Di bidang ilmu kesehatan sering dibedakan antara terapi medis dan terapi alternatif. Terapi medis adalah penatalaksanaan atau pengobatan suatu penyakit atau kelainan yang berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan di bidang kedokteran. Penanganan di dalam ilmu kedokteran harus berdasarkan berbagai latar belakang ke ilmuan kedokteran seperti imunopatobiofisiologis atapun secara biomolekular. Dalam penerpannyapun harus berdasarkan penelitian medis berbasis pengalaman klinis.
Secara ilmiah berbagai terapi yang diberikan juga harus berdasarkan pengalaman klinis dengan berbasis pada penelitian ilmiah yang terukur. Dalam kurun waktu terakhir ini pemberian pengobatan di bidang kedokteran sudah beralih ke arah Evidance Base medicine (EBM) atau pengalaman klinis berbasis bukti. Tujuan utama dari EBM adalah membantu proses pengambilan keputusan klinik, baik untuk kepentingan pencegahan, diagnosis, terapetik, maupun rehabilitatif yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan
Sedangkan terapi alternatif adalah berdasarkan pendekatan pengobatan tradisional turun temurun baik dari mulut kemulut berbagai pengalaman diperoleh dari warisan nenek moyang yang tidak berdasarkan kaidah ilmiah atau bertentangan dengan ilmu kedokteran. Meskipun sebenarnya tidak semua terapi alternatif tidak bermanfaat. Saat ini ada juga terapi alternatif yang mulai disinergikan dengan terapi di bidang ilmu kedokteran seperti terapi akupuntur. Hal seperti inipun harus melalui proses penelitian secara ilmiah yang berlangsung lama, dan memang terbukti secara klinis.
Terapi atau alat diagnosis alternatif meskipun tidak berdasarkan kaidah ilmiah juga banyak dilakukan oleh profesional medis di bidang kedokteran seperti dokter, terapis dan lain sebagainya. Secara aspek legal dan secara etika kedokteran sebenarnya hal tersebut tidak dilazimkan karena akan menyimpang dari kompetensi dan profesionalitas seorang dokter.
Terdapat perbedaan mendasar lainnya untuk mengetahui keberhasilan terapi medis dan terapi alternatif. Di bidang medis alat ukur keberhasilan medis harus berdasarkan penelitian terukur dan sahih secara statistik. Misalnya dalam penggunaan obat asma, harus diketahui tingkat keberhasilan dari 100 pemakai sekitar 80 yang berhasil dengan memperhatikan dengan cermat berbagai faktor yang mempengaruhi pengobatan tersebut.
Sedangkan terapi alternatif, biasanya diukur berdasarkan pengakuan orang perorang dalam menentukan keberhasilannya. Sehingga akurasi dan validitas keberhasilannya tidak bisa diketahui secara pasti. Sering dilihat di televisi dalam acara terapi alternatif oleh seseorang bukan berlatar belakang nonmedis, bahwa pengakuan seorang sembuh karena terapi yang diberikan. Mungkin saja memang penderita tersebut berhasil dengan terapi alternatif tersebut, tetapi tidak diketahui apakah yang tidak berhasil juga lebih banyak lagi. Di bidang medis seorang dokter tidak boleh menyebutkan keberhasilan pengobatan berdasarkan kesaksian keberhasilan seorang pasien tetapi harus berdasarkan penelitian sebuah jurnal kesehatan yang kredibel atau jurnal yang dapat diakses di pubmed secara online.
Sebagai terapi alternatif, bermanfaatkah ?
Dengan semakin pesat perkembangan tehnologi ternyata sangat menunjang perkembangan dalam bidang ilmu kedokteran telah membawa banyak perubahan dalam penatalaksanaan penanganan penyakit. Namun sayangnya, perkembangan tehnologi atau kecanggihan alat tehnologi di bidang kedokteran tersebut belum tentu menggambarkan keberhasilannya. Memang, banyak alat tehnologi canggih yang terbukti secara klinis dapat membantu pengobatan di bidang kedokteran seperti CT scan, MRI, ultrasound 4 dimensi dan sebagainya. Tetapi banyak alat canggih lainnya ternyata tidak terbukti secara klinis berperanan dalam bidang kedokteran.
Mengapa terapi bioresonansi dianggap sebagai terapi alternatif ? Bioresonansi adalah pendekatan terapi berdasarkan ilmu biofisika. Mungkin sampai tahap ini tidak masalah, menjadi masalah ketika digunakan sebagai alat diagnosis alergi apalagi sebagai terapi alergi. Mekanisme penyakit alergi adalah adanya paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T. Sel-T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus,yang pada anak atopi cenderung terbentuk IgE lebih banyak. Selanjutnya terjadi sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran nafas dan kulit. Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi pada IgE yang telah melekat pada sel mast atau komplek IgE-Alergen terjadi ketika IgE masih belum melekat pada sel mast atau IgE yang telah melekat pada sel mast diaktifasi oleh pasangan non spesifik, akan menimbulkan degranulasi mediator. Sehingga secara klinis, pengukuran petanda alergi hanya dengan menggunakan tes kulit atau IgE spesifik. Meskipun alat diagnosis ini belum memastikan penyebab alergi, karena harus dikonfirmasikan dengan tahapan eliminasi provokasi yang sebagai alat diagnosis baku emas (gold standard). Sedangkan pada pemeriksaan bioresonansi sebagai alat diagnosis tidak mengikuti kaidah imunopatofisiologis seperti tersebut di atas.
Sebagai alat terapipun bioresonansi menyimpang dari kaidah ilmu kedokteran. Terapi alergi yang ideal adalah mengidentifikasi dan menghindari penyebabnya. Sedangkan obat-obatan adalah mengurangi respon inflamasi tubuh yang disebabkan meningkatnya mediator yang ada dalam reaksi alergi. Mekanisme yang terjadi dalam terapi bioresonansi juga menyimpang dari pathogenesis tersebut.
Dalam menilai keberhasilan terapi, biasanya dengan menilai pengalaman medis berbasis bukti. Yang paling mudah adalah mencari bukti penelitian yang diakui oleh komunitas kedokteran adalah jurnal-jurnal yang dimuat dalam Pubmed yang dapat diakses secara online. Sampai saat inipun dalam jurnal yang dimuat dalam pubmed tidak ada satupun penelitian yang mendukung keberhasilan alat diagnosis dan alat terapi bioresonansi. Memang mungkin terdapat beberapa kesaksian bahwa dengan penanga alat tersebut keluhan membaik, tetapi kita belum tahu apakah juga banyak penderita yang tidak berhasil. Keluhan penderita yang membaikpun, tampaknya juga dikarenakan penderita harus menghindari makanan tertentu yang dicurigai sebagai penyebab alergi. Yang menjadi masalah adalah akurasi alat tersebut. Seperti misalnya dikatakan dengan alat tersebut bahwa penderita mengalami alergi nasi. Kalau diagnosis tersebut tidak benar, alangkah malangnya seumur hidupnya penderita dilarang makan nasi.