Kembali Jokowi mengundang kritikan keras baik dari lawan politiknya ataupun pengamat politik. Ketika presiden terpilih itu mengumumkan struktur kabinetnya yang ternyata tidak ramping dan dipenuhi "profesional parpol". Jokowi dianggap mengingkari kepada rakyat pemilihnya karena sebelumnya selalu berulang mengatakan bahwa kabinet nantinya adalah bukan kabinet transaksional, tanpa syarat dan kabinet ramping. Tampaknya untuk kesekian kalinya Jokowi ingkar janji kepada rakyatnya. Mengapa Jokowi lebih mudah ingkar janji kepada rakyatnya ?
Presiden terpilih Joko Widodo tampaknya tidak akan merampingkan kabinet dan akan tetap mempertahankan komposisi 34 menteri sebagaimana kabinet Indonesia Bersatu pimpinan pendahulunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam jumpa pers di Kantor Transisi, Jakarta, Senin (15/09). Jokowi menyebut bahwa kabinetnya akan terdiri dari 18 orang profesional nonpartai dan 16 profesional partai. Beberapa pengamat kabinet Jokowi-JK tersebut adalah kabinet gemuk, kabinet penuh syarat dan kabinet transaksional tersebut kontan saja lawan politik dan para pengamat mengkritisi hal tersebut. Padahal belum lama terngingang dari telinga rakyat kehebatan konsep ide Jokowi. "Saya adalah orang yang sangat berbahagia. Karena kemurnian kerjasama antar partai sampai detik ini tidak pernah berbicara soal menterinya siapa dan cawapresnya siapa. Ini kemurnian kerjasama. Inilah yang akan terus kita kawal. Yang kita bicarakan setiap hari adalah langkah-langkah ke depan. Agenda-agenda ke depan apa, dan menyamakan platform antar partai untuk bangsa, rakyat, dan negara yang kita cintai," ucap Jokowi saat deklarasi dukungan tiga partai politik (PDIP, Nasdem, dan PKB) di Kantor DPP PDIP, Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, (Rabu, 14 Mei 2014). Bukan hanya itu saja saat kampanye Jokowi juga sering menjanjikan angin surga bagi perpolitikan Indonesia. Di masa kampanye Pilpres 2014 kemarin, Joko Widodo datang membawa angin segar. Dia menyatakan komitmennya untuk membentuk kabinet yang bebas dari aksi bag-bagi kursi. Saat itu, meski banyak yang meragukan mengenai konsep anti bagi-bagi kursi di kabinet ini, Jokowi tetap optimistis dan rakyat teresona oleh ide cerm;lang Jokowi. Rasa percaya diri mantan Walikota Solo ini timbul lantaran dia pernah menerapkan pendekatan serupa. "Bukan mustahil kok itu kalau tidak bagi-bagi kursi. Kita pernah punya pengalaman di Solo, terus di Jakarta ini juga nggak ada istilah bagi-bagi kursi," sebut Jokowi di suatu waktu di tengah masa kampanye.
Namun setelah janji-janji kampanye dan ide besar Jokowi tersebut saat ini bukan lagi angin surga lagi bagirakyat tetapi menuai kritik dan senjata makan tuan. Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, yang mempertanyakan revolusi mental dalam postur dan komposisi kabinetnya. "Apalagi kalau yang diakomodasi partai itu merangkap jabatan di partainya, lalu revolusi mental yang disuarakan itu letaknya di mana?" ujar Siti Juhroh.
Mengapa sering ingkar janji
Bila dicermati di media online maupun cetak banyak janji tidak ditepati atau pendapat yang tidak konsisten dari seorang Jokowi. Tetapi hal ini diangap sebagai hal yang wajar dalam dunia politik Indonesia. Jokowi juga banyak ingkar janji sebelumnya seperti dia berjanji di depan pendukungnya untuk meneruskan jabatan Gubernur DKI sampai lima tahun dan tidak akan mencalonkan menjadi presiden sebelum habis masa jabatannya. Sebagai seorang Gubernur hal tersebut mungkin masalahnya tidak terlalu kompleks. Tetapi bila hal itu dilakukan saat menjadi presiden akan selalu menimbulkan permasalahan yang rumit. Bila sebagai politikus ingkar janji adalah "kewajaran" yang dilakukan politikus yang selalu berkata lain di hati lain di bibir. Tetapi nantinya Jokowi bukan hanya sebagai politikus tetapi juga sebagai negarawan.
