Dan karena orang tersebut sedang ter-dehumanisir, tindak-tanduknya menjadi tidak manusiawi dan tak berperikemanusiaan, destruktif dan letal. Dalam konteks Indonesia, lihat saja anarkisme yang kian merajalela serta meningkat kuantitas dan kualitas kekerasannya pada sepak-terjang orang-orang front yang menyebut diri pembela suatu agama dan tawuran antar-warga, antar-pelajar, dan antar-mahasiswa.Â
Namun, agresivitas nan keji itu tidak selalu vulgar, berdarah-darah, memporak-poranda, atau yang seperti itu. Seenaknya memarkir mobil di depan rumah orang lain, memakai barang orang tanpa minta izin lebih dulu, pokoknya perbuatan menzalimi orang lain sesepele apapun sudah termasuk penyerangan.
Tidak seperti penyebab autisme mental yang hipotetis (fisiologik-enzimatik, genetik, ataupun lainnya) dan berasal dari luar, penyebab autisme sosial justru adalah diri kita sendiri, yang secara sadar dan sengaja membentuk presumsi yang merusak, mengembangkan prasangka buruk, juga mengeksklusifkan dan mengultuskan diri. Sudah menjadi autis sosial ataupun belum, kita mesti bertanggung jawab. Semua orang mempunyai potensi yang sama untuk mengidap (baca: melahirkan) autisme sosial. Transformasi pemikiran wajib segera kita kerjakan. Kita juga harus berani merombak sebuah adat dan budaya jika karakternya menunjukkan tendensi autistik.
Autisme, baik mental maupun sosial, harus terus diupayakan penanggulangan dan antisipasinya. Terutama bagi generasi muda dan usia produktif, yang merupakan elemen paling esensial bagi kelangsungan dan masa depan bangsa. Jika autisme, terlebih autisme sosial, dibiarkan kian merebak, cepat atau lambat, niscaya generasi muda akan terpuruk menjadi generasi autis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H