Kabinet merupakan perpanjangan tangan presiden dalam menerjemahkan visi dan misi menjadi kebijakan-kebijakan konkret. Terpenuhinya janji-janji presiden selama masa kampanye sangat bergantung pada kinerja kabinet yang dibentuknya.Â
Berbagai permasalahan yang ada saat ini mulai dari proyek ambisius IKN, banyaknya PHK, perlambatan ekonomi, warisan utang yang menggunung, hingga kebutuhan makan bergizi gratis bagi anak sekolah, semuanya tentu memerlukan kebijakan yang efektif dan anggaran yang tidak sedikit.Â
Untuk itulah, presiden dituntut untuk cermat dalam memilih jajaran menteri yang bisa memanfaatkan kesempitan anggaran demi untuk meluaskan manfaat dari setiap kebijakan yang diimplementasikan. Namun demikian, isu terkait pembentukan kabinet yang terdiri dari 44 kementerian dianggap terlalu gemoy.Â
Istilah tersebut merujuk pada strukturnya yang terlalu gemuk ketimbang struktur kabinet presiden-presiden sebelumnya sejak era reformasi bergulir. Indikasi gemuknya kabinet tersebut semakin menguat setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kementerian Negara oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI beberapa waktu lalu.Â
[1] Dalam regulasi tersebut presiden nantinya diperbolehkan untuk menentukkan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan tanpa adanya batas maksimal sebagaimana yang berlaku selama ini.Â
Kabinet yang gemoy tentu bukan solusi jitu dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada saat ini. Obesitasnya suatu kabinet berpotensi melahirkan sejumlah permasalahan yakni diantaranya pertama, inefisiensi anggaran.Â
Dengan semakin banyak kementerian, beban anggaran operasional tentu akan membengkak.
 Ini bisa berdampak pada pengeluaran untuk sektor-sektor penting lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Kedua, terjadinya tumpang tindih kebijakan. Pemisahan kementerian yang mulanya bersatu membuka peluang lahirnya banyak kementerian yang memiliki tanggung jawab yang identik.
 Irisan kepentingan berpotensi melahirkan konflik yang berujung pada benturan saat implementasi kebijakan di lapangan. Hal ini dapat berujung pada output yang tidak sesuai dan mubazirnya anggaran. Ketiga, lambatnya pengambilan Keputusan. Dengan banyaknya pihak yang terlibat, konsensus akan lebih sulit dicapai.Â
Perbedaan persepsi dan interpretasi dalam kepala setiap pimpinan kementerian akan berujung pada ragam artikulasi yang menyulitkan pemerintahan di level implementasi. Hal ini menjadi problematik terutama dalam situasi darurat yang memerlukan respons cepat, seperti bencana alam atau krisis ekonomi.Â
Belum lagi setiap menteri mungkin lebih condong pada kepentingan partai atau golongan mereka masing-masing ketimbang tujuan nasional. Hal ini dapat mengakibatkan keputusan yang tidak optimal bagi masyarakat secara keseluruhan. Keempat, sarang baru koruptor.Â