Budaya adalah buah pemikiran dan perasaan manusia. Produk yang dihasilkan lewat proses kehidupan dan dimatangkan dalam interaksi antar-manusia (sosial). Dan itu bukan terjadi dalam hitungan detik, beberapa jam, sekian hari, sejumlah bulan, bahkan satu-dua tahun saja, melainkan selama bertahun-tahun, malah berwindu-windu, berdekade-dekade, sampai berabad-abad, bahkan bermilenium-milenium.
Sementara itu, manusia adalah makhluk berdosa, tempatnya lupa dan salah. Tidak sempurna. Karena itu, satu-satunya kesimpulan yang logis, apapun yang dihasilkan oleh manusia juga tidak mungkin sempurna. Mustahil seratus persen benar, adil, baik, bagus, berguna, membangun, dan mulia. Pasti, biarpun secuil, ada saja cacat dan kelemahannya. Hal ini berlaku pula untuk buah karya, karsa, dan rasa manusia yang disebut budaya. Adalah sebuah ketidakwarasan jikalau ada orang mengatakan bahwa suatu atau semua kebudayaan itu seratus persen sempurna, tidak punya kesalahan ataupun potensi kesalahan.
Termasuk, dan terlebih lagi, budaya-budaya yang ada dalam suku-suku bangsa di Nusantara ini. Kebudayaan Indonesia.
Memang, tidak ada alasan untuk menyanggah bahwa di waktu yang sama, semua budaya juga punya nilai-nilai dan keunggulan-keunggulan lain pada unsur-unsurnya. Begitu pula, dan khususnya, budaya Indonesia.
Budaya Indonesia sarat nilai dan kearifan kehidupan yang, bila kita aplikasikan dan implementasikan dengan konsisten, akan menjadikan hidup ini begitu hebat dan bermanfaat bagi sesama dan alam ini. Gotong-royong, yang diajarkan budaya seluruh suku yang ada di tanah air, memungkinkan kita saling berbagi dan mendapatkan manfaat dengan orang-orang lain. Budaya-budaya yang tergolong tua, seperti budaya Badui dan Dayak, sangat menekankan pentingnya kepedulian pada alam dan keharmonisan hidup antar-makhluk dan antar-ciptaan Tuhan.
Semua orang pun dapat dengan mudahnya menikmati jutaan keindahan dari berbagai aspek dan dimensi yang terkandung di dalam dan menyelaputi budaya-budaya dan produk-produk budaya Indonesia. Tarian dan lagu-lagu daerah. Musik dan sastra tradisional. Pakaian dan upacara adat. Alunan yang kaya melodi, ritme, dinamika, dan harmoni, yang menghipnotis tapi juga mampu menggugah pada satu momen yang sama. Kata-kata dan kalimat-kalimat yang terjalin begitu rupa sehingga menguntai daya magis yang sanggup memenjarakan sekaligus membebaskan jiwa. Warna-warni dan bentuk beraneka, menegaskan namun juga menyamarkan melalui perlambangan segala hal yang dibutuhkan mata rohani maupun jasmani. Seluruhnya merupakan gula-gula bagi indera-indera fisik dan batin kita.
Tapi, secara paralel, ada 2 kenyataan yang jauh lebih mencolok lagi. Pertama, kondisi perekonomian Indonesia tidak maju-maju juga, bahkan semakin lama semakin jauh tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang tadinya sama terbelakang dengan kita, atau malah lebih terbelakang lagi. Dan kedua, secara moral dan karakter, bangsa Indonesia tampak kian dekaden, dengan tingkat akselerasi dekadensi yang tambah hari tambah tinggi.
Sederhana saja. Kondisi perekonomian sepenuhnya tergantung pada sistem yang disusun sebagai landasan fundamental ekonomi itu sendiri, sistem regulasi dan penegakan hukum, sistem birokrasi dan reformasi/peremajaan, serta sistem pengawasan dan evaluasi. Percaya atau tidak, tidak satupun pembuatan dan pelaksanaan sistem oleh manusia di muka bumi ini yang tidak relevan dengan budaya yang dianutnya. Sesungguhnya, sistem apapun dirancang dengan pola yang seratus persen sesuai dengan bentuk rancangan budaya orang-orang/bangsa pendesainnya. Dan perjalanan bangsa itu dalam melaksanakan sistem yang dibuatnya sendiri adalah benar-benar sebanding dengan dinamika budayanya.
