Meskipun sudah lebih setengah tahun dirilis, film Ngeri-Ngeri Sedap masih menarik diperbincangkan. Bagi mereka yang telah menonton film ini, tentunya sudah hapal dengan alur ceritanya maupun tokoh-tokohnya. Film bermutu asuhan sutradara muda Bene Dion Rajagujguk tersebut mengisahkan tentang dinamika keluarga Batak yang belokasi di sekitar Danau Toba, yang bagi saya pribadi sangat faktual dan berdasarkan realita yang sebenarnya dan sering terjadi di kalangan masyarakat Batak.
Di antara hal-hal kocak, air mata, atau "mie gomak" yang lebih banyak dibahas orang tentang film ini, bagi  saya sendiri film ini justru sedang menyuguhkan niai-nilai mulia dan pembelajaran yang cukup berkesan. Salah satunya adalah tentang figur seorang Bapak.
Kesan awal yang saya tangkap adalah figur Bapak yang diwakili oleh Pak Domu, yang erat dengan citra Bapak dalam budaya Batak, yakni pengambil keputusan utama dan identik dengan sifat egois bahkan otoriter. Sifat yang sudah sangat melekat ini sulit ditinggalkan, yang mana sifat tersebut sering menimbulkan gesekan bahkan konflik antara seorang Bapak dengan istrinya, juga Bapak dengan anak-anaknya. Dan film Ngeri-Ngeri Sedap dengan cermat mampu memotret persoalan tersebut.
Ada kecenderungan bahwa bisa saja penonton akhirnya menangkap bahwa si Bapak menjadi figur yang terpojok bahkan menjadi "trouble maker" dalam keluarga. Bagi saya kesan tersebut sebetulnya belum lengkap. Justru sebaliknya, film ini secara cerdas mengungkapkan hal sebaliknya: Pak Domu adalah sosok Bapak yang sangat dewasa dan bijaksana.
Kesimpulan saya tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta yang muncul dalam film tersebut. Pertama, Pak Domu berani mengambil keputusan untuk membuatkan pesta "Sulang-Sulang Pahompu" (membayar utang adat pernikahan), yang menjadi awal konflik di rumah tangga mereka.
Diketahui bahwa 3 (tiga) dari anak-anak Pak Domu dan Mak Domu yakni Domu, Gabe, dan Sahat, Â sudah memiliki kehidupan masing-masing di perantauan dan tidak ingin kembali ke kampung halaman. Sementara, pesta "sulang-sulang pahompu" tersebut tidak mungkin dilakukan tanpa dihadiri cucu-cucu dari Ompung Domu. Hanya Sarma (satu-satunya anak perempuan) yang tinggal bersama orang tua mereka di kampung.
Kita tahu kemudian bahwa (dalam keputusasaan dengan sikap anak-anak mereka) pada akhirnya Pak Domu skenario yang dipaksanaan Pak Domu kepada Mak Domu (pura-pura akan bercerai) yang pada ujungnya justru melahirkan konflik yang lebih besar, dimana selama bertahun-tahun ini telah berpotensi terjadi dalam rumah tangga mereka. Bagian pertama di atas menunjukkan bahwa Pak Domu sangat menghormati  Ibunya yang sudah lama menjanda dan ingin membahagiakannya, meskipun ia harus  berkorban materi (uang) yang tidak sedikit untuk sebuah pesta adat.
Kedua, Pak Domu yang tadinya sangat keras mengatur kehidupan dan merencanakan masa depan anak-anaknya, pada akhirnya mau mengalah demi kebaikan bersama. Kita tahu bahwa dalam adat Batak bahwa anak/keturunan adalah harta/kebanggaan. Namun Pak Domu menghadapi fakta bahwa anak-anaknya sudah dewasa dan memiliki hidup dan cita-cita sendiri. Sulit menampik pandangan masyarakat sekitar fakta bahwa misalnya Domu sebagai anak pertama yang diharapkan menikah dengan Boru Batak, justru akan bertunangan dengan perempuan dari suku lain. Atau Gabe yang sarjana hukum (diharapkan menjadi jaksa/hakim) namun malah berprofesi menjadi komedian. Dan Sahat yang bungsu yang diharapkan menjadi penerus orang tua di kampung, malah malah menetap di Bali. Hanya Sarma, satu-satunya anak perempuan, yang akhirnya mau mengubur cita-citanya menjadi chef di Bali dan akhirnya mengalah untuk bekerja sebagai abdi negara di kampung demi menjaga orang tuanya.
Kita tahu bahwa potensi konflik ini justru terkuak setelah mereka berkumpul di kampung. Dan dalam situasi pelik ini, Pak Domu yang mempertahankan kebiasaan dan tradisi Batak, justru menjadi "public enemy" di keluarganya sendiri. Jiwa dan statusnya sebagai Bapak orang Batak yang dominan benar-benar harus diuji terhadap kecintaannya yang tulus kepada istri dan anak- anaknya.
Ending cerita ini (setelah liku-liku yang panjang dan rumit) akhirnya menunjukkan bahwa Pak Domu berhasil menjadi figur Bapak yang menjadikan kebahagian keluarganya lebih utama dari pada "wibawa" nya sebagai Bapak orang Batak. Pak Domu juga mau "merendahkan dirinya" untuk mengunjungi satu per satu anak-anaknya yang ada di Jawa dan Bali, belajar memahami apa yang menjadi passion anak-anaknya, dan kemudian siap mensupport sepenuhnya cita-cita dan kebahagiaan mereka. Sebuah pilihan yang mungkin tidak populer bagi sebagian Bapak orang Batak.
Poin ketiga (mungkin hal yang paling penting), Pak Domu mendapatkan (kembali) cinta sejatinya di dalam diri Mak Domu. Kebiasaan suami istri Batak yang sering penulis amati adalah sulitnya menunjukkan kemesraan satu dengan lainnya. Bukan karena tidak cinta, namun fokus kepada masalah utama seperti kebutuhan ekonomi, anak-anak, adat, dan lain sebagainya "menggerus" cinta sejati sebagai suami istri. Meskipun Pak Domu dan Mak Domu masih sering membahas hal-hal penting dalam rumah tangga mereka, namun terkesan sebagai kewajiban saja. Buktinya Pak Domu lebih merasa bahagia dan bebas berekspresi ketika berkumpul dengan teman-temannya saat berada di Lapo (kedai) tuak. Singkatnya, Pak Domu terkesan menganggap Mak Damo lebih sebagai kewajiban dibandingkan partner hidupnya.
Kondisi psikologis yang tersembunyi ini akhirnya tidak bisa lagi dibendung oleh Mak Domu. Ia selama ini sudah sepenuh hati menahan perasaan demi menjaga nama baik keluarganya dengan cara patuh dan tunduk pada suaminya. Namun puncaknya ia tidak tahan lagi dan akhirnya benar-benar meninggalkan suaminya dan tinggal di rumah Ibunya sendiri. Kita tahu Pak Domu kemudian akhirnya menyadari kesalahannya dalam memperlakukan istrinya, dan mau untuk meminta maaf di hadapan seluruh keluarganya. Lagi-lagi mungkin bukan tindakan yang populer dalam citra Bapak orang Batak.
Intinya dalam persepektif saya, poin penting dari film ini adalah tentang Pak Damo yang telah tercerahkan atas berbagai krisis yang dihadapinya, akhirnya mampu mendamaikan ego, kehormatannya, bahkan mungkin kebahagiananya dan memilih berkorban untuk sebuah tujuan yang jauh lebih penting, yakni masa depan dan kebagiaan istri serta anak-anaknya.
***
Penulis percaya bahwa pada masyarakat  yang menjunjung nilai Patriakat, sosok seorang Bapak yang menjadi sentral rumah tangga, tidak akan optimal tanpa dukungan yang murni dan sejati dari istri dan anak-anaknya. Benar Bapak adalah pengambil keputusan utama, namun Bapak harus mempertimbangkan banyak sekali pikiran, keinginan, perasaan, dan kebutuhan istri dan anak-anaknya. Sebagaimana yang panjang lebar diluas di atas, bagi penulis sinilah titik kritis yang dihadapi seorang Bapak.
Dan faktanya itu tidak mudah. Buktinya kita masih sering melihat fakta dan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang penyebab utamanya seorang Bapak. Seorang Bapak bisa menjadi pelaku kekerasan/intimidas, namun sebaliknya dia juga bisa menjadi korban/intimidasi dari istri maupun anak-anaknya, akibat dari sikap dan perlakuannya sendiri yang kurang bijak kepada keluarganya. Atau hal lain semisal Bapak yang terjerumus dalam hal-hal negatif yang dapat merusak nama baik keluarganya. Pada intinya penulis ingin mengatakan bahwa menjadi seorang suami dan Bapak bukanlah hal yang mudah dan mengemban tanggung jawab yang krusial terhadap masa depan keluarganya.
Film Ngeri-Ngeri Sedap dengan baik memberikan pendidikan kepada masyarakat, bahwa keputusan yang diambil oleh seorang Bapak menjadi semakin kompleks seiring dengan kemajuan dan modernisasi yang dialami oleh generasi penerusnya. Sebagai anak yang telah menerima pendidikan modern, membawa konsekuensi tumbuhnya nilai-nilai kemandirian dan kebebasan. Mereka telah dilatih untuk hidup berdampingan dengan berbagai nilai dari berbagai suku, etnis, bahkan budaya pop modern yang berkembang di kota-kota yang maju.
Di saat yang sama, seorang Bapak Batak juga memiliki tanggung jawab untuk meneruskan nilai dan budaya Batak kepada generasi penerusnya. Adat dan budaya Batak merupakan sesuatu yang dianggap sangat berharga dan harus dijaga, jangan sampai luntur atau hilang jika tidak dipegang dan dilaksanakan oleh para penerus suku Batak. Film ini sekali lagi mampu memberikan sebuah insight bahwa kedua hal tersebut tidak harus saling menghilangkan, namun dapat diharmonisasi, tentunya dengan pembelajaran yang rela untuk diterima, meskipun harus melalui berbagai gesekan dan konflik.
Pada intinya, film ini berhasil memberi pesan bahwa kebahagiaan dan masa depan istri serta anak-anak sebagai generasi penerus, adalah fondasi yang harus kuat dibangun seorang Bapak, untuk menjaga keseimbangan pengambilan keputusan dalam menegakkan kebiasan/adat/budaya.
Dalam hal ini penulis melihat pendidikan yang baik mengenai menyeimbangkan kebahagiaan dan cita-cita seorang Bapak dengan harapan dan kebutuhan istri dan anak- anaknya menjadi sebuah keharusan. Hal ini harus segera disadari untuk membangun keluarga yang utuh dan harmonis, meskipun menghadapi benturan nilai dan budaya.
Bahkan, sekalipun bagi seorang Bapak yang telah tercerahkan, jika titik seimbang itu sulit tercapai, maka bandul sudah sepatutnyalah lebih dicondongkan kepada kebahagiaan istri dan anak-anaknya, dibandingkan harga diri/kewibawaan dan status sebagai laki-laki. Di sinilah letak "pengorbanan" seorang Bapak Batak yang secara cantik diungkapkan dalam film ini.
Akhirnya, mengawali tahun 2023 ini penulis berharap semoga para Bapak semakin mendapatkan kedewasaan, pengertian, dan karakter yang kuat dalam menahkodai perjalanan rumah tangga yang akan selalu diikuti dengan krisis, masalah, dan dinamikanya sendiri. Karena figur Bapak adalah penentu kualitas generasi penerus masyarakat dan bangsa ini di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H