Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Digitalisasi Idealnya Merekatkan dan Menyemestakan

16 November 2017   12:06 Diperbarui: 16 November 2017   12:10 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber ilustrasi: https://www.freepik.com/free-vector/social-media-icons_1205354.htm)

Umat manusia di dunia ini sudah berada pada titik-tanpa-balik dari kondisi di mana dinamisasi zaman dan kehidupan tak mungkin lagi tanpa teknologi digital. Lepaskanlah digitalisasi dari hidup kita, maka walaupun kita memang tetap masih bisa hidup, hidup yang kita jalani dan jalankan itu tidak lagi memiliki potensi untuk berkembang, meningkat, dan maju. Karena itulah, saya berlaku dan bergaya hidup selayaknya kebanyakan orang di masyarakat perkotaan, yakni sarat digitalisasi. Berselancar di dunia maya, berkomunikasi menggunakan media-sosial, dan mengakses informasi dari portal-portal berita dalam jaringan internet (daring/online) adalah beberapa di antaranya.

Tetapi, karena sudah cukup lama hidup dengan teknologi digital, saya merasakan juga apa yang semua orang rasakan ketika bergaul dengan kehidupan digital. Yaitu, apa yang saya sendiri juluki sebagai "paradoks digitalisasi".

"Paradoks digitalisasi" adalah sebuah fenomena di mana ketika kita hidup secara digital, kita merasakan sentrifugasi dan sentripetasi secara bersamaan namun terhadap obyek yang posisinya justru berlawanan. Terhadap obyek apapun yang posisinya berjauhan secara relasional dengan kita, baik manusia, makhluk lain, maupun benda dan konsep, kita merasakan adanya tarikan untuk mendekat dengannya. 

Jadi, semacam gaya sentripetal. Namun, pada saat bersamaan, terjadi kebalikannya, terhadap obyek apapun yang berelasi relatif dekat dengan kita, kita justru merasakan adanya tarikan untuk menjauh darinya! Jadi, semacam gaya sentrifugal. Dan, pada awal-awal masa digitalisasi menyentuh kehidupan manusia pada kurun tahun 2004-2009, yakni sewaktu internet dan media-sosial bertumbuh dengan begitu cepatnya dari bentuk benih sampai menjadi "pohon yang besar dan tinggi", istimewanya di Indonesia, orang-orang sudah menyadari hal itu. Barangkali, kita, yang pada era tersebut telah mulai mengenal teknologi digital, masih ingat dengan perkataan bernada keluhan dan keprihatinan yang menyatakan, "Internet dan teknologi digital itu mendekatkan yang jauh tetapi justru menjauhkan yang dekat!"

Kita berkeluh-kesah demikian waktu itu gara-gara melihat dan mengalami sendiri, betapa orang-orang yang berada di satu tempat dan bahkan duduk berdampingan bersama keluarganya, para sahabatnya, dan orang yang dicintainya bukannya memanfaatkan kebersamaan tersebut untuk mengeratkan tali kasih dengan orang-orang dekat mereka itu tetapi malah sibuk sendiri dengan perangkat komunikasinya! Mereka memakai gadget tersebut justru untuk berinteraksi dengan orang lain di luar sana. 

Memang, mungkin saja yang mereka ajak berkomunikasi itu teman atau keluarga atau orang dekat mereka juga. Namun, juga sama besar kemungkinannya, yang berinteraksi dengan mereka itu justru orang yang belum pernah mereka temui, sebelumnya belum pernah mereka kenal, dan memang baru kali itu mereka kenal! Dan, lebih sedihnya, orang-orang terdekat mereka, entah itu suami atau isteri atau teman atau pacar atau orangtua atau anak, yang berada di tempat dan ruangan yang sama atau bahkan duduk bersebelahan dengan mereka itu pun melakukan yang persis sama!

Tak layak kita pungkiri, fenomena semacam ini membuat hubungan banyak relasi hati menjadi retak! Suami menjadi jauh secara emosional dengan isterinya, demikian pula orangtua dengan anak-anaknya, juga seseorang dengan saudara-saudara kandung dan para sahabatnya.