Sama juga dengan kondisi moral dan karakter. Moral dan karakter dibentuk melalui pendidikan. Pendidikan yang paling berperan itu justru bukanlah pendidikan formal di sekolah resmi, melainkan pendidikan domestik di dalam keluarga dan di lingkungan tempat tinggal. Pendidikan formal di sekolah maupun informal di tempat pelatihan/tempat kursus tidaklah lebih dari empat puluh persen peranannya dalam membentuk moral dan karakter seseorang. Yang didapatnya dari pengalaman sehari-hari di rumah dan lingkungannya lewat tangan orangtua, saudara-saudara, kawan-kawan bermain, dan tetangganyalah yang sangat kuat memahatkan bentuk-bentuk jiwa dan mentalnya. Nah, pola dan gaya hidup masyarakat sangat erat hubungan pengaruh-mempengaruhinya dengan pola budayanya. Maka, pola asuh dan interaksi sosial (yang menjadi unsur-unsur pendidikan seseorang) yang dijalankan dalam keseharian orang-orang di lingkungan tersebut pun sudah pasti sejalan dengan budaya yang dianutnya.
Masyarakat yang patriarkisme, paternalisme, patronalisme, dan feodalismenya kental pasti akan menyusun sistem ekonomi yang didominasi atau bahkan semata-mata berdasarkan kepentingan sang pemimpin yang menjadi patron, entah dia seorang raja, presiden, kepala suku, kepala kampung, tetua adat, dukun kampung, kepala desa, imam atau ulama paling utama, atau apapun nama dan gelar jabatannya. Kegiatan ekonomi masyarakat tersebut pasti diwajibkan berjalan secara sentripetal, yakni hanya boleh dikendalikan oleh dan ditujukan untuk mengisi perut, pundi-pundi, dan syahwat sang pemimpin dan orang-orang di lingkaran dalamnya belaka. Bukan untuk mengenyangkan perut, hati, dan otak rakyat. Bukan pula untuk memadatkan isi kocek dan asuransi rakyat. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bukan cuma menjadi nomor buncit, namun bahkan sama sekali tidak punya nomor urutan prioritas. Bagaimana mungkin masyarakat yang sistem perekonomiannya amat sentralistik dan sentripetalistik semacam itu bisa mendobrak keluar dan mempunyai daya saing secara ekonomi ketika berinteraksi dengan kelompok masyarakat atau bangsa lain?
Di tempat lain, ada masyarakat yang terlampau memandang tinggi harga dirinya. Tindakan membela harga diri pribadi maupun kelompok menjadi budaya yang harus dijalankan setiap individu anggotanya. Tidak boleh tidak. Konsekuensinya, budaya ini makin membentuk individu-individu yang kian asing terhadap negosiasi, diplomasi, toleransi terhadap friksi, sikap pengertian, fleksibel, dan pemberian maaf. Orang-orang yang berdiam dalam masyarakat seperti itu pun akan menjadi monster-monster egoisme-egosentrisme dan chauvinism. Apakah manusia seperti itu dapat disebut bermoral dan berkarakter baik dan mulia, dan apakah masyarakat yang disusun oleh insan-insan seperti itu layak dikatakan sebagai masyarakat dengan moral dan karakter yang luhur?
Jika kita terus-menerus bersikukuh tidak mau mengakui cacat-cacat, kejelekan-kejelekan, dan potensi-potensi dosa yang masih marak menodai wajah dan tubuh budaya kita, adalah jaminan pasti bahwa boro-boro bisa maju, tapi bangsa kita ini justru akan menjadi bangsa yang paling hina-dina sedunia, itupun kalau tetap bertahan dan tidak punah! Sebab, tidak ada perubahan ke arah lebih baik tanpa penyadaran/penginsafan dan kesadaran/keinsafan akan adanya borok dan kebobrokan dalam diri kita, yang kemudian disusul dengan pengakuan akan semua itu, dan ditutup oleh perubahan seratus delapan puluh derajat. Singkatnya, pertobatan! Sama sekali takkan mungkin ada reformasi, revisi, dan rekonstruksi yang sejati tanpa adanya pertobatan.
Kedua kasus soal budaya feodal dan budaya yang terlampau tinggi memandang harga diri tersebut hanyalah segelintir dari budaya-budaya atau unsur-unsur budaya yang cacat. Masih bergunung-gunung budaya dan unsur budaya yang tidak benar, tidak adil, kontraproduktif, dan destruktif. Sekilas saja, soal budaya tidak tertib berlalu-lintas, budaya membuang sampah sembarangan, hingga budaya korupsi, misalnya. Bikin penasaran, bukan?
