Renungan pada seorang tokoh perdamaian
Siang itu, tadarus Al-Qur’an baru saya selesaikan dengan ustadz murid seorang ulama besar yang sangat dihormati di kota Watampone, Bone. Beliau kami menyebutnya anreng gurutta, KH Junaide, yang bahasa Indonesianya sebenarnya KH Junaid. Orang bugis dengan dialeknya, nama seseorang yang mestinya Abubakar akan menjadi Bakkareng, Halid menjadi Halide, Idrus menjadi Idurusi… Aneh yaa, ha haa, mungkin sama dengan orang Tangerang dari nama Muhammad menjadi Mamad, Muhammad Hasan menjadi Madasan, Machmud menjadi Mabud he hee.
Saya masih mengulang hapalan Al-Qur’an saat itu, datang dua tiga orang menghadap KH Junaid, ulama yang sangat kami hormati itu, salah satu tamu, kayaknya mahasiswa, perawakan kecil yang segera duduk bersila dihadapan ulama kami. Anak muda itu, berbicara dengan tenang dan membicarakan hal hal penting di mihrab mesjid raya Bone saat itu.
Mesjid kami waktu itu, adalah mesjid paling besar di kota kami, besar tetapi pembangunan, perawatan dan peremajaanya sangat bergantung pada sumbangan para jemaah. Yang saya ingat dikala itu, tiba tiba ada peremajaan besar-besaran mesjid kami, semua atap mesjid dan beberapa bangunan direnovasi. Ada penambahan asrama santri hafidz Al-Qur’an yang tinggal disana yang sedang belajar menghapal Al-Qur’an. Kami anak mesjid kadang menjadi kuli bangunan dan jemaah mesjid juga banyak berpartisifasi sebagai pembantu tukang batu. Kalau renovasi kecil biasanya hasil celengan mesjid dan beberapa donatur pada disetiap acara shalat. Kami menjadi kuli bangunan mesjid, ada perasaan senang karena upahnya yaitu makanan dari jemaah di penjuru kota. Kadang kami berebutan kalau ada makanan yang sempat dimakan oleh ulama besar kami itu, kami mencari berkah dari ulama yang sangat kami hormati.
Kembali ke mahasiswa itu, perawakannya kecil sedikit gemukan, masih saya ingat betul raut wajahnya. Kami anak mesjid bertanya tanya, siapa penyumbang dana dari renovasi besar besaran mesjid kami itu. Sampai saat itu tidak seorang pun tahu, hanya Kiyai dan orang penting mesjid mengatakan seseorang pengusaha dari Makassar, yang tidak mau disebut namanya.
Yang kami tahu, pengusaha yang relatif sukses di Bone dan di Makassar yaitu H. Kalla menantu kepala desa kami, desa Bukaka dimana mesjid kami berada, tetapi ini tidak pernah mau disebutkan.
Kalau saya ke mesjid dari rumah orang tua selalu melewati tempat pangkalan bus angkutan Cahaya Bone, kadang kami melihat H. Kalla pemilik usaha angkutan itu sering juga tidak, pikiran saya mungkin pak haji ada di Makassar.
Masih ingat, saat ramadhan tiba di mesjid kami, acara pidato tarawih sering diisi oleh aktivis mahasiswa HMI yang pulang kampung, namanya mahasiwa Makassar, tentunya ingin menunjukkan kebolehannya dalam penguasaan agama dan unjuk kepiawaian berpidato, menggunakan kata kata ilmiah “introspeksi, asimilasi” yang saat itu kadang saya tidak tahu artinya, dan salah satu penceramah mahasiswa di atas tersebut.
Sampai saya tamat di SD, SMP dan melanjutkan SMA di Makassar tidak pernah saya ketahui penyumbang dana mesjid itu. Dan ingatan tentang mesjid dan penyumbang dana itu tidak pernah lagi masuk dalam rana pikiran saya.
Sampai pada suatu ketika, saat saya selesai kuliah dan rencana ke Jakarta sempat pulang kampung dan sholat di mesjid kami itu, rahasia donatur mesjid mulai terbuka melalui penuturan orang mesjid. Raut wajah mahasiswa itu masih saya kenal, sangat kenal karena itulah JK saat ini. Perawakan tetap sama, JK saat itu bukan penyumbang langsung tetapi tugas dari bapaknya, Haji Kalla, yang ternyata kita bisa melambungkan pikiran kita di alam saat ini, lihat berita http://news.bisnis.com/read/20130531/79/142226/jusuf-kalla-masuk-daftar-48-tokoh-dermawan-dunia, http://www.newsdesa.com/2013/05/ini-alasan-forbes-masukkan-jusuf-kalla.html dan http://www.jpnn.com/read/2013/05/30/174537/index.php?mib=berita.detail&id=174585
Saya kembali merenungkan seorang JK, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, keteladanan dermawan Haji Kalla yang tidak mau diketahui saat memberikan infaq - sedekah. Sampai saat ini, saya tidak pernah dikenal oleh JK, meski saya pernah tinggal tidak jauh dari rumah kakeknya yang kepala desa itu. Dan tidak pernah ingin memperkenalkan diri, saya hanya mengagumi sebagai tokoh nasional, karena beliau sudah milik dari bangsa ini.
Ingatan saya saat menyusuri kota Makassar, sengaja datang bersujud di mesjid raya Makassar yang megah itu, melihat nama pendiri mesjid ini, ternyata salah satu H. Kalla dan ketua yayasan JK. Demikian juga kekaguman pembangunan Mesjid Al-Markaz Al Islami Makassar, JK sebagai tangan kanan mantan Memhankan/Pangab M. Jusuf dalam kerinduan mesjid “Nabawih” termegah di Indonesia timur, dan JK telah mengemban amanah itu (lihat tulisan: 1, 2, 3, 4 dan dan tulisan reportase lainnya), JK sebagai ketua yayasan dari dua mesjid termegah sampai saat ini. Dan rasa kagum saya yang tambah dalam, mengingat tokoh Jenderal M, Jusuf yang mengharu biru kecintaan rakyat (Sulsel khususnya) dan seluruh prajurit ABRI di masa 1978 - 1983, Jenderal yang sangat sederhana, jujur dan merakyat, tidak sembarangan memberi kepercayaan kepada seorang JK.
Dalam hiruk pikuk kampanye pilpres dan banyaknya kampanye hitam, kembali kepada rakyat dalam Pilpres 2014 ini, apakah kita tetap terbuai dengan orator yang berapi api, ketegasan yang katanya akan menjadi macan asia, dan rencana rencana AKAN ini dan itu yang hanya “AKAN dan AKAN”, oleh calon pemimpin yang tersandera berat oleh kepentingan partai politik pengusung. Sedangkan kita butuh pembuktian realisasi yang membumi dan rekam jejak yang teruji oleh rakyat. JK bersedia mendampingi dan menghantarkan pemimpin masa depan kita, Jokowi sebagai penuntasan terakhir pengabdiandi sisa umur beliau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H