Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini terjadi perbedaan penetapan hari Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Beberapa kelompok Islam berbeda melakukan saat lebaran. Muhammadiyah berlebaran hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011. Tetapi pemerintah, PERSIS dan NU berlebaran hari Rabu tanggal 31 Agustus. Penentuan hari raya beberapa kelompok umat tersebut selalu berbeda karena menggunakan cara berbeda yaitu metode hisab dan rukyatul hilal. Tetapi ibuku menentukan lebaran karena alasan opor ayam. Lho, kok opor ayam dijadikan penentuan idul fitri. Manakah yang benar, metode hisab, rukyatul hilal atau opor ayam ?.
Saat di rumahku berlebaran hari Selasa, banyak juga yang berkunjung halal bihalal ke rumah. Dalam pertemuan itu terdapat kumpulan beberapa keluarga. Satu keluarga mengikuti Muhammadiah berlebaran hari selasa, seperti ibuku. Maklum bapakku meski bukan pengurus Muhammadiah, tetapi adalah pengikut ajaran Muhammadiah. Keluarga omku mengikuti pemerintah berlebaran hari Rabu. Keluarga sepupu lain lagi lebih unik lagi berlebaran hari Selasa karena takut opor ayamnya basi atau tidak enak kalau digunakan berlebaran hari Rabu. Sebagian besar masyarakat merencanakan lebaran hari Selasa berdasarkan kalender yang ada di rumah. Mereka telah memasak dan mempersiapkan segalanya pada hari itu. Namun sayangnya salah satu penentuan 1 syawal dilakukan saat 12 jam menjelang lebaran yaitu melalui penetapan melihat hilal. Sehingga bila hilal tidak terlihat maka hancurlah persiapan masak memasak menghadapi perayaaan lebaran. Apalagi bila masakan itu mengandung santan dan sayur yang mudah basi. Maka salah satu pilihan menentukan lebaran adalah berdasarkan opor ayam, agar tidak basi. Kelompok inilah juga yang diikuti oleh ibuku. Tetapi penentuan lebaran itu juga ditentukan opor ayam, juga sudah ada pengumuman resmi bahwa Muhammadiah. Apalagi Bapakku adalah penganut fanatik ajaran Muhammadiah.
Tampaknya cerita dalam pertemuan keluarga itu menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia. Seorang pakde dengan bangganya mengatakan pilihannya lebih benar berlebaran Selasa. Maklum bapaknya adalah pengurus Muhammadiah. Sedangkan sepupu lain lebih cepat berlebaran lebih baik agar puasanya tidak lebih lama. Tetapi keluarga lain dari pihak bapak, tidak mau kalah bahwa mengikuti penetapan pemerintah pasti benar karena diikuti banyak orang dan didasarkan teknologi canggih. Sedangkan ada keluarga tante yang mengakhiri puasanya hanya gara-gara menonton acara Breaking News sebuah stasiun televisi yang menyiarkan bahwa di Arab Saudi sudah mulai salat idul fitri saat dirinya sedang sahur. Keponakanku yang selalu apatis dengan pemerintah bahkan dengan gemas menyalahkan pemerintah, kenapa penetapannya selalu terlambat. Dia dengan emosi menuding pemerintah harus menanggung dosa jutaan umat. Bila penentuannya salah karena diharamkan puasa saat lebaran. Tetapi sebenarnya hanya sebagian kecil saja yang bersikap seperti itu. Pada umumnya saudara yang hadir saat itu bertoleransi dan saling menghormati terhadap perbedaan ini. Bahkan saat itu ada beberapa keluarga meski masih tetap berpuasa memberi ucapan selamat kepada keluarga kami yang sudah lebih dulu berlebaran. Itulah riak kecil yang tidak dapat dihindari, di antara kesucian idul fitri dalam keluarga kami. Tetapi tampaknya keadaan itu juga mencerminkan keluarga besar bangsa ini dalam menentukan saat lebaran.
Perbedaan Lebaran
Dalam menetapkan tanggal Lebaran ada dua cara, yakni hisab atau perhitungan dan rukyatul hilal atau melihat bulan muda di atas ufuk. Pemerintah memutuskan lebaran jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Keputusan ini diperoleh melalui Sidang Isbat yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama Suryadharma Ali di kantor kementerian, Senin (29/8/2011), setelah mendengarkan berbagai masukan. Keputusan ini diambil berdasarkan empat garis besar pandangan peserta Sidang Isbat, terutama poin bahwa mayoritas pemberi saran dalam sidang yang disebutnya tentu memperhatikan laporan dari berbagai titik ru’yah, sekaligus fatwa MUI menyetujui bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 31 Agustus.
Peneliti Observatorium Bosscha Bandung, Jawa Barat, menegaskan bahwa hari lebaran 2011 atau 1 syawal 1432 Hijriah akan jatuh pada 31 Agustus 2011. Penentuan itu merupakan hasil dari pengamatan dengan menggunakan pisau analisis ilmu astronomi. Oleh karena itu, ijtimak akhir Ramadhan 1432 Hijriah akan dilakukan pada Senin 29 Agustus pukul 10.04 WIB. Tinggi bulan saat matahari terbenam 29 Agustus di seluruh wilayah Indonesia kurang dari dua derajat. Dari data tersebut, hilal tidak mungkin dilihat diwilayah Indonesia. Dengan begitu, 1 Syawal 1432 Hijriah tanggal 30 Agustus setelah Maghrib. Puasa pada tahun 1432 Hijriah ini berjumlah 30 hari.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah memastikan 1 Syawal 1432 Hijriah atau Hari Raya Idul Fitri 2011 jatuh pada 30 Agustus 2011, sesuai dengan surat edaran PP Muhammadiyah Nomor 375/MLM/I.0/E/2011 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1432 Hijriah. Keputusan itu berdasarkan pada metode hisab haqiqi wujudul hilal yang dilakukan oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, berpatokan pada ilmu hisap dan ilmu falaq sesuai Al-Quran dan hadits. Saat matahari terbenam pada hari ke-29 Ramadhan, posisi hilal ada di atas ufuk dengan ketinggian 1 derajat 55 menit. Menurut perhitungan Muhammadiyah, ijtima’ akhir Ramadan 1432 Hijriah akan terjadi pada 29 Agustus 2011 yang bertepatan dengan 29 Ramadan 1432 H antara pukul 10.04.03 WIB sampai pukul 10.05.16 WIB. Pada saat itu, matahari terbenam pada pukul 17.30.53 WIB dengan “hilal” atau rembulan usia muda sebagai pertanda awal bulan atau kalender akan terlihat pada ketinggian 1 derajat 55 menit 11 detik hingga 2 derajat. Ijtima’ merupakan pertemuan antara posisi matahari dan bulan pada satu bujur astronomi yang sama. Dalam istilah astronomi, ijtima’ disebut konjungsi.
Sehingga wajar terjadi perbedaan bila menggunakan metode hisab dan rukyatul hilal dalam penentuan awal syawal akan berbeda. Perbedaan menentukan saat lebaran seharusnya tidak harus dipermasalahkan. Apakah hal itu berdasarkan Muhammadiah, NU, penetapan pemerintah atau berdasarkan opor ayam. Tidak ada yang perlu menganggap pendapat suatu kelompok lebih benar dari kelompok lainnya. Tidak perlu menyalahkan teknologi Muhammadiah kriterianya lebih sederhana daripada teknologi canggih astronomi modern. Tidak perlu menyalahkan bahwa pemerintah terlambat dan curiga punya niat memecah belah umat muslim. Karena ketetapan pemerintah juga berdasarkan rapat isbat para ahli dan pemuka agama. Tidak perlu menyalahkan berlebaran karena opor ayam atau tidak perlu meremehkan orang yang ingin cepat berlebaran karena tidak ingin berpuasanya diperpanjang. Karena mereka semua juga mengikuti ketetapan yang dikeluarkan organisasi Muhammadiah yang dianutnya.