Mengapa Jokowi beresiko terus untuk ingkar janji ? Beberapa pakar mencoba untuk menganalisa. Salah satunya Jokowi adalah pemimpin hebat yang sangat optimis dan percaya diri yang besar. Buktinya, coba lihat saat melihat masalah bangsa yang rumit, selalu saja Jokowi mengatakan hal itu mudah dan gampang . Dengan percaya dirinya yang tingi Jokowi sering mengatakan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan bila diketahui masalahnya akan bisa ditangani. Sebagai presiden karakter Jokowi sangat berbanding terbalik dengan SBY. SBY adalah sosok yang perfeksionis, sangat cermat, terlalu berhitung dan tidak terburu-buru dalam menentukan tindakan dan berucap. SBY sangat memperhatikan dampak dan akibatnya bila salah dalam bertindak dan berucap. Tetapi sebaliknya Jokowi adalah tipikal presiden yang sangat spontan, terburu-buru dan selalu ingin cepat dan tidak terlalu memikirkan dampak dan akibat ide dan ucapannya. Karakter Jokowi tersebut mengingatkan masyarakat kepada sosok Gus Dur yang unik dan legendaris. Memang sulit dibedakan manakah di antara SBY dan Jokowi yang paling ideal. Tetapi masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. SBY dengan kepribadian perfeksionismenya akan jarang menimbulkan inkonsisten dan ingkar janji. Tetapi kekurangan karakter SBY adalah sangat lambat dalam mengemukakan ide besar dan tidak cepat dalam mengimplementasikan ide besarnya. Sedangkan Jokowi sangat spontan terkesan tanpa dipikir dalam mengemukakan ide besar dan janjinya. Sehingga sangat beresiko untuk tidak ditepati dan ingkar janji. Tetapi kelebihan sosok seperti Jokowi ini akan penuh dengan ide besar dan luar biasa. Tetapi bila tidak dipikir secara matang seringkali ide besar hanya sebagai pepesan kosong. Bahkan di mata Dubes Amerika untuk Indonesia Scot Marciel, Jokowi merupakan gubernur yang memiliki banyak gagasan dan ide untuk membangun Jakarta. Coba simak ide besar jokowi saat menjadi Gubernur seperti merecanakan ide besar untuk mengatasi banjir dengan "Deep Tunnel". Tetapi hal itu sekarang hanya sekedar pepesan kosong saja. Sebenarnya banyak ide besar dari Jokowi lainnya yang tidak terlaksana atau akhirnya hanya menjadi wacana. Tetapi juga tidak dipungkiri banyak ide besar Jokowi yang terlaksana selama menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.
Jokowi adalah tipikal salah satu pemimpin yang terlalu spontan dan tergesa-gesa melemparkan ide atau programnya seperti tanpa dipikirkan dampak dan permasalahan yang akan terjadi. Sebelumnya Jokowi tanpa memikirkan dampak politiknya dengan mengutamakan pencitraan terus menjanjikan kabinetnya nanti adalah kabinet tanpa syarat dan kabinet ramping. Tetapi faktanya sistem politik Indonesia tidak bisa mengakomodasi keinginan politik praktis atau upaya pencitraan Jokowi tersebut. Sehingga saat ini mereka kesulitan untuk menarik simpati para parpol yang pasti akan mengharapkan kursi menteri saat untuk diajak koalisi. Tampaknya Jokowi tidak memahami bahwa idealismenya tidak dapat diterapkan dalam politik di indonesia. Politik tidak akan pernah terlepas dari bargaining kepentingan. Tampaknya tidak akan pernah ada parpol dengan sukarela mendukung partai penguasa hanya karena kesamaan ide dan kesamaan visi dalam membangun rakyatnya. PKBpun bergabung yang selalu didengung-dengungkan tanpa syarat ternyata beberapa fakta menunjukkan bahwa elit PKB sudah menyampaikan pada kiainya bahwa dijamin menteri agama akan jatuh pada orang NU.
Melihat tipikal kepemimpinan Jokowi tersebut nantinya akan kewalahan adalah para bawahan sebagai pelaksana tugas. Bila ide besar tidak disertai konsep yang jelas dan terperinci maka para bahwahan dan para elit politik PDIP pendukung pemerintahan akan selalu kesulitan dalam melaksanakan dan mensikapi masalah bila terjadi kritikan dan kecaman. Meskipun Jokowi berhasil mengatakan alasan ketika tidak menepati janji sebelumnya selalu ada hal buruk yang ditimbulkannya. Begitu juga yang diakui para pejabat di Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, saat Jokowi mempunyai ide besar sebagai Gubernur saat rapat koordinasi dan langsung ditinggal "blusukan". Saat rapat Jokowi sering melemparkan ide besar tetai tanpa konsep dan rincian jelas sehingga para pelaksananya menjadi kebingungan dan akhirnya konsep besar tersebut terbengkalai. Demikian juga saat ini ide besar kabinet tanpa syarat, kebinet ramping dan kabinet proposional hanya pepesan kosong. Sehingga saat ini para elit politik pendukukungnya kesulotan dalam beragumentasi. Kalaupun para pakar komunikasi pendukung Jokowi beragumentasi tetapi biasanya tidak rasional dan tidak bisa diterima akal sehat. Sebagai politikus dan negarawan Jokowi dan para elit Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan tampaknya tak mau ambil pusing dengan kritikan-kritikan yang muncul dari luar terkait susunan kabinet Jokowi-Jusuf Kalla. Mereka menilai, kritikan apapun yang ditujukan pada Jokowi merupakan hak bicara seseorang yang tidak bisa dilarang. "Biarkan, hak dia untuk berbicara. Apa yang harus dipertimbangkan. Itu urusan dia. Hak dia untuk berbicara," kata Politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko, di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (16/9/2014). Bahkan Jokowi menjawab komitmen untuk janji kabinet ramping dengan jawaban yang lucu dan aneh. Jokowi malah berkelit saat ditanya tentang kabinet ramping paska pemngumuman struktur kabinet tersebut. "Saya berikan contoh, negara tetangga Malaysia jumlah penduduknya 24 juta kementeriannya ada 24. Nah kita 240 juta penduduknya, kementerian harusnya 240," kata Jokowi saat jumpa pers di Kantor Tim Transisi, Jakarta, Senin (15/9/2014). Mungkin sebagian rakyat akan kagum dengan jawaban cerdas tersebut. Tetapi bila para pakar pemerintahan mendengar maka akan geleng-geleng kepala atas logika yang sangat tidak rasional tersebut.
Melihat beberapa kisah yang memprihatinkan tentang ingkar janji tersebut, seharusnya para penasehat Jokowi harus terus membisikkan atau mengingatkannya. Para penasehat moral dan poltik Jokowi harus terus membisikkan bahwa "Lebih baik tidak berjanji daripada berusaha mencari-cari alasan atas janji yang tidak terpenuhi". Seseorang di lingkaran pusat Istana Jokowi nantinya harus sering membisikkan ke telinga Jokowi kata bijak lain " Meskipun anda berhasil mengatakan alasan ketika tidak menepati janji selalu ada hal buruk yang ditimbulkannya".
Jokowi saat ini bukan hanya sebagai politikus tetapi sebagai negarawan. Bila sifat buruk politikus tersebut terbawa saat menjadi kepala negara maka Jokowi nantinya tidak akan bisa menjadi negarawan yang ideal. Sebaiknya para pakar komunikasi politik harus selalu mengingat Jokowi tentang petuah seorang bijak lainnya "Jangan hanya belajar memenuhi janji, Tetapi belajarlah juga cara mengatakan "tidak" saat seseorang meminta anda untuk berjanji". Bila hal itu tidak dilakukan meski Jokowi membangun kepercayaan dengan kerja keras yang tinggi. Setiap melanggar janji, maka Jokowi akan memberi retakan pada kepercayaan tersebut. Kata bijak lain yang harus dipahami Jokowi adalah "Setiap kali anda melanggar janji, dibutuhkan puluhan kali penepatan janji untuk mengembalikan tingkat kepercayaan kepada anda." Melihat karakter Jokowi yang sangat spontan dan ceplas ceplos maka sebaiknya dalam mengeluarkan opini yang rawan dan penting harus melalui juru bicara kepresidenan. Saat berkomunikasi dengan wartawan sebaiknya Jokowi lebih mendominasi masalah yang tidak terlalu berat dan tidak terlalu beresiko. Untuk menjadi negarawan besar sebaiknya Jokowi harus belajar sedikit janji, mengurangi mengobral kata demi rakyat dan berhemat pencitraan agar terus dipercaya rakyat selama lima tahun ke depan. "Tidak ada gelar istimewa bagi orang yang paling memiliki banyak janji, dan berusaha keras menepatinya. Tapi gelar itu terkadang diberikan pada orang yang hanya memiliki satu janji dan menepatinya dengan sangat indah". Selamat bekerja, bekerja dan bekerja presidenku.
Artikel Terkait: