Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Titip Nyawa sebagai Jaminan Masa Depan Anak

12 Oktober 2016   10:53 Diperbarui: 12 Oktober 2016   11:33 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan demikian, dalam melindungi masa depan anak, kita semestinya tidak boleh tanggung-tanggung. Harus total! Jadi, seharusnya kita memandang langkah penjaminan pendidikan anak-anak kita itu sebagai tindakan “menitip nyawa”. Ya, kita menitip nyawa di dalam asuransi pendidikan anak serta juga di dalam segala moda investasi dan tabungan pendidikan anak yang kita ambil.

Paradigma “titip nyawa” yang diterapkan orangtuaku. Hasilnya, mereka mampu mengantarkan aku dan keempat kakakku semuanya selesai mengenyam pendidikan sampai lulus sebagai sarjana! Dan kami berlima mempercayai kenyataan tersebut sebagai mujizat. Orangtuaku pun meyakini yang sama. Dan itu memang benar mujizat. Tetapi, dalam mengerjakan mujizat, Tuhan sering menggunakan usaha kita sendiri sebagai alat dan media-Nya, walaupun tentu saja Beliau sangat bisa bekerja sendiri tanpa mengandalkan peranan kita sedikitpun. Nah, dalam kasus orangtuaku yang menyiapkan pendidikan bagi kami, dan aku yakin juga dalam kasus banyak sekali orangtua lain di dunia ini, Tuhan memilih untuk merajut mujizat-Nya di dalam keringat, airmata, dan bahkan darah orangtuaku. Dan sebagai langkah awal, Tuhan menaruh paradigma “titip nyawa” itu dalam pikiran orangtuaku.

Mengapa kami menyebutnya sebagai mujizat?

Ayahku dulu pegawai negeri sipil (P.N.S.). Tetapi, pada masa itu, menjadi P.N.S. bukanlah sesuatu yang menjadi idaman. Semua calon mertua akan pikir-pikir ratusan kali untuk pinangan seorang laki-laki bagi anak perempuannya bila si laki-laki “cuma” seorang P.N.S., yang dianggap “tidak punya masa depan”. Sebab, gajinya luar-biasa kecil. Tidak seperti sekarang. Bahkan, untuk seorang sarjana seperti ayahku saja, gajinya selalu nyaris tidak cukup untuk membiayai makan kami sekeluarga. Tambah lagi, pada saat itu, pada instansi tertentu, P.N.S. harus pensiun pada usia yang sangat muda, yakni empat-puluh tahun. Jadi, sewaktu aku, anak bungsu di keluarga, masih balita, ayahku sudah masuk masa pensiun. Maka, pasca-pensiun, ayahku pun menjadi guru les privat bahasa Inggris. Dan kita semua bisa memperkirakan, berapa rentang pendapatan guru les privat. Sudah pasti sama saja dengan gaji P.N.S. ayahku. Tidak tetap pula. Tergantung jumlah murid.

Ibuku sejak sebelum menikah sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta. Statusnya sebagai sekretaris direktur utama memang memberinya gaji yang lumayan. Namun, setelah mengalami permasalahan sewaktu melahirkanku, ibuku mengundurkan diri dari pekerjaannya. Kesehatannya sudah tak memungkinkan lagi untuk bisa membagi tenaga antara mengurus rumah-tangga, seorang suami, empat anak yang masih S.D. dan beranjak S.M.P., dan seorang bayi, dengan bekerja kantoran secara penuh-waktu. Sejak itu, beliau membantu ayahku mencari penghasilan tambahan bagi keluarga kami dengan cara berdagang makanan. Mulai dari kelas jajanan semacam es mambo sampai dengan makanan sekelas kue bolu marmer cake dan kue-kue kering seperti nastar dan kaastijngel/kue keju.

Kemudian, saat aku baru mau masuk kelas 4 dan kakak sulungku sedang berkuliah di tahun ke-3, ayahku terdeteksi terkena Penyakit Alzheimer. Penyakit degeneratif pada sistem saraf pusat itu membuat ayahku yang sangat cerdas itu perlahan-lahan menjadi pelupa. Pikunnya terus progresif. Sampai di satu titik di mana keluarga kami memutuskan bahwa beliau sudah tidak bisa lagi diizinkan bepergian sendirian. Terlalu berbahaya. Maka, dia pun hanya menerima les privat di rumah. Namun, penyakit tersebut menggerogotinya dengan sangat cepat. Terutama diperparah oleh rasa diri tidak berharga, kian lama kian merasa tidak berharga, yang terus menghantui pikiran beliau. Dan menjelang aku masuk kelas 6, ayahku itu invalid total. Hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tidak bisa bergerak. Bicara pun tidak. Responnya terhadap dunia luar bisa dikatakan sudah tidak ada. Sampai akhir hayatnya, kala aku baru beberapa bulan duduk di kelas 1 S.M.A., beliau tetap seperti itu.

Tetapi, yang mengherankan, dengan kehidupan serba prihatin, apalagi dengan tinggal di kota Jakarta yang biaya hidupnya sangat tinggi, orangtuaku tetap bisa membiayai pendidikan kami berlima kakak-beradik hingga tamat pendidikan tinggi! Terutama dalam membiayaiku, mengingat, aku baru kuliah beberapa tahun setelah ayahku meninggal, dan bahkan menjadi satu-satunya anak yang kuliah di luar kota.

Ternyata, belakangan, setelah ayahku tiada, ibuku baru bercerita bahwa beliau dan ayahku bukan hanya mati-matian dalam mencari nafkah, tetapi mati-matian pula dalam menyediakan jaminan bagi pendidikan kami, anak-anak mereka. Mereka menabung. Berinvestasi dalam bentuk perhiasan dan emas logam mulia. Juga mengambil asuransi, di mana pada masa itu, satu-satunya asuransi pendidikan yang ada di Indonesia hanyalah yang diselenggarakan oleh Bumiputera. Saking mati-matiannya, ibuku mengistilahkan usaha beliau dan almarhum ayahku itu dengan sebutan “titip nyawa”. Ya, mereka berdua sudah menganggap, mereka seperti menitipkan nyawa mereka kepada Bumiputera sebagai penyedia asuransi, kepada bank tempat mereka menabung, dan kepada toko emas tempat mereka menitipkan lagi emas yang sudah mereka beli agar lebih aman.

Yang mereka lakukan adalah seperti ini. Sejak mereka menikah, setiap kali mendapatkan uang, ibu dan ayahku pertama-tama menyisihkan sepuluh persennya untuk perpuluhan, karena mereka adalah orang-orang Kristen yang taat, jadi mereka taat dan berdisiplin pula dalam membayarkan perpuluhan, suatu jenis persembahan wajib dalam keimanan Kristen. Setelah itu, mereka menyisihkan lagi untuk premi asuransi pendidikan kelima anak dan untuk ditaruh di tabungan di bank, tabungan yang memang khusus diperuntukkan bagi jaminan pendidikan kami, anak-anak mereka. Dan sewaktu jumlah uang di tabungan itu sudah agak besar, mereka mengambil sebagian untuk dibelikan emas, yang tak lain untuk investasi pendidikan kami, anak-anak mereka, juga. Sisanya, barulah untuk kebutuhan sehari-hari. Nah, sisa uang penghasilan mereka inilah yang seringnya hanya cukup untuk membiayai makan, pakaian, seragam, dan ongkos sekolah anak-anak. 

Jadi, selama bertahun-tahun, bahkan lebih dari dua dekade, kesempatan kedua orangtuaku membeli pakaian baru untuk mereka sendiri bisa dihitung dengan jari di satu tangan saja. Selama bertahun-tahun juga, orangtuaku sering berpuasa, karena makanan hanya cukup untuk anak-anak, yaitu kami berlima. Dan selama bertahun-tahun pula, orangtuaku nyaris selalu berjalan kaki kalau bepergian, karena kalau memaksakan diri naik kendaraan umum, mereka tidak punya uang lagi untuk makan anak-anaknya esok hari!

Semua itu rela mereka berdua lakukan karena bagi mereka, kami berlima, anak-anak mereka, adalah kehidupan mereka. Masa depan kami adalah tarikan nafas mereka. Dan masa depan itu harus cerah, karena kalau tidak cerah, kehidupan mereka pun mereka rasakan seperti sudah hampir berakhir. Oleh sebab itu, pendidikan kami pun menjadi nyawa bagi mereka. Dalam pikiran mereka, tidak ada masalah sama sekali menjalani kehidupan diri pribadi mereka sendiri secara prihatin dan bahkan menderita. Kurang makan, berpakaian yang sebagian besar sudah cukup usang bahkan lusuh, dan pecah kaki gara-gara habis dimakan aspal. Bahkan, tidak masalah juga kalau kehidupan diri mereka sendiri berakhir. Yang penting, kami berlima, anak-anak mereka, punya masa depan yang gemilang melalui selesainya pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Sebab, dengan begitu, bagi mereka, kehidupan mereka pun berlanjut, yakni di dalam diri dan kehidupan masa depan kami, anak-anak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun