Aku gemar berjalan-jalan, menjelajah, travelling, dan apapun lagi istilahnya. Semua matra wisata aku senangi. Sebut saja wisata apa. Wisata alam, wisata kuliner, wisata belanja, wisata sejarah, wisata budaya, sampai eko-wisata. Semuanya kusukai.
Aku pun sangat mencintai Indonesia. Bukan lantaran begitu berlimpahnya keindahan dan kekayaan alam dan budaya bangsa dan tanah-air kita ini maka aku mencintainya. Sebenarnya, aku sendiri tidak pernah tahu alasanku mencintai negeri kita ini. Tetapi, tidak mungkin kupungkiri, segala keindahan dan kekayaan Indonesia kita itu tentu saja membuatku lebih menggandrungi Sang Ibu Pertiwi.
Meski demikian, bilamana aku mendapat kesempatan yang sangat besar untuk berwisata, baik kesempatan waktu, energi, maupun ekonomi, aku akan berpikir jutaan kali untuk mengunjungi obyek-obyek wisata di Indonesia. Hampir seratus persen pasti, seluruh kesempatan itu kumanfaatkan untuk berwisata ke luar negeri.
Kenapa aku bukannya mengeksplorasi, mengarungi, dan menikmati segala kekayaan dan keindahan Indonesia dulu, apalagi kalau memang benar aku ini mencintai Indonesia? Sebab, aku sudah muak. Jengah. Rasa muak dan jengahku itu pun telah masuk kadar jenuh.
Sudah pasti, aku bukannya muak dan jengah pada Indonesia ini sendiri. Obyek kemuakan dan kejengahanku ialah perilaku-perilaku merusak yang dilakukan bangsa kita dan semua kerusakan yang diakibatkannya.
Ketidakdisiplinan bangsa kita merupakan noda dan kotoran bagiku. Juga etos kerjanya yang sangat rendah. Serta ketidakpatuhannya pada aturan. Pula ketidakpeduliannya pada banyak hal, terutama terhadap lingkungan. Dan sikapnya yang melecehkan batas antara hak dan teritori diri sendiri dengan hak dan teritori orang lain pun tak kalah bikin mual.
Semua itu jelas mendampakkan kerusakan parah dalam berbagai hal dan pada segala tempat. Termasuk pada sektor dan obyek-obyek wisata.
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena sedikit saja sampah yang berserak sembarangan, rusaklah seluruh keindahan alam, keselarasan ekosistem, serta citra budaya dan keberadaban masyarakat daerah bersangkutan dalam pandanganku. Gairah belanjaku pun pasti jadi rusak. Dan, lebih pasti lagi, selera makanku akan lenyap. Dan kalau mau jujur, kita semua, orang Indonesia, pasti mengakui, di daerah manapun, termasuk di obyek-obyek wisata, sampah yang berserakan seperti itu nyaris tak pernah dalam jumlah sedikit, juga hampir tak pernah hanya berada di satu titik saja.
Itu baru satu contoh. Anda semua pasti tahu, masih amat banyak lagi ketidakberesan lain, yang semuanya pasti mencemarkan pariwisata juga. Barangkali, semua itu termasuk faktor utama yang bikin orang masih sangat enggan berwisata di negara kita. Bukan hanya orang asing namun sangat mungkin bahkan orang Indonesia, termasuk kita sendiri, juga.
Oleh sebab itu, bila aku mendapat kesempatan besar untuk berwisata, maka tempat yang kutuju adalah negara, atau negara-negara, yang bukan hanya segala-galanya berbeda jauh dengan Indonesia, namun juga yang mempunyai banyak kebaikan dan kehebatan yang bisa dipelajari untuk diadaptasikan dan diimplementasikan di negeri kita. Jadi, bukan saja supaya kejenuhanku akan segala “penyakit” bangsa kita seperti yang kusebutkan di atas itu segera punah, tetapi aku mengunjungi negara-negara semacam itu juga justru agar dapat memperoleh banyak “resep pengobatan” untuk bangsa kita sendiri.
Dan saban kali berpikir tentang negara, atau negara-negara, sejenis itu, yang senantiasa pertama kali melintas di otakku adalah Skandinavia.