Salat idul fitri dan berlebaran berbeda hari tidak perlu ada orang yang merasa paling benar. Meski berlebaran berdasarkan opor ayam juga tidak paling remeh, karena penetapannya juga mengikuti perhitungan hisab. Tampaknya sampai kapanpun berlebaran beda akan tetap menjadi riak kecil di tengah kesucian idul fitri dalam tradisi budaya Indonesia. Umat muslim Indonesia yang terdiri dari berbeda kebinekaan tetapi juga berbeda dalam berbagai aliran Islam dan budaya tradisi Indonesia akan selalu menampilkan ciri khas yang berbeda dengan berbagai negara di dunia lainnya. Di negara Arab Saudi, Malaysia, Brunei mungkin saja dapat berlebaran bersama-sama. Tetapi mengapa di Indonesia tidak bisa kompak. Masyarakat Indonesia lebih beragam kemajemukannya, terdiri dari berbagai suku, budaya dan aliran Islam berbeda. Justru kemajemukan pendapat dan aliran inilah pasti akan mencetuskan berbagai perbedaan paham dan pendapat. Justru di sinilah peran pemerintah melakukan upaya untuk mengurangi jurang pemisah perbedaan itu. Memang harus diakui bahwa tidak satupun yang mampu menyatukan perbedaan itu termasuk pemerintah. Jadi pemerintahpun meski menetapkan hari lebaran tanggal 31 Agustus, tetapi tetap menghormati rakyatnya yang berlebaran hari Selasa.
Perbedaan tersebut harus disikapi sebagai kekuatan yang justru malah dapat menyatukan ukuwah Islamiyah kaum muslim di bumi nusantara ini. Hal itu ternyata juga terjadi dalam keluarga besar kami. Meski berbeda sebagian besar akhirnya saling menghormati dan tidak ada yang merasa paling benar. Perilaku barisan Ansor NU yang tidak berlebaran yang sama tetapi ikut menjaga keamanan salat idul fitri kaum muhammadiah adalah teladan yang bijaksana. Perilaku umat muslim yang masih puasa tetapi bersilaturahmi memberi ucapan lebaran kepada umat musim lainnya yang berlebaran lebih dulu adalah sikap baik yang harus diteladani. Perbedaan ini adalah justru suatu rahmat yang malahan dapat mermpererat kerukunan umat muslim di tengah adanya berbagai perbedaan yang ada. Jadi sebaiknya jangan lagi mempermasalahkan lebaran lebih dulu karena opor ayam. Ibuku dengan santun dan sabar mengatakan :"Berlebaran hari ini dan esok adalah sama saja. Opor ayampun juga sebenarnya tidak akan basi akan disantap esok hari. Tetapi anggaplah hal ini cobaan bagi kerukunan keluarga besar kita". Sayapun terkesima dengan pemikiran ibu yang sederhana tetapi penuh makna. Bangsa inipun selama ini selalu mendapatkan cobaan dalam berbangsa dan beragama. Semoga peristiwa perbedaan di lebaran ini dapat dijadikan contoh bagi politikus, penganut berbagai aliran beragama, pengamat politik, media masa dan berbagai kelompok bangsa ini. Bahwa meski berbeda pendapat tetapi bila dilakukan dengan santun dan saling menghormati maka akan damailah negeri ini. Perbedaan di hari yang fitri ini, akan tampak semakin indah bila perbedaan pendapat itu dapat dilakukan dengan saling menghormati bukan saling mencaci. Selamat lebaran saudara muslimku di segala penjuru. Ternyata lebaran ini bukan hanya sekedar opor ayam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H