Sabtu pagi menuju Cibeo Baduy dalam ...Â
Berangkat naik kereta api (KRL)selama hampir 3 jam dari stasiun Tanah Abang, dengan berdiri karena penuh sesak, sampai di stasiun Rangkas Bitung Banten. Di lanjut dengan naik mobil ELF angkot semi bobrok hampir dua jam dari terminal Rangkas Bitung Banten sampai desa Cijahe, desa terakhir sebelum masuk ke kawasan Baduy luar.
Terbanting banting di dalam ELF selama sekitar 2 jam akibat kondisi jalan berkelok kelok dan semi hancur lebur.Â
Sampai di Cijahe, kemudian dilanjutkan jalan kaki sekitar 5 jam lebih, di bawah panas 40 naik turun 4 bukit, lewat sungai, tanah gersang tanpa pohon sama sekali menuju desa Cibeo di Baduy dalam, sengaja jalan agak memutar agar bisa menikmati huma warga Baduy.Â
Jika langsung ke Cibeo dari Cijahe, tanpa lewat huma cukup jalan selama 1 jam naik turun melewati 2 bukit aja.
Akhirnya sampai di Cibeo Baduy dalam ...Â
Pagi hari jam 6, nongkrong bareng beberapa laki laki Baduy termasuk sang 'Jaro' (sebutan untuk pemimpin desa)Â
Cibeo adalah salah satu desa di wilayah Baduy dalam, suasananya persis seperti desa desa kalo lagi nonton film silat jaman Majapahit atau nonton film jaman kerajaan Eropa di abad pertengahan.Â
Seperti suasana desa abad pertengahan karena banyaknya asap mengepul menembus atap atap bangunan (sebab orang Cibeo masak masih menggunakan kayu bakar).
Seperti suasana desa jaman Majapahit sebab rumah orang Cibeo menggunakan atap daun (mungkin daun rumbia) atau daun apa gitu, saya lupa nanya.Â
Di pagi hari, sebelum berangkat ke ladang, laki laki Cibeo berkumpul di semacam lapangan di tengah desa, (nyangkruk, nongkrong kalo pakai istilah sekarang) sambil memasak air untuk bikin minuman hangat.Â
Asap menepul, obrolan pagi laki laki tentang ladang, musim kemarau panjang, air dan sebagainya sambil menunggu air matang. Matang nya air cukup lama karena ketel besi di masak diatas api yang menggunakan bahan bakar kayu dan dinyalakan dengan gesekan kayu atau gesekan batu.Â
Laki laki Cibeo, di Baduy dalam tidak merokok, sebab dilarang oleh adat, tapi sebagian dari mereka memakan sirih sambil ngobrol.
Sekarang saya udah di rumah, di Surabaya, tapi masih belom bisa move on dengan Baduy dalam ...Â
Padahal untuk kesana harus jalan kaki berjam jam, naik turun bukit, nyebrang sungai pakai jembatan bambu yang saat saya lewat bergoyang goyang seperti mau rubuh karena hanya diikat pakai ijuk.Â
Padahal gak ada sinyal sama sekaliÂ
Padahal di baduy dalam gak boleh motret bikin video,Â
Padahal mandi di sungai,Â
Padahal gak boleh pakai sabun, shampoo, pasta gigi,
Padahal boker juga di sungai dan ambil air juga di sungai,Â
Padahal sungai jauh dari rumsh,
Padahal gak ada listrik, jadi kalo malam gelap gulita
Padahal untuk cahaya hanya mengandalkan minyak, api dan bambu untuk wadah minyak,
Padahal tidur di lantai beralas tikar anyaman bambu
Padahal kalo malam dingin banget
Padahal kalo siang panas banget
Padahal makannya hanya nasi dan sayur sayur aja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H