Aku scrolled down twitter tadi malam, banyak yang mengeluh tentang panasnya Jakarta yang mencapai 38 derajat. Bahkan, aku menemukan satu video entah benar atau tidaknya belum terkomfirmasi mengenai seseorang yang menggoreng telur di jalanan yang menggambarkan suhu panas di Bekasi, atau mungkin Surabaya. Banyak klaim.
Di sini, di tempatku yang jauh dari Jakarta, mengalami hal sebaliknya. Kami sudah memasuki musim dingin sejak minggu terakhir September kemarin yang diguyur oleh salju.
Kota kami memang sedikit berbeda dengan tempat lain, misal di Eropa Barat atau Asia Timur yang saat ini masih musim gugur. Sementara kami hanya menikmati musim gugur di bulan Agustus akhir sampai minggu ke tiga September. Itupun suhu kisaran 8 hingga -3 derajat celsius.
Musim dingin di sini salah satu yang paling panjang, dimulai dari akhir September sampai dengan Juni tahun berikutnya. Berarti sekitar 7 bulan lebih.
Fenomena alam yang bikin aku heran salah satunya adalah white night yang berlangsung dari bulan Juni-Juli yang membuat nyaris tidak ada malam sama sekali. Gelap hanya sekitar 1 jam (pukul 12-1 malam), sisanya terang benderang seperti pukul 6-7 pagi di Jakarta.Â
Sedangkan saat winter sebaliknya. Dari bulan Desember hingga Januari akhir, kami nyaris tidak memiliki siang sama sekali, selalu gelap. Langit terang (sebenarnya mendung, tidak ada matahari, hanya cahaya langit) sekitar pukul 1 siang, sisanya gelap. Sayangnya, aku mahasiswa ilmu sosial, jadi gak bisa jelasin alasannya, hanya bisa menarasikan hehe.
Musim dingin di sini menurutku sangat dingin. Pada Desember hingga Januari akhir tahun lalu suhu kota harian mencapai -35 derajat celcius. Soal angka hampir sama seperti Jakarta, bedanya cuma awalan (-) dan (+) hehe.
Laut Putih, Sungai Dvina semua beku. Tapi, hati selalu hangat dengan kue manis khas Russia dan wine, bir, atau sekadar teh manis yang dicampur lemon dari Uzbekistan.
Di sini hanya ada 4 mahasiswa Indonesia termasuk aku. Kak Winny semester akhir S1 jurusan Environmental Engineering, Kak Eka S2 Bioteknologi, Bang Imron dari Aceh S3 Teknologi Kesehatan, dan aku S2 jurusan Studi Regional Arctic.
Kami adalah keluarga kecil. Lucunya, kami satu sama lain dari suku berbeda, Winny - Ambon, Eka - Jawa, Imron - Batak, aku sendiri Palembang.
Winter memang kadang menyebalkan, karena 98% aktivitas di dalam ruangan, 2% lainnya di luar hanya untuk jalan.
Musim ini juga bikin semua jadi repot. Penghangat yang harus hidup 24 jam, sayuran yang nyaris gak ada. Semua makanan rata-rata sudah dibekuin termasuk sayur kol, buncir jika tidak sudah diawetin di kaleng dan buah-buahan gak segar dan jumlahnya dikit. Sangat sedikit.
Namun, di balik ini semua aku suka musim dingin. Kota kami menjelma seperti kerajaan kayak di film-film Disney. Cantik. Indah. Menakjubkan. Tahun ini, mungkin bisa jadi musim dingin terakhirku di kota Arkhangelsk, karena tahun depan aku rencananya akan menghabiskan satu semester di Norwegia di kota Tromso atau Budo dan setelah itu kembali ke sini dan selesai masa studiku.
Aku rindu Indonesia. Kangen sama berisiknya Jakarta, nasi padang di pinggir kampus IISIP, nasi orek tempe pake sayur daun singkong di warteg, lesehan lele malam-malam di jalan Otista, es kelapa di pojok pasar Lenteng Agung dan pasti rindu ke pada emak, teman-teman dan pacar (mantan maksudnya) hehehe.
Untuk kalian yang membaca tulisan ini, kutitip rindu untuk negeri kita. Negeri yang amat aku (kita) cintai dengan segala isinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H