Ya! Bicara soal kebiasaan yang menjadi budaya, kita bisa membuat lebih dari satu buku bila melakukannya. Bisa sampai belasan atau puluhan atau malah ratusan judul. Hanya tentang cacat dalam budaya yang hampir selalu dimulai dari kelakuan buruk yang amat sangat kecil tapi dibiasakan. Jadi, tidak mungkin semuanya saya bahas dalam satu judul ini saja.
Saya memang ada niat dan rencana untuk menulis buku-buku tentang hal itu. Akan tetapi, kalau sampai harus menunggu buku-buku itu terbit, jangan-jangan kiamat lebih dulu datang dibandingkan bertobat dan menjadi majunya bangsa Indonesia yang sangat saya cintai ini!
Orang-orang Indonesia harus diberitahu dan diperhadapkan sendiri pada sekian ribu cacat dalam budayanya. Jangan sampai terus-terusan memuji-muji budaya sendiri yang, katanya, luhur, namun tidak kunjung juga jadi bangsa yang maju dan beradab!
Nah, ini juga budaya yang salah! Seharusnya, kita giat mencari-cari kekurangan dan kelemahan diri dan budaya kita sendiri, sambil juga rajin meningkatkan kelebihan dan kekuatan dalam diri dan budaya kita. Namun, apa yang kita lakukan terus selama ini, baik di media massa dan media sosial maupun di ajang manapun? Kita tanpa lelah memelototi sekian kelebihan, kekuatan, dan keunggulan yang ada di dalam diri dan budaya kita, memuji-mujinya, lalu terkagum-kagum hingga terlena sendiri olehnya, sambil di saat bersamaan kita pun getol menambah-nambah parah cacat, kekurangan, dan borok yang ada di dalam diri dan budaya kita!
Saya ingin melakukan yang pertama itu: giat mencari-cari kekurangan dan kelemahan yang ada di dalam budaya bangsa kita, seraya rajin meningkatkan keunggulan dan kehebatan yang memang sudah dianugerahkan dan melekat dalam budaya kita itu. Caranya, di samping menjilidnya dalam buku, saya pun ingin menuangkan semuanya secara lebih cepat, yaitu melalui blog-blog pribadi dan akun-akun media sosial saya, supaya semakin cepat pula usaha saya ini tersebar dan kian cepat pula bertambahnya orang Indonesia yang membacanya, tersadarkan, dan kemudian bertobat.
Apalagi, kalau ada perusahaan penyedia jasa layanan internet berjangkauan luas, berkecepatan tinggi, dan bertarif ekonomis yang bersedia mendukung ikhtiar dan upaya saya ini! Indosat, mungkin? Apa bentuk dukungan itu? Yah, bisa dengan memberikan layanan internet gratis kepada saya selama setahun, seperti itu!
Jikalau itu kesampaian, tiap hari saya akan sebarluaskan kondisi bobrok budaya kita! Selain itu, mengingat bisa dipastikan akan banyak sekali kritik dan tanggapan negatif yang saya terima akibat masih minimnya pengertian semua pihak, dengan adanya layanan internet gratis dari Indosat, saya pun bisa menjawab semua keberatan-keberatan tersebut satu persatu. Semua itu maksudnya agar, kalau bisa, semua orang jadi paham dan menjadi sejalan dengan pemikiran saya, dan supaya mereka juga mengerti, saya melakukan ini semua justru karena cinta saya yang begitu besar untuk negeri dan bangsa ini!
Itu sebabnya saya pun sudah mempertimbangkan, akan tidak sedikit juga orang asing yang membacanya. Mereka jadi bisa tahu aib bangsa dan budaya kita. Tidak mengapa. Justru itu bagus! Karena, itu akan melecut rasa malu di hati bangsa ini! Saya harap, dengan begitu cepatnya rasa malu memenuhi hati, maka bangsa ini akan selekasnya sadar dan bertobat, berani meninggalkan, mencampakkan, dan menginjak-injak budaya-budaya dan unsur-unsur budaya yang selama ini destruktif dan sejatinya sangat nista!
Tapi, kalau tidak demikian, kalau sedikit saja atau malah tidak ada seorangpun dari antara bangsa kita ini yang sadar dan bertobat karena rasa malu itu, maka justru saya akan semakin giat membeberkannya! Pasalnya, hal itu membuktikan dan menegaskan bahwa justru pemikiran saya benar: moral dan nurani bangsa ini memang sudah rusak parah akibat sudah dikuasai budayanya yang patologis! Karena itu, tidak ada alasan bagi saya untuk mundur!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H