Mubarak ternyata tidak mau mundur dan memilih peralihan kepemimpinan dilalui melalui pemilu September 2011 meski jutaan demonstran telah membuat Mesir kacau dan lumpuh di segala bidang. Kepala batu Mubarak ini terjadi karena dukungan militer terhadapnya masih kokoh, meski Amerika sudah tidak mendukungnya. Dengan memberangus pers dan media internet, Mubarak didukung oleh media lokal dan media ternama di Mesir, termasuk Al Ahram. Tampaknya satu-satunya cara yang dapat merobohkan kekokohan Mubarak dan militernya adalah para pendemo harus melakukan anarkisme masif dan luas yang tidak bisa dikendalikan lagi oleh militer dan polisi. Bukan hanya sekedar berharap dari jutaan demonstrasi masyarakat yang tidak akan pernah menggoyahkan Mubarak. Hal ini seperti yang ditunjukkan saat kengerian terjadinya sejarah kerusuhan Mei 1998 yang tidak bisa dikendalikan militer yang akhirnya merontokkan Soeharto. Lebih dari lima juta orang Mesir telah turun ke jalan di seluruh negeri untuk menekan Presiden Hosni Mubarak dan pemerintahannya mundur. Aksi demonstrasi ini menjadi bentuk anti-pemerintah terbesar dalam sejarah Mesir. Para demonstran membanjiri tempat bersejarah Tahrir Square, dan menuntut Presiden Hosni Mubarak untuk mundur. Pria, wanita dan anak-anak dari semua lapisan masyarakat menghadiri aksi yang sejauh ini berjalan damai. Beberapa laporan menyebutkan bahwa jumlah pengunjuk rasa di Mesir sekitar delapan juta. Tank dan pasukan militer telah ditempatkan di sepanjang rute perjalanan, tetapi tentara Mesir sendiri telah berjanji untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap demonstran. Pos-pos pemeriksaan keamanan juga telah ditempatkan di seluruh Kairo. Laporan mengatakan pemerintah telah membatasi akses ke ibu kota dengan menutup semua jalan dan transportasi umum. Demonstrasi besar juga digelar di kota-kota lain, termasuk Alexandria dan Suez. PBB mengatakan delapan hari kerusuhan telah diperkirakan 300 orang tewas. Meski demikian presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan dalam pidato televisi bahwa ia tidak akan mencalonkan diri menjadi presiden lagi dan akan terus bekerja dan tidak akan mundur pada bulan-bulan terakhir masa jabatannya sebagai masa transisi alih kekuasaan. Mubarak berkata: “Saya katakan dengan semua kejujuran dan terlepas dari situasi saat ini, bahwa saya tidak berniat untuk mencalonkan diri untuk jabatan presiden berikutnya. Saya sudah bertahun-tahun hidup melayani (rakyat). Mesir dan rakyatnya. Bahkan ia dengan bahkan dengan sangat percaya diri dan keras kepala “Saya sekarang benar-benar bertekad untuk menyelesaikan pekerjaan saya untuk bangsa dengan cara yang aman… melestarikan legitimasinya dan menghormati konstitusi … saya akan bekerja di bulan-bulan sisa kerja saya dan memastikan pengalihan kekuasaan secara damai. “ Tampaknya skenario yang ada hanya dua, Mubarak Mundur dalam waktu dekat atau setelah pemilu. Tampaknya dua belah pihak harus terus bertindak bijaksana dan rasional terhadap apa yang akan dilakukannya dengan dampak yang akan terjadi. Sebenarnya pilihan yang paling aman dengan dampak yang sangat minimal adalah masyarakat anti Mubarak menunggu sampai delapan bulan lagi setelah Pemilu berlangsung. Tetapi skenario ini sulit terjadi karena bergeraknya sebagian besar masyarakat Mesir yang secara sosial dan emosional mustahil untuk dikendalikan lagi malah cenderung chaos. Selain itu tampaknya masyarakat tidak akan percaya lagi kemurnian Pemilu yang dikendalikan Mubarak. Harapan satu-satunya adalah menunggu kenegarawan dan kebijaksanaan Mubarak yang dengan rasional mundur meniru jejak Soeharto saat lengser. Karena yang lebih mudah diskenariokan adalah menunggu kesadaran Mubarak untuk turun. Tetapi karena percaya diri yang tinggi itulah yang membuat Mubarak akan keras kepala untuk tidak mau mundur. Bila dua pihak itu tetap sama sama bersikeras maka akan menunggu waktu akan terjadi revolusi mesir yang penuh kekacauan yang sangat besar. Karena melihat karakter mubarak yang sangat keras kepala dan militer yang sangat loyal tersebut tidaklah mungkin mundur walaupun seluruh rakyat Mesir melakukan demo menentangnya. Strategi pamungkas satu-satunya yang membuat militer menyerah adalah terjadinya kerusuhan dan anarkisme yang masif dan luas di seluruh negeri yang tidak dapat ditangani lagi oleh militer. Hal inilah yang terjadi di Indonesia menjelang Soeharto lengser. Dimana saat itu chaos dan kekacauan di mana yang tidak dapat di atasi lagi, sebagian besar menteri mengundurkan diri, militer terbelah dan tidak loyal lagi. Semua kondisi itu membuat kredibiltas pemerintahan di bawah titik nadir. Anarkisme Masif dan Luas Kerusuhan Mei 1998 adalah peristiwa yang memicu Soeharto lengser, Kerusuhan itu terjadi khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Banyak hal ganjil yang menunjukkan indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis. Anarkisme massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan “Milik pribumi” atau “Pro-reformasi”. Meskipun sampai saat ini pemerintah tidak pernah mengakui fakta dan opini yang sudah menjadi rahasia umum itu. Hal yang mengerikan itu mengingatkan seseorang kepada peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi. Tampaknya senjata pamungkas berupa kerusuhan masif dan anarksime luas itulah yang bisa dilakukan rakyat untuk merubuhkan Mubarak daripada sekedar berdemo dalam jumlah banyak. Meski kondisi Indonesia tidak bisa disamakan dan dengan cara berbeda tetapi secara psikologi sosial dan politik keadaan itu akan memaksa siapapun untuk menyerahkan diri daripada keadaan lebih mengerikan akan terjadi. Dengan keadaan kepercayaan pemerintah yang berada dalam titik terburuk dan kekacauan yang tidak bisa ikendalikan polisi dan militer maka pasti militer dan pemerintah akan angkat tangan. Tetapi mudah-mudahan skenario terakhir itu tidak akan terjadi, sehingga untuk reformasi tidak harus mengorbankan banyaknya darah rakyat. Inilah fakta kehidupan dunia yang tidak adil. Ternyata keras kepala seorang rezim sepadan dengan ratusan atau ribuan darah dan nyawa rakyatnya. Tetapi Sang Sutradara kehidupan tidak pernah tertidur. Bila tangan Tuhan sudah ikut campur maka siapapun tidak akan bisa yang akan menentangnya meski itu seorang Mubarak. Seluruh bangsa di dunia akan terus mendoa, supaya kisruh Mesir dapat segera berakhir tanpa harus mencetak tragedi sejarah hitam yang mengerikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H