Di lain pihak, kemajuan teknologi, tak terkecuali dan utamanya teknologi digital, sejatinya dikejar manusia hanya untuk satu tujuan: mempermudah dan memperingan hidup. Itulah tujuan sekaligus karakteristik dari perkembangan dan kemajuan teknologi, khususnya dalam bidang digitalisasi. Bagaimana tidak. Oleh digitalisasi, kita dimungkinkan untuk berbelanja, memesan makanan, menyewa jasa transportasi, membayar tagihan, memesan tiket pesawat, memesan kamar hotel, dan lain sebagainya, bahkan sampai bekerja dan belajar pun, secara online. 

Semuanya bisa kita lakukan di mana saja dan dari mana saja untuk tujuan ke mana saja. Wajarnya, hal ini membuat kita jadi bisa mempunyai marjin waktu, energi, dan finansial yang lebih besar. Sehingga, kita bisa lebih banyak waktu dengan pasangan dan keluarga serta untuk bersosialisasi. Kita juga dapat berolahraga secara intens dan leluasa. Pula jadi mampu menabung dan berinvestasi.

Apakah memang seperti itu realita dalam prakteknya? Kita pasti sangat ragu untuk menjawab "ya"! Dan itu memang aneh, tetapi itu nyata!

Digitalisasi justru seolah-olah membuat kita lebih sibuk dan terbebani! Seakan-akan, semakin banyak yang "harus" kita kerjakan. Tambah banyak informasi yang "wajib" kita cari. Makin banyak orang yang "harus" kita ladeni di media-sosial. Semakin banyak video, foto, dan tulisan yang "mesti" kita unggah ke media-sosial. Sementara itu, kian banyak pula landas (platform) media-sosial yang "wajib" kita ikuti. Sehingga, tambah banyak kuota internet yang "harus" kita beli. Semua itu kita lakukan dengan alasan supaya kita tetap mutakhir (up-to-date). Yang sepertinya tidak kita sadari, atau kita sadari namun kita abaikan, ialah kenyataan bahwa alasan tersebut sebetulnya ditujukan hanya untuk diri kita sendiri semata-mata! Sebab, kebenarannya, tidak ada orang dan apapun yang mengharuskan kita melakukan semua itu!

Lebih ironisnya lagi, akibat semua itu, kita merasa waktu, tenaga, dan sampai uang kita seperti sudah tidak ada lagi, dan bahkan defisit, untuk diluangkan guna bercengkerama dengan orang-orang terkasih, berolahraga, menabung, berinvestasi, beristirahat, serta menikmati dunia dan kehidupan ini. Tetapi, justru kita tetap sempat berinteraksi dengan orang-orang yang belum pernah kita jumpai, mampu begadang hingga larut malam dan bahkan sampai pagi untuk berinternet dan bermedia-sosial, serta punya uang untuk membeli barang-barang dan makanan-minuman yang kita lihat rekomendasinya di dunia maya yang mana semua itu belum tentu sehat, berguna, dan betul-betul kita butuhkan!

Semua itu adalah ekses! Namun, sayangnya, justru ekses-ekses itulah yang jauh lebih dominan ketimbang khitah dari digitalisasi! Bahkan makin hari makin dominan! Digitalisasi seharusnya mendekatkan yang jauh, sehingga yang sudah dekat pun menjadi lebih dekat sampai merekat. Digitalisasi pun idealnya melapangkan marjin waktu, tenaga, uang, dan semua sumber daya kita yang lain. Juga, karena sifatnya yang menembus banyak batas dan sekat, seperti batas negara dan budaya, digitalisasi pun logisnya harus membimbing kita untuk turut mengglobal dan meluas, sehingga wawasan dan jiwa kita pun kalau bisa menjadi seluas semesta. Tetapi, fakta yang kita temukan dan kita alami sendiri justru adalah kontradiksi dari semua itu!

Dan, yang juga sangat memprihatinkan, ekses digitalisasi itu bukan sekadar terjadi di ranah-ranah dan dalam wujud-wujud yang sudah disebutkan tadi. Sekarang ini, berita bohong atau hoax makin merajalela! Orang-orang sepertinya semakin terpacu untuk berlomba-lomba mengubar ujaran-ujaran kebencian dan fitnah terhadap siapapun! Sehingga, dengan demikian, bukannya menjadi dekat dan rekat, hubungan antar-sesama manusia justru menjadi tambah menjauh dan meretak! Pula, agitasi paham ekstremisme dalam segala bentuknya berkembang-biak makin tak terkendali di dunia maya! Alhasil, alih-alih pemikiran, jiwa, dan wawasan kita meluas, menyemesta, dan inklusif, semua itu justru kian menyempit, eksklusif, dan membutakan!

Saya tidak mau terjebak ke dalam semua itu! Saya ingin mengembalikan digitalisasi kepada khitahnya yang sebenarnya. Selain membuat kita live smart, teknologi digital dan digitalisasi seluruh bidang pun sesungguhnya dapat membuat kita live wise!

Implementasi yang saya terapkan dan wanti-wantikan kepada diri saya sendiri untuk live smart dan live wise dengan digitalisasi ialah seperti ini.

Langkah paling awal dan yang paling menentukannya adalah ketegasan saya untuk menempatkan diri saya dan teknologi digital pada posisinya masing-masing yang benar. Yaitu, sayalah tuan atas diri saya sendiri, atas apa yang saya lakukan, serta atas teknologi digital dan proses digitalisasi yang saya instalasikan menjadi bagian dari keseharian saya.

Selanjutnya, saya menggunakan teknologi digital untuk melesatkan kinerja saya dalam bekerja. Sebagai orang yang salah satu mata pekerjaan dan mata-pencaharian utamanya menjadi penulis, saya kini sudah jauh lebih banyak menggunakan pola pengiriman dan publikasi tulisan secara digital daripada lewat jasa pos atau kurir. Namun, bukan itu semata-mata manfaat digitalisasi dalam hal profesi saya. Seorang penulis mutlak memerlukan banyak sekali bacaan karena dengan membacalah sang penulis memperoleh "bahan bakar" dan sumber energi untuk mendapatkan gagasan-gagasan baru dan segar guna diejawantahkan menjadi tulisan. Nah, membaca secara daring pun sekarang ini makin intens saya lakukan, di samping membaca buku-buku dan bahan-bahan bacaan lain yang tersedia dalam bentuk konvensional fisik.

Lalu, saya tidak menggunakan internet untuk tujuan apapun, termasuk untuk mengunggah tulisan dan membaca, saban kali saya sedang menikmati kebersamaan dengan orang-orang yang saya kasihi. Entah itu kala makan bersama, atau sekadar berbincang-bincang ringan, atau bercanda-ria, atau apapun, pokoknya, dalam momen-momen yang memang pantasnya adalah untuk menikmati kebersamaan.

Sebaliknya, justru saat jauh dari semua orang yang saya cintai, saya justru menggunakan media-sosial menjadi salah satu sarana berkomunikasi dengan mereka, di samping tentunya dengan cara bertelepon, baik bertelepon secara audio saja maupun bertelepon secara video-audio. Saling bertukar kabar, saling mencurahkan isi hati, saling menceritakan pengalaman, saling berbagi informasi baru, atau sekadar mengobrol ngalor-ngidul, itu semua tidak ada yang percuma! Semuanya memiliki porsi pentingnya sendiri dalam melekatkan dan mengeratkan jalinan kasih di antara kami.

Dan, terakhir, saya betul-betul anti terhadap segala berita dan tulisan yang menipu, penuh kebohongan, sarat kebencian, provokatif, menyesatkan, dan yang nuansa nadanya sama dengan itu semua! Saya benci mendengar dan membacanya, saya pun alergi menulis dan menyebarluaskannya. Tetapi, sebaliknya: alangkah nikmatnya rasa di hati ini setiap kali saya usai menuliskan dan mengunggah kebenaran apapun dalam bentuk yang positif, inspiratif, motivatif, dan membangkitkan rasa optimistis! Begitu juga setiap kali mendengar informasi yang berisi kebenaran belaka dan yang juga bernada seperti itu. Termasuk dan utamanya dari dan ke dunia maya melalui wahana digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun