Bocah empat tahun termangu bersama malam;
Menatap angin yang mengantuki candra
Dan iseng-iseng main gapleh dengan para kartika dari sejumlah rasi tersembunyi.
Jemari memainkan gelimang dingin kota
Yang kontras dengan siangnya,
Istimewanya kalau pembaringan terjulur antara langit dan bumi
Tanpa reserve menemboki.
Celotehnya menuju sang ibu:
"Mak, kok orang pada pasang kertas-kertas gantung, merah-putih-merah-putih?"
Ibu sedang mengurut-urut teratur betis beralur pembuluh darah balik menjulur-julur,
Masih juga bisa menyahut:
"Besok hari kemerdekaan.
Eh, bukan! Sekarang sudah hari kemerdekaan."
"Hari kemerdekaan itu apa, sih, Mak?"
Si anak dalam petiduran berkhayalnya mulai menyidik.
"Hari kemerdekaan ya hari kemerdekaan. Lomba-lomba. Upacara. Tujuhbelasan."
Ibu asal jawab. Tangan masih lengket di kulit pembatas tulang kering.
Geliat sebentar, si kecil miring ke ibu. Bola mata tak menyembunyikan bingung.
"Tujuhbelasan itu apa, sih, Mak?"
Nafas panjang-pendek mengiringi jawab bunda janda itu.
"Tujuh belas Agustus, Ujang!"
"Kalau tujuh belas Agustus orang gantung kertas ya, Mak? Buat apa?"
Penasaran.
"Ya, rame-rame. Lagu-lagu perang. Untuk rayakan hari kemerdekaan. Begitu, Ujang!"
Setengah ngantuk.
"Hari kemerdekaan itu apa, sih, Mak?"
Repetisi tak bosan berluapan dari budak lelaki beralas bangkai koran.