Kondisi psikologis yang tersembunyi ini akhirnya tidak bisa lagi dibendung oleh Mak Domu. Ia selama ini sudah sepenuh hati menahan perasaan demi menjaga nama baik keluarganya dengan cara patuh dan tunduk pada suaminya. Namun puncaknya ia tidak tahan lagi dan akhirnya benar-benar meninggalkan suaminya dan tinggal di rumah Ibunya sendiri. Kita tahu Pak Domu kemudian akhirnya menyadari kesalahannya dalam memperlakukan istrinya, dan mau untuk meminta maaf di hadapan seluruh keluarganya. Lagi-lagi mungkin bukan tindakan yang populer dalam citra Bapak orang Batak.
Intinya dalam persepektif saya, poin penting dari film ini adalah tentang Pak Damo yang telah tercerahkan atas berbagai krisis yang dihadapinya, akhirnya mampu mendamaikan ego, kehormatannya, bahkan mungkin kebahagiananya dan memilih berkorban untuk sebuah tujuan yang jauh lebih penting, yakni masa depan dan kebagiaan istri serta anak-anaknya.
***
Penulis percaya bahwa pada masyarakat  yang menjunjung nilai Patriakat, sosok seorang Bapak yang menjadi sentral rumah tangga, tidak akan optimal tanpa dukungan yang murni dan sejati dari istri dan anak-anaknya. Benar Bapak adalah pengambil keputusan utama, namun Bapak harus mempertimbangkan banyak sekali pikiran, keinginan, perasaan, dan kebutuhan istri dan anak-anaknya. Sebagaimana yang panjang lebar diluas di atas, bagi penulis sinilah titik kritis yang dihadapi seorang Bapak.
Dan faktanya itu tidak mudah. Buktinya kita masih sering melihat fakta dan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang penyebab utamanya seorang Bapak. Seorang Bapak bisa menjadi pelaku kekerasan/intimidas, namun sebaliknya dia juga bisa menjadi korban/intimidasi dari istri maupun anak-anaknya, akibat dari sikap dan perlakuannya sendiri yang kurang bijak kepada keluarganya. Atau hal lain semisal Bapak yang terjerumus dalam hal-hal negatif yang dapat merusak nama baik keluarganya. Pada intinya penulis ingin mengatakan bahwa menjadi seorang suami dan Bapak bukanlah hal yang mudah dan mengemban tanggung jawab yang krusial terhadap masa depan keluarganya.
Film Ngeri-Ngeri Sedap dengan baik memberikan pendidikan kepada masyarakat, bahwa keputusan yang diambil oleh seorang Bapak menjadi semakin kompleks seiring dengan kemajuan dan modernisasi yang dialami oleh generasi penerusnya. Sebagai anak yang telah menerima pendidikan modern, membawa konsekuensi tumbuhnya nilai-nilai kemandirian dan kebebasan. Mereka telah dilatih untuk hidup berdampingan dengan berbagai nilai dari berbagai suku, etnis, bahkan budaya pop modern yang berkembang di kota-kota yang maju.
Di saat yang sama, seorang Bapak Batak juga memiliki tanggung jawab untuk meneruskan nilai dan budaya Batak kepada generasi penerusnya. Adat dan budaya Batak merupakan sesuatu yang dianggap sangat berharga dan harus dijaga, jangan sampai luntur atau hilang jika tidak dipegang dan dilaksanakan oleh para penerus suku Batak. Film ini sekali lagi mampu memberikan sebuah insight bahwa kedua hal tersebut tidak harus saling menghilangkan, namun dapat diharmonisasi, tentunya dengan pembelajaran yang rela untuk diterima, meskipun harus melalui berbagai gesekan dan konflik.
Pada intinya, film ini berhasil memberi pesan bahwa kebahagiaan dan masa depan istri serta anak-anak sebagai generasi penerus, adalah fondasi yang harus kuat dibangun seorang Bapak, untuk menjaga keseimbangan pengambilan keputusan dalam menegakkan kebiasan/adat/budaya.
Dalam hal ini penulis melihat pendidikan yang baik mengenai menyeimbangkan kebahagiaan dan cita-cita seorang Bapak dengan harapan dan kebutuhan istri dan anak- anaknya menjadi sebuah keharusan. Hal ini harus segera disadari untuk membangun keluarga yang utuh dan harmonis, meskipun menghadapi benturan nilai dan budaya.
Bahkan, sekalipun bagi seorang Bapak yang telah tercerahkan, jika titik seimbang itu sulit tercapai, maka bandul sudah sepatutnyalah lebih dicondongkan kepada kebahagiaan istri dan anak-anaknya, dibandingkan harga diri/kewibawaan dan status sebagai laki-laki. Di sinilah letak "pengorbanan" seorang Bapak Batak yang secara cantik diungkapkan dalam film ini.