Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Penyair Berkonde: Ketika Pintu Maaf Dilapangkan, Mengapa Hukum Tidak Bisa Memaafkan?

6 April 2018   09:18 Diperbarui: 6 April 2018   09:43 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Pintu Maaf Dilapangkan, Mengapa Hukum Tidak Bisa Memaafkan ?

ketika pintu insyaf dilapangkan
maka Al Ghaaffar dan Al Ghafuur akan tetap Maha Pengampun
maka umat yang ikhlas akan tetap memaafkan

setelah pintu maaf dibukakan
mengapa masih saja barisan kepala kepala kaku katakan tidak bersalah
bukankah pernyataan maaf adalah kosa kata bermakna salah

saat pintu maaf dilebarkan
mengapa masih saja berlembar lembar ujaran tak rasional bertebaran
mengapa sang penyair dan kaumnya masih saja sebar berjuta alasan
katakan si penyair tidak bersalah
sebutkan si sastrawan hanya sekedar ungkapkan seni
ungkapkan si seniman tidak tahu syariat
ujarkan si penyair hanya katakan muadzin suaranya parau
hinakan umat yang meradang lebay

setelah pintu maaf dilebarkan
mengapa masih saja beralasan berlindung dibalik seni
puisi itu indah bila tidak dibalut kebencian
puisi itu cantik bila tidak diselimuti kecurigaan
syair itu halal di mata hukum bila tidak disampuli penistaan
para penista jangan lagi bersembunyi di balik ketiak seni

kalau sudah merengek ampunan
mengapa ketidaktahuan syariat terus jadi alasan
bukankah banyak sahabat yang tidak tahu syariat selalu dimuliakan umat
kalau mereka selalu menghormati keyakinan rakyat mayoritas
bukankah banyak saudara yang tidak paham syariat akan dilebihkan Allah
kalau mau belajar meski baca Quran terbata bata
bukankah banyak kawan yang tidak pintar syariat tetap menjadi sahabat
kalau kebencian tidak tertutur dari verbalnya
para penista janganlah berlindung di balik ketidahtahuan syariat

kalau sudah menetes airmata tanda insyaf
mengapa terus katakan bukan adzan yang tidak bagus tetapi muadzin suaranya buruk
saat kamu gelisah mendengar indahnya adzan, tetapi jangan nista suara langit itu
bagi umat seburuk buruk suara muadzin, adzan tetap suara yang paling indah di jagat raya
saat kamu gerah memakai baju putih, tetapi jangan hina baju warisan Ilahi
bagi umat selusuh lusuh kain panjang, baju putih muslim adalah pakaian paling anggun di bumi ini

kalau hukum tidak beradil

kalau hukum hanya milik para fobia

maka kebencian senantiasa diumbar, kegaduhan terus mengoyak bangsa

maka kebencian selalu memanasi ubun ubun, penista penista baru akan terus terlahir dari rahim para munafih pengoyak bangsa

para fobia berdalih dibalik kata kata

para fobia berkelit di balik punggung penguasa

para fobia bersembunyi di balik ketiak pengayom rakyat

bila itu senantiasa terjadi maka bangsa akan terberai sebelum 2030

bila itu selalu terkooptasi maka negeri akan terbelah sebelum ramalan pakar

inilah alasan sejarah bangsa

mengapa hukum tidak bisa memaafkan penista

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun