KONTROVERSI TES ALERGI : DIAGNOSIS DAN TERAPI ALTERNATIF BIORESONANSI, BERMANFAATKAH ?
BIORESONANSI SEBAGAI UNPROVEN TEST ATAU ALTERNATIVE TEST : TES ALERGI YANG TIDAK DIREKOMENDASIKAN
Pemeriksaan elektromagnetik yang berdasarkan biofisika seperti bioresonansi, atau tes vega adalah metoda diagnosis unproven dan “unorthodox” atau tak lazim dipakai dalam dunia kedokteran dalam mendiagnosis alergi dan beberapa penyakit. Pemeriksaan ini digunakan tidak berdasarkan dasar ilmiah dan tidak terdapat data ilmiah bersifat penelitian terkontrol yang dapat membuktikan manfaat alat diagnosis ini. Pemeriksaan vega hanya akan menimbulkan penanganan penyakit yang tidak benar dan menimbulkan beban tambahan biaya bagi pasien dan masyarakat. (Journal Med J Aust 1991; 155: 113-114). Katelaris dan Holgate telah melakukan penelitian buta ganda terkontrol dengan membandingkan pengujian VEGA dengan tes alergi konvensional pada penderita alergi. Simpulan penelitian tersebut menunjukkan bioresonansi tidak reproduktifitas atau tidak akurat sama sekali sebagai alat diagnostik dan alat terapi. Namun sampai sekarang, produsen alat ini dengan agresif mempromosikan tes dan menawarkan program pelatihan gratis untuk para diagnosticians alergi. Bahkan sebagian dokter dan klinisipun ikut terpengaruh dengan promosi tersebut
Dalam beberapa tahun belakangan ini, berbagai terapi alternatif banyak bermunculan di Indonesia. Diantaranya adalah terapi lilin, terapi batu giok, terapi kalung, terapi magnetic dan yang terakhir adalah terapi bioresonansi. Saat ini di berbagai tempat di Indonesia khususnya di Jakarta banyak bermunculan terapi alternatif bioresonansi. Sebagai alat terapi dan diagnosis alternatif, tentunya masih menjadi kontroversi. Meskipun sebagai terapi alternatif, tetapi tetap saja banyak dokter yang menggunakannya. Dokter dan klinisi yang memakai alat tersebut “mengklaim” bahwa alat ini dapat digunakan mencari dan menyembuhkan alergi tanpa obat. Sedangkan penderita alergi yang sudah frustasi dengan berbagai keluhan yang ada dan sudah bosan minum obat jangka panjang pasti akan tertarik untuk mencobanya. Benarkah alat bioresonansi, bermanfaat secara klinis.
Alergi adalah penyakit konis dan berlangsung lama dan akan hilang timbul timbul sangat mengganggu. Alergi adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, hirupan atau yang lainnya. Sebagai suatu penyakit kronis yang berkepanjangan, membuat para klinisi maupun penderita kadang frustasi. Akibatnya, banyak timbul terapi alternatif untuk mengatasi keluhan yang berkepanjangan tidak membaik. Meskipun ilmu dan tehnologi kedokteran sangat maju, tetapi ternyata tidak membuat penyakit alergi membaik, bahkan sebaliknya kasusnya semakin meningkat saja. Berbagai keluhan tubuh yang sering dikaitkan dengan gejala alergipun masih banyak diperdebatkan. Seperti migraine, kolik, konstipasi, gangguan perilaku dan sebagainya masih diperdebatkan apakah alergi makanan berkaitan dengan gejala tersebut. Tampaknya salah satu penyebab berbagai masalah kontroversi tersebut, sampai saat ini belum ada alat diagnosis yang dapat memastikan penyebab alergi kecuali secara klinis atau eliminasi provokasi. Selain belum jelasnya terungkap misteri alergi, juga didukung oleh tingginya kasus penderita alergi dalam masyarakat. Sehingga peluang bisnis ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menggunakan alat kesehatan komersial.
Alat yang digunakan dalam terapi bioresonansi sering disebut sebagai Vega, Biocom, Biovoive dan berbagai sebutan lainnya. Alat Bioresonansi pertama kali dikembangkan oleh dokter Jerman Voll Dr Reinhold pada tahun 1958. Kemudian dikembangkan oleh Hans Brugemann dari Jerman sekitar tahun 1976, dan dipopulerkan oleh Dr Peter Schumacher sebagai teknik yang ampuh untuk menyembuhkan alergi, pada tahun 1991. Uji VEGA (atau Uji electrodermal) melibatkan konduktivitas mengukur elektromagnetik dalam tubuh menggunakan Galvanometer jembatan Wheatstone. Pasien telah satu elektroda ditempatkan di atas titik akupunktur dan elektroda lainnya sementara baterai alergen dan bahan kimia ditempatkan dalam sarang lebah metalik. Penurunan konduktivitas elektromagnetik diukur menunjukkan alergi atau intoleransi terhadap alergen tersebut. Alat baru yang telah dikembangkan adalah versi dari VEGA asli atau tes Voll disebut Dermatron, Quantum. Sistem yang memiliki aplikasi yang sama dan memberikan hasil yang lebih cepat. Produsen alet ini mengkalim dapat menguji 3500 alergen dalam 3 menit.
Cara penggunaannyapun tidak terlampau rumit dan cukup sederhana. Pada proses deteksi dan penyembuhan alergi, pasien duduk di kursi atau berbaring di dekat alat ini. Dari alat tersebut menjulur kabel yang dihubungkan ke elektroda berupa bola yang dipegang pasien. Dan di bantalan tempat duduk atau pembaringan pasien, terdapat kabel lain yang terhubung ke mesin tersebut. Alat elektroresonansi ini bekerja dengan menangkap gelombang energi tubuh, menghasilkan pola gelombang energi yang menyembuhkan. Setelah terapis memasukkan program penyembuhan yang akan dilakukan dan menekan tombol start, maka proses penyembuhan pun berjalan. Setelah selesai, mesin akan mati dengan sendirinya.
Bahkan berbagai pihak mengkalim bahwa alat ini juga bisa digunakan untuk melakukan diagnosa. Ada sesi tes elektroakupunktur untuk mengukur secara fisik kondisi energi pada pusat energi (meridian) dan ditampilkan gambarnya. Dengan begitu, kesimpulan dapat diambil berdasarkan fungsi organ yang terganggu. Dari situ, dengan cepat dapat menemukan pemicu alergi pasien. Bukan sampai disitu ternyata bahwa alat ini juga dikatakan dapat menyembuhkan berbagai penyakit kronis lainnya.
Dalam terapi medis pada umumnya mengunakan dasar ilmu imunopatofisiologi yang dapat dijelaskan dengan pendekatan biomolekular. Sedangkan terapi bioresonansi adalah pengobatan yang menggunakan pendekatan ilmu fisika gelombang atau teori kuantum. Resonansi (getaran) adalah satu fenomena dalam fisika. Resonansi inilah yang dikatakan dapat dipakai untuk mendeteksi dan mengobati alergi. Teori kuantum yang ada itu tampaknya dikaitkan dengan manifestasi peyakit termasuk penyakit yang diakibatkan alergi. Teori yang tidak lazim di bidang kedokteran yang dianut adalah setiap sel dalam tubuh manusia selalu berkomunikasi satu sama lain pada frekuensi tertentu. Jika komunikasi tersebut berjalan harmonis, berarti orang itu berada dalam kondisi sehat. Tapi jika masuk toksin atau benda tertentu yang bisa menyebabkan alergi, maka pola frekuensinya akan terganggu dan menyebabkan terganggunya fungsi organ tubuh. Secara ilmiah teori tersebut sangat jauh menyimpang dari teori dasar mekanisme terjadinya alergi. Perbedaan dasar pemikiran teori non ilmiah inilah yang menjadikan bahwa, terapi bioresonansi dianggap sebagai terapi alternatif.
Dengan menggunakan Bioresonansi, pola frekuensi yang menyebabkan penyakit tersebut dapat diubah menjadi pola frekuensi yang efektif dalam penyembuhan penyakit. Dengan demikian, yang terjadi adalah mengaktifkan dan memperkuat mekanisme penyembuhan diri sendiri dalam tubuh sehingga terjadi penyembuhan.
Terapi medis atau terapi alternatif