Mohon tunggu...
Bagong
Bagong Mohon Tunggu... -

Berusaha menjadi hamba Allah yang senangtiasa tawadduh, sederhana dan apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sepenggal Cerita Haji di Saat Berlapar Ria

10 Oktober 2013   08:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:44 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam jam 12.30 lewat kami bergerak ke Mina ke tempat maktab kami, dan jam 2.00 dinihari sebagian jemaah maktab kami bergerak ke Jamarat Aqaba, jalan kaki 7 km, kami sekitar jam 2.30 membentuk kelompok ada sekitar 30an jemaah dan mempersiapkan “senjata”, yaitu sekantong batu kecil yang telah kami pungut ditempat mabit, air, makanan, syal sebagai penanda rombongan, supaya tidak hilang atau mudah saling mengenal kelompok, bendera kloter dan bendera merah putih. Umumnya jemaah Indonesia memilih tengah malam sampai subuh, karena takut disiang hari saat jemaah dengan fisik besar tinggi, membludak, ini demi keselamatan!!. Meski jam 1.00 sampai 4.00 dinihari, di jalan dan terutama di jamarah harus ektra hati hati, bila jatuh bisa ke injak ribuan orang berdesak desakan.

138145514914538595
138145514914538595
Saat melempar jumrah

Dinihari itu juga, kami telah menempuh perjalanan 14 km, karena daerah maktab diujung paling luar Mina hanya berjarak ratusan meter dari Muzdalifah, tempat mabit kami. Kami tiba kembali di maktab menjelang sholat subuh, setelah shalat berjamaah kami melepas penat dan tidur.

Paginya, naah, kembali lagi ke masalah “lapar” itu, kami bagai semut rangrang keluar sarang mencari makanan apa yg bisa dibeli, sampai jalan lagi sekitar 2 km khusus untuk membeli pisang dan telor rebus (karena hanya itu yang dijual). Siangnya inilah yang sempat kami sedih, menjadi pengemis karena demi menjaga tubuh tetap kuat ibadah fisik, yaa harus makan nasi dan lauk, Bertemu dengan jamaah Indonesia lainnya yang juga sedih meratapi dirinya menjadi peminta minta, membawa wadah melongok antar tenda maktab demi mendapatkan makanan nasi dan lauknya. Siangnya melalui jasa mahasiswa yg belajar di arab, kami mendatangkan makanan dari Mekkah.

Hari kedua di Mina, kami perlahan sudah “survive” dengan keadaan, karena saat idul qur'ban di Mina, banyak sembelihan onta, kambing dan qibash. Orang arab membawa truk daging qur'ban yang dibagikan bagi yg mau. Jalan ke jamarat penuh dengan bau masakan daging qurban, penjual nasi juga mulai ada baik dari orang afrika dan TKI yang nyambi.

Dinihari jam 2.00, malam ketiga 12 Dzulhijjah kami mempersiapkan rombongan lagi buat melempar jumrah ke 3, dengan persiapan “senjata”, di Jamarat kami sempat “sedekah batu”, karena ternyata ada anggota kami yang kantong batunya jatuh dijalan, jadi kami patungan batu kecil 3x7 biji bila ada kelebihan buat jemaah tadi itu. Jangan coba coba memungut batu disepanjang jalan!!, bisa terinjak injak. Meski kami jalan pada dinihari jam 2.00, bukan berarti jalan lengang, tapi jemaah haji tetap berdesakan, mempertahankan barisan, komando di depan harus berbadan kekar membawa bendera dan mepertahankan barisan, suasana seperti pasar yang susah jalan. Allahu Akbar!! ini replika kecil dari hambaran hamba hambaNYA di padang Masyhar nanti.

Dari mulut dan hati tak hentinya disepanjang perjalanan, melafalkan: Labbaikallahumma Labbaik, Labbaika Laa Syarikalaka Labbaik, Innalhamda Wan Ni’mata, Laka Wal Mulk, Laa Syarikalak

Kami memperpendek ibadah jumrah di Mina sampai 12 Dzulhijah pada pelemparan ke 3 kalinya, di Jamarat; Ula, Wutsa dan Aqaba. Pada siang 12 Dzulhijah rombongan kami pulang ke Mekkah, hanya mengikuti ibadah yang wajib saja (disebut nafar awal). Maklum masalah makan itu, menunggu kiriman Kentakcy dari Mekkah, dan sebagian sumbangan dari dermawan.

12 Dzulhijah, tiba di penginapan hotel di Mekkah pada sore hari, dan bergegas melaksanakan ibadah haji paling akhir yaitu tawaf dan sai, kemudian tahlul (acara gundul pacul) di tukang cukur orang India, Pakistan yang fasihnya ngomong bahasa Indonesia “sepuluh rial!!!, sepuluh rial haji !!”... Ha haahhaha. Dan akhirnya ini yang ditunggu tunggu, makan sepuasnya di restoran sekitar Mesjidil Haram. Ada bakso bang Udin di dekat Hotel Sofitel, atau restoran dewek lainnya, tapi saya lebih afdol kentacky, 4 potong ayam, kentang goreng dalam kotak besar.

Sekiranya Allah memberi umur, rejeki dan kesempatan, ingin rasanya kembali menyusuri perjalanan ritual ibadah haji itu, luar biasa !! Meski dengan suasana yang sama “berlapar ria....”. Tetapi para haji haji harus sadar, saudara kita yang belum menunaikan rukun ke lima ini mengantri sampai 20 tahun!!! Kita legowo memberi kesempatan..........

Dan para haji haji itu jangan korupsi yang menjemuskan bangsa ini... karena alangkah mirisnya melihat pelaku koruptor yang bergelar haji bagai deret ukur, suatu realitas yang tersaji gamblang republik ini.

Salam saudaraku sebangsa dan setanah air.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun