Perbedaannya, banyak pengamat politik menyebutkan bahwa KITA adalah respon dari reaktif menyikapi deklarasi dari KAMI. Hal reaktif itu sangat jelas bisa dilihat dari pemilihan waktu dan pemilihan kata KITA. Waktunya hanya beberapa hari setelah deklarasi KAMI. Nama KITA dikonotasikan untuk melawan kata KAMI.Â
Bila KITA sebagai hanya sebagai sikap reaktif dari aktifitas KAMI maka hal ini akan menjadi preseden unik di kemudian hari. Karena, semua aktifitas dan suara KITA hanya terkesan akan meredam melawan argumentasi dan aktifitas  KAMI. Pemilihan kata KAMI juga dianggap merupakan langkah awal dari sikap konfrontatif terhadap KAMI.
Ketika terjadi perseteruan argumentasi dengan diskusi yang cerdas dan rasional berdasarkan fakta, data dan solusi hebat maka akan menjadi pelajaran demokrasi yang baik bagi rakyat. Ketika pertarungan argumentasi tidak disertai niat baik untuk membangun negeri maka akan pasti akan terjadi pertentangan yang tidak berkualitas dan tidak menyentuh substansi atau masalah perdebatan.Â
Contoh kecil, pemilihan kata KITA juga menurut para pakar komunikasi merupakan pemiihan kata konfrontatif. Sehingga perdebatan nantinya pasti tidak akan berfokus pada substansi masalah tetapi substansi perbedaan konotasi kata KAMI dan KITA.Â
Sehingga bisa ditebak bahwa dengan perdebatan konotasi kata KITA dan KAMI saja pasti akan ada yang mengklaim mewakili kepentingan suara seluruh rakyat Indonesia, sedangkan kelompok lain hanya menyuarakan kelompok tertentu. Padahal kelompok KAMI dan KITA sama sama tidak bisa mengklaim menyuarakan seluruh rakyat Indonesia.Â
Ketika perseteruan diskusi aspirasi tersebut disertai kata tidak komunikatif bahwa kelompok KAMI kelompok post power syndrome, penyebar HOAKS, tidak optimis, penuh kebencian, nyinyir, memanfaatkan wabah covid19, tidak ada solusi, saat menjabat tak berbuat apa apa dan kalimat tidak bijak lainnya akan menjadi tidak produktif. Sehingga pertentangan akan menjadi perdebatan kusisr dan keluar dari subtansi penting yang diperdebatkan,
Ketika pertarungan argumentasi tersebut disertai tudingan bahwa KITA adalah kelompok yang digerakkan oleh tangan pemerintah atau kekuatan besar, mengadu domba rakyat dengan rakyat, menjilat penguasa, kelompok nasi bungkus, dan kata kata tidak komunikatif lainnya maka perdebatan mereka dipastikan tidak akan mendidik lagi dan diksusi akan keluar dari masalah penting perdebatan dan tidak akan menjadi solutif lagi
Menurut banyak pengamat sosial dan politik berpendapat bahwa KITA adalah sikap reaktif dari kelompok masyarakat dalam menyuarakan dan menyikapi masalah ketidakadilan dan perbedaan penanganan sosial, demokrasi, ekonomi, hukum dan politik. Hal itu tidak salah bila dilandasi dengan niat baik demi untuk kepentingan rakyat dan bangsa.Â
Tetapi hal itu akan menjadi pelajaran demokrasi yang buruk bila hal itu dilakukan demi kepentingan invidu dan kemlompok tertentu. Bila hal ini terjadi maka kekawatiran paranoid kelompok masyarakat tertentu akan terbukti bahwa ada upaya untuk menggerakkan rakyat untuk melawan rakyat perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Â Bila hal ini terbukti maka perseteruan terjadi bukan hanya perseteruan ide dan gagasan tetapi pertentangan fisik di kalangan masyarakat bawah yang terprovokasi.
Bagaimana Rakyat Harus Bersikap ?
Para pengamat sosial mengungkapkan bahwa kondisi struktur masyarakat Indonesia saat ini secara umum apapun kepentingan individu dan kempoknya pasti akan bermuara pada dua kutub besar paska perseteruan PIlpres 2019. Satu kelompok yang didominasi kelompok nasionalis, kelompok Islam tradisional, kelompok minoritas dan kelompok partisan politik.Â