Mohon tunggu...
Bagong
Bagong Mohon Tunggu... -

Berusaha menjadi hamba Allah yang senangtiasa tawadduh, sederhana dan apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sepenggal Cerita Haji di Saat Berlapar Ria

10 Oktober 2013   08:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:44 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengalaman berhaji di tahun 2006

Mabit di Muzdalifah Disaat umat muslim berada di padang Arafah, wukuf di siang hari menjelang berangkat ke Muzdalifah buat menginap sesaat (mabit) sampai lewat jam 12.00 malam. Ingat ritual haji, bayangan di tahun 2006 kini terlintas lagi suatu episode yang sangat berkesan . Dan rasanya ada kerinduan yang dalam, ingin menapaki kembali jalan kerumahMU yaa Allah, ampuni hambaMU yang nista ini, yaa Allah......

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ

إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Labbaikallahumma Labbaik, Labbaika Laa Syarikalaka Labbaik, Innalhamda Wan Ni’mata, Laka Wal Mulk, Laa Syarikalak

Bagaimana tidak, saat itu ada perasaan haru, khusyuk dan berbaur rasa malu. Kok jemaah haji kita jadi pengemis kotak nasi dan lauknya pada beberapa maktab haji Indonesia (MHI) yang punya kepala maktab dermawan yang menyediakan dari koceknya sendiri makanan buat maktabnya.

Muasal dari semua ini, karena tidak berfungsinya kontraktor penyedia makanan MHI selama di Arafah dan Mina, jadi ada 200 ribu jemaah yang berlapar ria selama 3 hari. Bangsa dewek yang hanya mengenal makan nasi dan lauk, banting stir makan biskuit atau buahan pisang, jeruk, apel dan minum air zam zam yang banyak. Memang kita diajar jadi monyet, kalee !! Beruntung sebelum berangkat ke Arafah, jamaah kelompok kami membeli KFC di Mekkah, jadi saat tiba di padang Arafah adalah pengganjal perut, tapi siang, malam dan pagi harinya kita makan apa?. Jamaah yang tidak kuat imannya, bisa emosi menunggu dan menunggu makanan. Sampai ada yang ngomel melulu, marah, kasian ibadah jadi tidak khusyuk. Saya meski sakit panas harus ngopi dipagi hari, karena kalau tidak bisa migran, ngantri beli air panas 2 real segelas, penjualnya orang madura, meski tidak sampai mendidih kita tetap berebutan.

Malam mabit di Muzdalifah saya bersama beberapa jemaah jalan gontai dari Mina melewati beberapa maktab menuju mabit, suatu tempat yang kurang lebih seperti lapangan yang banyak kerikil dan pebukitan daerah Muzdalifah, hanya berjarak 300 meteran dari daerah Mina. Beruntung lewat pada suatu maktab di daerah yang jamaahnya lagi pembagian makanan nasi kotak. Meski kami bukan dari maktab itu, yaa nyelinap juga minta bagian nasi kotak. Beruntung petugas dan koki tidak bertanya dari maktab mana, atau tahu kita orang kelaparan sehingga dapatlah beberapa kotak. Jadi bisa membagi kebeberapa jemaah lain di kelompok kita.

Saya yang sudah seharian lapar, makan sambil jalan ke tempat mabit, pikiran saya daripada syahid sebelum ritual haji rampung, minimal supaya fisik kuat untuk ibadah selanjutnya. Karena baru selesai wukuf, belum mabit, belum melempar jumrah dan belum kembali ke Mekkah untuk tawaf dan sai. Sedang kemarin malam sampai siang harinya rasanya di padang Arafah, perasaan umur tidak sampai besok, karena sakit panas tinggi dan hanya meringkuk diantara jemaah yang khusyuk wukuf. Saya paksakan jalan sempoyongan cari dokter, yaa itu dia! dokter kloter juga khusyuk wukuf, jadi tidak tahu dimana. Khotbah wukuf dan sholat Jum'at saya jalani dengan duduk dan tidur, terbersit doa lirih “Ya Allah berikan hambaMU ini kesempatan merampungkan ibadah haji ini ya Allah...”. Alhamdulillah, Allah mengabulkan hambaNYA, sore hari tiba tiba jadi sehat, kuat jalan dan kuat mencari (mengemis) makanan nasi kotak buat sendiri dan kelompok, saat mau berangkat ke Muzdalifah dan Mina!!. Terenyuh rasanya, menangis, ada kebahagian, kepasrahan jiwa dibalik kelaparan. Alhamdulillah!!

Saat mabit, tidur berdempetan dengan kelompok hanya pakaian ihram, tanpa celana dan selimut, wuiih sungguh mengigil. Ada yang berkesan jamaah dari Jogya atau Solo (?) ikut berdekatan dengan kami, mereka duduk bersila diantara jemaah laki dan perempuan, melantungkan dzikir boso jawa. Badan jamaah meliuk mengikuti irama dzikir. Alhamdulillah, khazanah budaya islami kita sungguh kaya. Ingin rasanya mendengar kembali lantunan dzikir itu dari saudara saudaraku dari jawa, meski saya dari bugis tetapi menghayati irama dzikir itu.

Kembali ke masalah “kelaparan”, sebagaian besar jemaah belum makan siang dan malam, lewat perjuangan gigih, beberapa jemaah kelompok kami berseliweran mencari sumbangan nasi dari dermawan jemaah negara lain atau dermawan arab. Malam itu didapatlah beberapa talang nasi campur minyak samin, seorang teman eselon 2 di Jakarta, dengan bangga berlari memikul nasi talang buat makan jemaah rombongan kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun