Mohon tunggu...
Sandi Saputra
Sandi Saputra Mohon Tunggu... Konsultan - Tenang saja, aku hanya belajar.

Mahasiswa S2 yang sedang menjalani mimpinya di Kutub Utara

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kantin Sekolah, Cara Irit Hidup di Kutub Utara

9 April 2019   12:38 Diperbarui: 10 April 2019   02:13 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jarak: Yang ada huruf warna Ijo Kampusku | dokpri

Kadang, aku sering terjaga sampai malam ketika ada pekerjaan yang menurut ku harus diselesaikan, apalagi dulu ketika masih kuliah S1 di Jakarta, sering begadang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk.

Uwak sudah sibuk sekitar jam 3 pagi, terdengar kesimpangsiuran air yang keluar dari keran, minyak yang bersambar dengan tempe, tahu dan roti goreng. Aroma nasi kuning yang bercampur dengan daun pandan, daun salam dan aroma sere yang akan membuat siapapun akan bangun pada pagi yang masih belia itu. Kadang, aku sering dagelan sama Cak Yo, tentang Uwak yang selalu bangun pagi.

Ingatan tentang makanan Indonesia selalu membuatku kangen rumah. Aku rindu dengan macet Jakarta yang menyebalkan, rindu dengan es kelapa, rindu dengan Ciracas, Cinjantung, Lenteng Agung dan dia yang telah hilang berasama karir dan pekerjaanya.

Sekarang aku di Arkhangelsk, kota yang dingin di Kutub Utara yang sangat aku cintai. Aku jauh dari kebisingan, kemacetan. Aku damai. Aku rindu.

Aku hidup dengan memasak, Cak Yo pernah bilang kalo laki-laki yang bisa memasak itu seksi. Aku setuju, tapi bagiku lebih dari itu, masak itu tidak hanya sekedar kata kerja yang mengubah benda yang bisa menjadi lebih enak, tapi memasak adalah filsafat kehidupan yang dapat menyatukan yang berperang seperti di Sudan Selatan, membuat perang yang berdamai di Venezuela dan Al-Hol.

Memasak itu dapat membuat keluarga lebih harmonis, tapi juga sangat bertentangan dengan spektrum feminisme. Memasak adalah meditasi bagi jiwa-jiwa yang ingin bercerita tentang konstruksi sosial yang mengekang pikiran dalam struktur sosial yang dibangun dengan fondasi dogma dan serpihan ketiadaan. Nihilisme yang bersaut-sautan dengan Kesepakatan Sosial Thomas Hobbes yang menyedihkan.

Aku punya cara tersendiri untuk mengirit biaya kehidupan sehari hari. Sangat sederhana dan menyenangkan. Aku masak setiap hari dan selalu membawa bekal kemanapun aku pergi, termasuk ke kampus, piknik, konferensi bahkan seminar. Ini bukan hal baru bagiku, karna dari dulu sejak SMK aku memang sering ngebekel.

Kalo lagi pengen makan yang lain, atau jajan di kantin. Aku punya siasat yang cukup ampuh heehe, aku nyaris tidak pernah makan (beli makanan) di kantin kampus, karena menurut ku cukup mahal.

Misal, untuk 1 gelas teh, makaroni, fillet dan sup biasanya dengan harga 300 rubble (sekitar 65 ribu), itu bisa cukup untuk 2-3 hari makan dengan memasak. Lalu gimana? Jadi aku membawa makanan dari rumah, ngebekel lalu makan di Kantin Kampus, jadi kan tetep sama aja, berasa makan di kantin dengan harga murah bahkan gratis! Karna bawa sendiri hihi.

Cara lain yang aku lakukan adalah dengan pergi ke kantin sekolah! Yes kantin sekolah! Jadi, tidak begitu jauh dari kampus, ada sekolah setingkat SMP-SMA gitu, kantin itu memang 80% dioperasikan oleh siswa-siswi kecuali yang memasak. Kantin itu memang terbuka untuk umum namun, hanya orang-orang lokal saja. Aku pertama kali ke sini diajak salah satu mahasiswi Indonesia namanya kak Wina. Tapi, sekarang jadi keseringan hihii.

Di kantin ini, aku belum pernah bertemu dengan orang asing lain. Sangat berasa bahwa banyak yang memperhatikan jika aku sedang makan di sana, ya wajar sih, misal bayangkan kalo di Indonesia gitu ada bule yang makan di warteg atau kantin sekolahan, pasti yang makan di sana termasuk siswa-siswanya banyak yang ngeliatin hihi.

Spageti, Roti dan telur bawa sendiri. Sup, fillet dan teh beli di kantin sekolah | dokpri
Spageti, Roti dan telur bawa sendiri. Sup, fillet dan teh beli di kantin sekolah | dokpri
Aku sering makan di sini, karena sangat murah dengan rasa dan jumlah yang sama bahkan sedikit lebih banyak porsinya, misal untuk 1 gelas teh, makaroni, fillet dan sup biasanya dengan harga 120 rubble saja (sekitar 26 ribu). Sangat murah kan, jika dibandingkan dengan kantin kampus.

Bahkan terkadang, aku membawa bekel sendiri, misal roti dan spageti dari asrama, lalu di sana cuma beli sup dan fillet, karna teh juga bawa dari rumah di dalam termos kecil. Jadi Cuma sekitar 90 rubble atau 20 ribuan rupiah aja. Selain itu, ada rempehan (apa coba bahasa Indonesianya yang bener hihi) roti gratis hihii + yang jagain kantin ini kan anak sekolah, nah pada geuli-geulis euyy, apalagi pas jam istirahat.

Hal yang bikin lucu, atau bisa dibilang identitas dari kantin inilah, setiap abis makan dari sana baju dan jaket ku pasti bau asep wkwkwkw. Karna, memang sistem ventilasinya kurang bagus, jadi udara kurang bebas keluar masuk. Tapi, biarinlah, yang penting makanannya enak, banyak, murah dan sehat.

Gak malu? Jangan pernah malu untuk melalukan hal-hal yang dapat membuat kita lebih baik, malu itu jika kita ngambil punya orang lain, mengambil yang bukan milik kita atau bagiku malu itu ketika kita tidak mampu bersaing dengan orang-orang dari seluruh dunia.

Aku sangat bersyukur dengan adanya kantin tersayang ini. Semoga hubungan kami langgeng ya

Rempehan roti yang gratis | dokpri
Rempehan roti yang gratis | dokpri

Suasan kantinya | dokpri
Suasan kantinya | dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun