Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merevolusi Mental dan Kesehatan Reproduksi Generasi Muda: Pendidikan Nikah, bukan Sekadar Pendidikan Seks!

11 Juli 2016   15:18 Diperbarui: 11 Juli 2016   15:37 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan Nikah (Sumber foto: http://www.jawaban.com/read/article/id/2014/05/03/80/140430154511/Ini-Alasan-Kenapa-Pasangan-Butuh-Konseling-Pranikah)

Mereka memang sangat mengidamkan terciptanya generasi muda Indonesia yang perilakunya mencerminkan mental yang sehat. Mereka pun amat memimpikan hilangnya kekerasan seksual oleh siapapun, dengan alasan apapun, dalam bentuk apapun, dan terhadap siapapun, utamanya terhadap perempuan dan anak-anak. Akan tetapi, mereka kurang begitu peduli, atau malah sangat mungkin tidak peduli sama sekali, apakah anak-anak muda Indonesia menjunjung tinggi dan benar-benar memahami pernikahan atau tidak. Seandainyapun ada yang peduli, kepedulian itu tidak pernah terbaca, terdengar, dan tertandaskan. Sebab, bisa dibilang, orang-orang itu sendiri pun kurang atau bahkan tidak memandang tinggi pernikahan. Sangat mungkin, banyak di antara para calon penolong itu sendiri yang pernikahannya bermasalah atau bahkan mengalami perceraian. Dan sangat mungkin, tidak berbeda dengan pendapat mayoritas orang Indonesia yang lain, perceraian itu bukanlah keputusan yang sulit dan berat bagi mereka, apalagi sampai memandangnya sebagai suatu dosa besar.

Orang-orang dengan kepedulian besar itu pun sepakat, agar generasi muda menjadi sehat mental dan tatanan reproduksinya, kepada mereka perlu diberikan pendidikan seks sejak dini. Alasannya, dengan mengenal seksualitas secara komprehensif, anak-anak muda pun dapat menjaga dirinya dari ancaman eksploitasi dan kekerasan seksual. Mereka pun jadi bisa memahami seksualitas dan perilaku seksual yang sehat, sehingga mempunyai pengendalian diri yang cukup kuat untuk mengelola libido mereka, yang dalam usia muda memang sedang tinggi.

Seksualitas manusia – pernikahan = seksualitas fauna!

Masalahnya, seksualitas mestinya tidak dilepaskan dari perkawinan selaku perisai yang melindungi keagungan seksualitas itu sendiri. Termasuk ketika seksualitas menjadi bahan pelajaran/pembelajaran. Mempelajari seksualitas secara terpisah dari diskursus perkawinan akan mengakibatkan orang cenderung mengabaikan perkawinan. Walaupun dalam program pendidikan seks itu kita membicarakan secara serius soal pernikahan juga, tetapi akibatnya sama saja, peserta didik tetap tidak akan memperoleh kesan bahwa pernikahan itu sesuatu yang adiluhur. Dipandang penting, ya. Tetapi, pertanyaannya, pernikahan itu penting sebagai apa? Dan penting untuk apa? Jawabannya beragam.

Namun, pada semua jawaban apapun, pastilah terdapat “benang-merah” yang meliputi tiga hal. Pertama, sepenting-pentingnya perkawinan, ia tidaklah lebih penting ketimbang seksualitas itu sendiri, bahkan bisa jadi dianggap kurang penting. Kedua, bagaimanapun tinggi-rendahnya derajat atau tingkat kepentingannya, pernikahan tetaplah merupakan bagian dari seksualitas, jadi seksualitaslah yang tetap menjadi bingkai. Sehingga, konsekuensinya, muncullah hal yang ketiga, yaitu bahwa pernikahan selalu menjadi “akibat” dan seksualitaslah yang merupakan “sebab”, pernikahan bergantung penuh pada seksualitas, pernikahan selalu menjadi hamba dari seksualitas, dan salah satu bentuk paling nyatanya ialah membuat pernikahan sebagai cap stempel yang melegitimasi dan melegalisasi seksualitas, contoh kasusnya adalah fenomena “kawin kontrak” dan “nikah siri”.

Dengan memberikan pendidikan seks secara intensif kepada seorang muda, kita memang bisa mengharapkan hasil yang positif berupa tingginya tingkat kesadaran dan pemahaman insan muda tersebut akan seksualitas yang sehat. Sangat mungkin kita akan puas melihatnya mampu menjaga dirinya sendiri dari potensi pelecehan seksual oleh orang lain. Kita pun bisa bangga melihat anak tersebut bertanggung-jawab dalam mengendalikan dan menyalurkan hasrat seksualnya bilamana sedang membara. Tetapi, kita sama sekali tidak punya alasan untuk optimis bahwa anak tersebut akan bertanggung-jawab dalam kehidupan pernikahannya. Kita pun sama sekali tidak bisa punya keyakinan yang mantap bahwa ia akan menjalani kehidupan seksual yang memuaskan hanya dan semata-mata di dalam lembaga perkawinan.

Malahan sebaliknya, kita justru punya beberapa alasan untuk yakin kalau anak yang kita bimbing itu mungkin saja akan mencari kepuasan seksual di luar pernikahan! Artinya, “perilaku seksual yang bertanggung-jawab” a la pendidikan seks itu hanyalah soal melakukan kegiatan seksual yang pada dasarnya hanya berprinsip “menguntungkan semua dan tidak merugikan siapapun”, alias “suka-sama-suka, menyenangkan semua pihak yang terlibat, dan tidak ada paksaan sama sekali”! Sudah, itu saja! Apakah itu tidak merupakan bentuk tanggung-jawab yang sangat superfisial sifatnya? Maka, kita tidak perlu heran bila mendengar bahwa kaum L.G.B.T. (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) pun mengklaim diri mereka sepenuhnya sanggup berperilaku seks secara bertanggung-jawab. Dan mereka memang benar! Sebab, mereka bisa saja tidak pernah memaksa siapapun untuk berhubungan seks. Dan banyak dari mereka yang melakukan aktivitas seksualnya hanya dengan satu orang saja sebagai pasangan, tidak berganti-ganti. Tetapi, mengapa kita di Indonesia tetap mengutuk orientasi seksual mereka?

“Pendidikan nikah”! Itu yang seharusnya! Bukan cuma “pendidikan seks”!

Keadaan akan sangat berbeda apabila yang kita jadikan bahan pendidikan dan pembelajaran bukan seksualitas, melainkan pernikahan. Ketika kita membicarakan seksualitas saja, maka bisa saja kita menyinggung juga soal pernikahan, tetapi mungkin juga tidak, seperti telah kita lihat di atas. Namun, tatkala membahas soal perkawinan, maka kita pun seratus persen pasti akan membicarakan seksualitas juga, tidak mungkin tidak, sebab memang seksualitas merupakan bagian tak terpisahkan dari institusi perkawinan. Dan kalau topik utama yang kita usung ialah perkawinan, maka otomatis seksualitas menjadi aspek yang bergantung penuh dan menghamba pada perkawinan. Kebahagiaan yang diperoleh dari kegiatan seksual, serta kualitas kegiatan seksual itu sendiri, sangatlah tergantung dari kebahagiaan dan kualitas perkawinan yang diusahakan oleh pasangan suami-isteri yang bersangkutan. Sebab, kegiatan seksual dalam bentuk apapun baru bisa dikatakan sebagai seksualitas yang benar, sehat, dan bertanggung-jawab jika, dan hanya jika, dilakukan di dalam ikatan pernikahan!

Jadi, pendidikan yang dibutuhkan untuk membangun kualitas kesehatan reproduksi dan mental generasi muda bangsa kita bukanlah pendidikan seks, melainkan pendidikan pernikahan. Sebab, sesungguhnya, semua manusia punya kewajiban untuk sejak sangat dini memahami secara komprehensif apa dan bagaimana perkawinan itu.

Pernikahan itu apa sih sebenarnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun