Empat tahun kemudian, saat itu Desember juga. Aku masih di salah satu rumah sakit di Jakarta bersama si abang mendampingi istri menjelang lahirnya anak kedua. Saat itu aku musti bolak-balik Bandung-Jakarta karena sedang menyelesaikan studi magister di Kota Bandung. Anak perempuanku lahir di tengah hujan deras dan lagu-lagu Natal yang terdengar dari perayaan pegawai rumah sakit. Sambil menemani istri dan anak-anak yang terlelap di malam itu, aku membuka laptop untuk menyelesaikan tugas ujian semester yang mana besok aku harus kembali ke Bandung untuk mempresentasikannya.
Anak ketiga lahir di Kota Medan, di penghujung tahun 2018. Saat itu aku baru saja dua minggu pindah tugas ke Jakarta, namun belum membawa keluarga. Lagi, aku musti bolak-balik Jakarta-Medan untuk mendampingi istri dan anak-anak. Sekitar pukul 08.30 Wib pagi tangisan si bungsu keras memecah keheningan doaku. Namun setelah 30 menit aku dipanggil suster, menunjukkanku bahwa pada pernafasan si kecil ada masalah dan harus dipasang oksigen. Mereka bilang anakku nangisnya tidak kencang. Lantas kudekati bayi ini dan menyuruhnya untuk menangis. "Ayo dek, nangis yang kencang," kataku. Serta merta dia menangis kencang sekali, namun tidak lama. Hal itu sempat membuat dokter dan perawat terdiam.
Akhirnya si kecil tetap harus diobservasi dan masuk ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit) selama sepuluh hari. Dan pada saat yang sama aku harus kembali ke Jakarta karena tidak bisa menambah hari cuti. Kondisi istri yang masih lemah, dan kedua kakaknya juga membutuhkan perhatian, cukup merepotkan dan menguras energi pada hari-hari tersebut.
Suatu kali aku melihat jarum infus yang semula dipasang di tangan harus dipindahkan ke kakinya. Jeritan suaranya menahan sakit sungguh menyesakkan dada. Dari balik pintu kaca ruang NICU itu aku berjanji akan membawamu pulang ke rumah dengan sehat. Akhirnya Puji Tuhan anak kami diperbolehkan keluar dari NICU. Kondisnya pun semakin baik dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga Desember ini usianya genap setahun dan sudah bisa berjalan.
***
Judah Smith adalah salah satu penulis buku rohani favorit saya. Beberapa bukunya benar-benar mengupas sisi kemanusiaan yang paling rentan dan otoritas Tuhan dalam semua aspek kehidupanya, salah satu buku tersebut berjudul Life Is.
Karena itu setiap kali aku dan istri melihat perkembangan masing-masing mereka, kami diingatkan betapa sulitnya situasi yang pernah kami alami pada saat-saat kelahiran mereka. Kami akhirnya menyadari betapa bertanggungjawabnya Tuhan. Dalam kondisi yang seolah-olah tiada harapan, Dia hadir dan menyelesaikan bagi kita.
Seperti sahabat terbaik yang mau "pasang badan" saat sahabatnya diserang oleh orang-orang jahat sambil bilang, "Loe jangan berani macam-macam ya, ini teman gue!"; dan orang-orang jahat itu langsung diam dan kabur. Atau seperti seorang pengacara mau habis-habisan membela perkara orang lain tanpa bayaran. Tak jarang pula kami merasa kehadiran dan campur tangan-Nya seperti misteri yang tak terduga-duga namun sangat presisi (pas dan tepat banget).
Oleh karena itu saat pohon terang sudah terpasang di rumah, kami tahu bahwa Tuhan sudah pelihara kami dan anak-anak sepanjang tahun 2019. Dan itu membuat keyakinan bahwa tahun 2020 pun pastinya demikian. Kita tidak bisa menduga-duga apa yang akan terjadi, namun yang pasti Tuhan selalu hadir, sambil dengan sabar terus mengajar kita untuk bertumbuh di dalam kasih, berakar dalam kebenaran, dan memberi buah berkat bagi sesama.