Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mesir Harus Tiru Indonesia

31 Januari 2011   01:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://1.bp.blogspot.com/_Qyg4rRGAif4/TChqJWnhZ0I/AAAAAAAAAGg/giCZz2e4SB0/s1600/President_Suharto,_1993.jpg

http://topnews.in/law/files/hosni-mubarak.jpg
http://topnews.in/law/files/hosni-mubarak.jpg
Krisis politik yang melanda Mesir tampaknya akan segera dapat menggulingkan rezim presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa 30 tahun. Krisis politik di Mesir dan peristiwa ambang kejatuhannya tampaknya tidak jauh berbeda dengan saat reformasi Indonesia dan jatuhnya Soeharto. Saat itu rezim di Indonesiapun juga telah bercokol selama hampir 32 tahun. Meski karakter masyarakatnya berbeda dan pemicu krisis politik berbeda, tampaknya Mesir harus belajar banyak dengan pengalaman Indonesia. Seharusnya Mubarak legawa meniru Soeharto mundur setelah mempertimbangkan tidak ada dukungan, akan jatuh perpecahan , korban jiwa semakin banyak dan kehancuran persatuan bangsa itu. Meski Soeharto sangat otoriter namun ternyata masih punya rasionalitas yang baik dan mempertimbangkan keutuhan bangsa dan keselamatan rakyat banyak. Saat itu Soeharto lengser begitu dukungan yang menentang sangat luas. Soeharto tampaknya tidak ingin terjadi perpecahan yang lebih luas dan korban jatuh lebih besar. Saat itu setelah tertembaknya beberapa mahasiswa setelah demonstrasi , ratusan orang diduga meninggal karena aksi kerusuhan dan penjarahan masyarakat yang menyertainya. Seharusnya Mubarak juga meniru langkah Soeharto bila ingin bangsanya tidak ingin hancur karena perpecahan, kerusuhan  dan korban jiwa yang semakin besar. Saat ini saja sudah 135 orang tewas sia-sia saat demonstrasi menentang kepemimpinan Mubarak. Detik-detik Menjelang Jatuhnya Soeharto Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'ruf Amin dari NU. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam, molor dari rencana semula yang hanya 30 menit itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, dimana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur. Soeharto lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari mengungkapkan bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi itu murni dari Soeharto, dan bukan usulan mereka. Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita bersama Menperindag Mohamad Hasan melaporkan kepada Presiden soal kerusakan jaringan distribusi ekonomi akibat aksi penjarahan dan pembakaran. Bersama mereka juga ikut Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng yang akan melaporkan soal rencana penjualan saham BUMN yang beberapa peminatnya menyatakan mundur. Pada saat itu, Menko Ekuin juga menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi; Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet. Mereka intinya menyebut, tindakan itu mengulur-ulur waktu. Setelah itu berturut-turut dilaporkan bentrokan terjadi dalam demonstrasi di Universitas Airlangga, Surabaya dan sebagian besar dokter dan karyawan RS dr Soetomo Surabaya. Setelah itu demonstrasi terus bertambah besar hampir di semua kota di Indonesia, demonstran mengepung dan menduduki gedung-gedung DPRD di daerah.  500.000 orang berdemonstrasi di Yogyakarta, termasuk Sultan Hamengkubuwono X. Demonstrasi besar lainnya juga terjadi di Surakarta, Medan, Bandung. Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Jakarta.  Kerusuhan di Jakarta berlanjut, ratusan orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi Ketua MPR yang juga ketua Partai Golkar, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad. Harmoko mengatakan Soeharto sebaiknya mengundurkan diri pada Jumat, 22 Mei, atau DPR/MPR akan terpaksa memilih presiden baru. Saat itu 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas. Dua menteri lain, yakni Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir. Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan menyampaikannya lewat sepucuk surat. Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur. Ke-14 menteri itu adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga dan Tanri Abeng. Soeharto kemudian bertemu dengan tiga mantan Wakil Presiden; Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno. Segera setelah itu Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie. Wiranto sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan Soeharto. Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto untuk mundur. Setelah mencapai kesepakatan dengan Wiranto, Soeharto kemudian memanggil Habibie. Setelah itu Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan Amien Rais. Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatannya. kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned". Yusril juga menginformasikan bahwa pengumumannya akan dilakukan Soeharto 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB. Kabar itu lalu disampaikan juga kepada Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Danandjaya, Syafii Ma'arif, Djohan Effendi, H Amidhan, dan yang lainnya. Lalu mereka segera mengadakan pertemuan di markas para tokoh reformasi damai di Jalan Indramayu 14 Jakarta Pusat, yang merupakan rumah dinas Dirjen Pembinaan Lembaga Islam, Departemen Agama, Malik Fadjar. Di sana Cak Nur - panggilan akrab Nurcholish Madjid - menyusun ketentuan-ketentuan yang harus disampaikan kepada pemerintahan baru. Persamaan Indonesia dan Mesir Kediktatoran rezim yang berkuasa di Mesir dan di Indonesia saat itu hampir sama lama berkuasanya. Di Mesir Mubarak telah berkuasa 32 tahun, sedangkan di Indonesia telah berkuasa 32 tahun. Dalam waktu yang demikian lama tersebut memang harus diakui banyak kemajuan yang terjadi di negara Mesir dan Indonesia. tetapi sistem pemerintahan yang cenderung di dominasi tangan besi membuat ketidakpuasan masyarakat di berbagai bidang yang akhirnya memicu tuntutan pengunduran diri presidennya. Berbagai peristiwa dan kejadian saat jatuhnya Soehartopun sangat mirip dengan krisis Mesir saat ini. Saat ini presiden Mesir Hosni Mubarak, Jumat (28/1), meminta mundur kabinetnya. Dia menjanjikan akan membentuk pemerintahan baru yang bersih dan mendapat tugas khusus mengatasi masalah yang dituntut warganya. Pernyataan itu disampaikan Mubarak dalam pemunculannya yang pertama di televisi sejak meletusnya kerusuhan yang melanda Mesir. Mubarak menjanjikan pemerintahan baru yang bersih dan diprioritaskan mengatasi masalah yang dituntut warga. Tapi Mubarak tidak menjanjikan kapan pembentukan pemerintahan baru itu. Sementara itu, tank-tank militer berdatangan ke pusat Kota Kairo menjaga kedutaan negara-negara sahabat Mesir dan Museum Nasional. Massa menyambut gembira kedatangan tank-tank itu. Bahkan, beberapa di antaranya ikut naik ke kendaraan militer tersebut. Kejadian tersebut mengingatkan kita saat Soeharto jatuh juga sempat akan membentuk kabinet baru tetapi ternyata tetap saja akan ditolak masyarakat dan tidak jadi dilakukan. Mu­ba­rak  juga me­nun­juk Kepala Intelijen Omar Su­lei­man sebagai wakil presiden. Unik­nya, posisi wakil presiden adalah jabatan yang tidak pernah diisi selama 30 tahun kekuasaannya. Penunjukan wapres, di mata banyak kalangan, menandakan arah suksesi kepemimpinan. Langkah tak populis ini sekaligus memupus prediksi putranya, Gamal Mubarak, yang akan mengisi jabatan Mubarak kelak. Hal ini jugalah yang dilakukan Soeharto ketika menunjuk Habibie ketika lengser. Tampaknya Soeharto ingin tetap bisa mengendalikan pemerintahan, tetapi ternyata Habibie tidak bisa dikendalikan. Hal inilah yang membuat Habibie sampai detik terakhir meninggalnya Soeharto tidak pernah diterima keluarga Cendana. Penyebab krisis Mesir dan Indonesia berbeda tetapi secara umum hampir mirip. Secara umum ketidakpuasan masyarakat Mesir sudah berlangsung tiga tahun yang lalu akibat kedikdatoran rezim Mubarak. Tetapi ekskalasinya semakin membesar hingga krisis sekarang ini, bisa saja pemicunya karena krisis Tunisia. Jatuhnya Soeharto saat itu dipicu karena krisis ekonomi. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Masyarakat terus melakukan demonstrasi, Minggu 30 Januari 2010 malam. Jam malam dilanggar. Di langit Kairo, pesawat tempur terbang rendah. Tapi semua itu tak menciutkan nyali para demonstran. Ribuan orang berkumpul di Tahrir Square. Kondisi saat itu kacau dan riuh, tank-tank militer seakan tak berdaya mencegah para demonstran. Tak jelas, apakah mereka mendukung pemerintah atau bersimpati pada massa. ElBaradei sempat memimin demonstrasi besar-besaran dan mengatakan Mubarak harus mundur demi keselamatan Mesir.  "Kalau Mubarak ia ingin menyelamatkan mukanya, jika ia punya rasa patriotisme sedikit pun, saya sarankan tinggalkan Mesir hari ini untuk menyelamatkan negeri ini," kata peraih Nobel Perdamaian itu. Di Indonesia saat itupun Amien Rais adalah salah satu tokoh reformasi Indonesia yang ikut memimpin berbagai Demonstrasi. Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Meski akhirnya Amien Rais membatalkan rencana demonstrasi besar-besaran di Monas, setelah 80.000 tentara bersiaga di kawasan Monas. Ternyata banyak kesamaan karakter sosial dan politik saat krisis politik mesir sekarang Mesir dan  Indonesia saat reformasi tumbangnya Soeharto. Mesir harus belajar banyak dari pengalaman Indonesia.  Dibalik kediktatoran Soeharto saat itu ternyata terdapat pikiran rasionalitas dan kebijaksanaan di dalam diri Soeharto. Kenegarawanan Soeharto inilah yang harus ditiru Mubarak agar Mesir tidak jatuh dalam keadaan yang lebih parah lagi dengan korban nyawa yang lebih besar lagi. Strategi yang dilakukan Soeharto dengan mengundurkan diri dan menunjuk Habibie ternyata mampu meredam krisis politik yang demikian besar saat itu. Setelah itu baru dilakukan pemilihan umum yang demokratis. Semoga kenegarawanan dan kebijakasanaan Mubarak dapat menyelamatkan bangsa Mesir dari kehancuran.  Sebaiknya Mubarak tidak perlu bersikukuh untuk meneruskan jabatannya dengan menunggu pemilu akan digelar lagi dan harus bersusah payah menyiapkan putra mahkotanya Gamal Mubarak dengan cara yang tidak demokratis. Tampaknya sebagian besar rakyat Mesir tidak menghendakinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun