KITA dan KAMI saja pasti akan ada yang mengklaim mewakili kepentingan suara seluruh rakyat Indonesia, sedangkan kelompok lain hanya menyuarakan kelompok tertentu. Padahal kelompok KAMI dan KITA sama sama tidak bisa mengklaim menyuarakan seluruh rakyat Indonesia. 

Ketika perseteruan diskusi aspirasi tersebut disertai kata tidak komunikatif bahwa kelompok KAMI kelompok post power syndrome, penyebar HOAKS, tidak optimis, penuh kebencian, nyinyir, memanfaatkan wabah covid19, tidak ada solusi, saat menjabat tak berbuat apa apa dan kalimat tidak bijak lainnya akan menjadi tidak produktif. Sehingga pertentangan akan menjadi perdebatan kusisr dan keluar dari subtansi penting yang diperdebatkan,

Ketika pertarungan argumentasi tersebut disertai tudingan bahwa KITA adalah kelompok yang digerakkan oleh tangan pemerintah atau kekuatan besar, mengadu domba rakyat dengan rakyat, menjilat penguasa, kelompok nasi bungkus, dan kata kata tidak komunikatif lainnya maka perdebatan mereka dipastikan tidak akan mendidik lagi dan diksusi akan keluar dari masalah penting perdebatan dan tidak akan menjadi solutif lagi

Menurut banyak pengamat sosial dan politik berpendapat bahwa KITA adalah sikap reaktif dari kelompok masyarakat dalam menyuarakan dan menyikapi masalah ketidakadilan dan perbedaan penanganan sosial, demokrasi, ekonomi, hukum dan politik. Hal itu tidak salah bila dilandasi dengan niat baik demi untuk kepentingan rakyat dan bangsa. 

Tetapi hal itu akan menjadi pelajaran demokrasi yang buruk bila hal itu dilakukan demi kepentingan invidu dan kemlompok tertentu. Bila hal ini terjadi maka kekawatiran paranoid kelompok masyarakat tertentu akan terbukti bahwa ada upaya untuk menggerakkan rakyat untuk melawan rakyat perbedaan pendapat di kalangan masyarakat.  Bila hal ini terbukti maka perseteruan terjadi bukan hanya perseteruan ide dan gagasan tetapi pertentangan fisik di kalangan masyarakat bawah yang terprovokasi.

Bagaimana Rakyat Harus Bersikap ?

Para pengamat sosial mengungkapkan bahwa kondisi struktur masyarakat Indonesia saat ini secara umum apapun kepentingan individu dan kempoknya pasti akan bermuara pada dua kutub besar paska perseteruan PIlpres 2019. Satu kelompok yang didominasi kelompok nasionalis, kelompok Islam tradisional, kelompok minoritas dan kelompok partisan politik. 

Sedangkan kelompok lainnya akan didominasi oleh kelompok Islam yang bukan dari kelompok Islam tradisional, kelompok nasionalis yang idealis dan independen dan kelompok non partisan partai politik. Kelompok nasionalis dan kelompok partisan politik ini biasanya akan mudah berpindah haluan tergantung angin besar bertiup demi kepentingan individu dan kelompoknya.

Kutub besar kelompok masyarakat ini tampaknya sulit disatukan apalagi dalam masalah perbedaan pendapat tentang masalah sosial, politik dan ekonomi saat terjadi wabah pandemi ini. Perbedaan pendapat tentang masalah politik atau SARA akan lebih mudah memicu konflik horizontal yang besar di antara masyarakat. 

Perbedaan kedua kutub besar dalam masyarakat tersebut mengakibatkan selama ini terus terjadi saling curiga dan saling paranoid yang kuat. Kelompok satu selalu mencurigai isu komunisme, kelompok lainnya mencurigai isu khilafah. Kedua isu tersebut selama ini digunakan sebagai senjata utama oleh masing kelompok untuk saling membungkam dan saling menghancurkan. Bahkan ke dua isu itu digunakan untuk saling adu domba umat mayoritas negeri ini.

Perseteruan pendapat dan argumentasi di alam demokrasi adalah hal yang biasa selama semua kelompok sadar bahwa tidak saling menghina, tidak memfitnah, tidak berkata kasar terhadap kelompok lainnya. Perbedaan pendapat di alam demokrasi tidak masalah selama tidak ada upaya provokasi emosi dan fisik untuk melanggar hukum dan tindakan anarkisme.

Apa yang kita pahami tentang negara demokrasi di negeri ini bukanlah seperti apa yang dipahami oleh orang Athena di zaman Pericles. Gagasan Yunani, Romawi, abad pertengahan, dan Renaisans bercampur dengan gagasan abad-abad berikutnya untuk menghasilkan campuran teori dan praktik yang seringkali sangat tidak konsisten. 

Untuk mengembangkan teori demokrasi yang memuaskan akan menuntut kita untuk menggali asumsi-asumsi dalam teori bayangan, menundukkannya pada pemeriksaan serta analiis kritis, dan mencoba menyusun kembali teori demokrasi menjadi keseluruhan yang koheren. Dalam mengidentifikasi dan mengeksplorasi asumsi yang menjadi landasan untuk membangun teori demokrasi yang koheren, argumen kritikus demokrasi, baik yang bermusuhan maupun simpatik akan menjadi sangat berharga.

Sebagai negara demokrasi negeri ini sebenarnya masih harus belajar banyak. Baik para pengkritik dan pihak yang dikiritik serta pendukungnya. Para pengkritik yang bijaksana akan melakukan kritik dengan santun penuh data, fakta dan solusi. Pihak yang dikritik yang mulia harus berhati dingin dan berjiwa besar bahwa manusia itu tempatnya salah dan menerima kritik adalah untuk kebaikan bersama.

Masalahnya saat ini feodalisme masih terus mengangakangi demokrasi,  Kebanyakan kita lebih suka dihancurkan oleh pujian daripada diselamatkan oleh kritik. Bila jiwa tidak demokratis tidak ingin menerima kritik dapat dilakukan cara mudah yaitu dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa, dan tidak menjadi apa-apa. Sehingga semakin tinggi pohon, semakin banyak bunyi yang ditimbulkan, semakin banyak dampak yang ditimbulkan maka angin kritik bertiup semakin kencang adalah keniscayaan

Kritik adalah seperti suara alam ketika alam dirusak oleh tangan tangan jahil manusia. Kritik adalah gigitan sekelompok semut ketika mereka diinjak oleh ketidak adilan sosial, ekonomi dan politik. Kritik adalah suara perut rakyat, ketika rakyat kelaparan akibat negara yang kaya raya semua harus impor karena salah kelola. Kritik adalah suara kebenaran ketika kesewenang wenangan menyumbat luapan demokrasi rakyat.

Sebenarnya kebuntuan demokrasi seperti saat ini adalah anomali kehidupan bernegara yang harus dihadapi dengan jiwa demokratis. Jiwa demokratis seharusnya menerima kritik dengan diskusi yang santun penuh fakta dan data dengan niat tulus yang akan menghasilkan solusi yang cerdas. 

Bukan dengan melawan dengan aktifitas fisik dan narasi yang tidak santun dan demokratis, Bila dalam diskusi tersebut merasakan ada sinyal singal  kebenaran segera merenung dan berkaca diri mengapa selama ini memuja ketidak benaran. Bila tidak sepakat jangan merasa menang sendiri dan menghujat individu pribadi lawan diskusi dengan kalimat fitnah yang tidak bijak. Seharusnya sebagai rakyat yang sehat di negara demokrasi ini, bukan mengkritisi para pengkritik tetapi mengkritisi kebijakan penguasa yang menelantarkan rakyat.

Sebaliknya para pengkritik harus siap berdiskusi dengan data, fakta dan solusi. Kritik, seperti hujan, harus cukup lembut untuk menyehatkan pertumbuhan manusia tanpa merusak akarnya. Kritik mungkin tidak menyenangkan, tapi itu perlu. Ini memenuhi fungsi yang sama dengan rasa sakit di tubuh manusia. Ini menarik perhatian pada keadaan yang tidak sehat.

Sejarah mencatat itulah pembeda antara raja dan seorang demokrat dalam menerima kritik. Seorang raja yang lalim bila tahu seorang rakyatnya berbeda pendaoat saja maka resiko yang dihadapi adalah tiang gantungan. Tetapi seorang pemimpin demokrat bila berbeda pendapat justru akan mengundang makan siang para pengkritik di istananya. 

Istana para pemimpin demokrat seharusnya bukan hanya dipenuhi oleh para pemuja kuasa tetapi juga harus mengundang para pembeda pendapat. Rakyat sangat ingin melihat pemimpinnya mengundang tokoh KAMI dan KITA duduk dalam satu meja makan siang di Istana.

Bila kesantunan demokrasi dan kepentingan kelompok dijauhkan dengan mengutamakan kepentingan bersama  maka  komunikasi provokatif untuk kelompok lain seperti kadrun, radikal, intoleran, post power syndrome, penyebar HOAKS, tidak optimis, penuh kebencian, nyinyir, memanfaatkan wabah covid19, tidak ada solusi, saat menjabat tak berbuat apa apa dan kalimat tidak bijak lainnya tidak akan terjadi.

Bila etika demokrasi dan niat baik demi kepentingan bangsa dan negara diutamakan maka kecurigaan dan ucapan tidak produktif seperti kelompok yang digerakkan oleh tangan pemerintah atau kekuatan besar, mengadu domba rakyat dengan rakyat, menjilat penguasa, kelompok nasi bungkus, dan kata kata tidak komunikatif lainnya akan tidak terjadi lagi.

Dalam kehidupan demokrasi tidak ada bedanya saat pandemi Covid19 dan bukan pandemi. Rakyat akan menilai dengan akal sehat demokrasi manakah yang berpihak pada rakyat dan kepentingan bangsa, KAMI atau KITA ?  Sejarah di masa depan akan bisa membuktikan manakah yang benar di antara KAMI dan KITA ?. 

Memang tidak mudah hidup di negara demokrasi yang anti kritik ini. Bangsa ini harus belajar banyak untuk menghargai perbedaan pendapat dan hidup berdemokrasi. Bila rakyat peduli pada ketidakadilan ekonomi, sosial, politik dan hukum maka tidak akan ada lagi pembela kemungkaran dan pembela ketidakadilan di negeri ini. 

Bila akal sehat tumbuh di otak demokratis maka mengkritisi pejabat adalah hal yang biasa, karena manusia adalah tempatnya kesalahan. Menjawab kritik bukan dengan meredam dan melawan orang yang mengkritik, tetapi menjawab dengan argumentasi yang cerdas. Bila demokrasi dijunjung tinggi maka tidak ada lagi upaya mengkritisi kaum pengkritik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun