Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

State of The Art Perguruan Tinggi Negeri?

2 Agustus 2019   16:23 Diperbarui: 2 Agustus 2019   16:57 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

State of the art...

Itulah yang pertama kali saya ingat ketika perkuliahan pertama di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) tepatnya di Program Magister Studi Pembangunan. 

Jujur, bagi saya pribadi dapat menginjakkan kaki di salah satu kampus terbaik di Indonesia ini adalah sebuah anugerah sekaligus penghormatan. Bahkan bagi saya yang berasal dari luar Jawa, hal tersebut terus terang saja tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Saya berkesempatan berkuliah di ITB tahun 2013, yang saya peroleh melalui beasiswa Pusbindiklatren Bappenas. Sebuah kesempatan melanjutkan pendidikan bagi PNS pusat dan daerah yang mendalami bidang perencanaan di berbagai kampus bergengsi di dalam dan luar negeri.

Seperti banyak orang lainnya, tentu saja saya ingin berkuliah di luar negeri. Namun setelah melalui serangkaian proses seleksi, akhirnya Pusbindiklatren menetapkan saya lulus di Magister Studi Pembangunan ITB, pilihan pertama saya untuk kampus dalam negeri. 

Menurut salah seorang teman yang lulusan master dari Belanda, kampus-kampus besar di Indonesia sebetulnya tidak kalah dari kampus di luar negeri. 

Menurutnya, perjalanan sejarah perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia banyak dipengaruhi kampus-kampus tersebut. Tokoh-tokoh bangsa juga banyak yang lahir dari kampus-kampus tersebut, sehingga nilai-nilai intelektualitas pasti sudah sangat kuat tertanam di sana. Hal itu membesarkan hati saya untuk melangkah dengan pasti ke kampus ganesa tersebut.

Terlebih lagi ketika lulus di ITB kondisi saya sudah berkeluarga dengan satu anak, dan tengah menantikan kelahiran anak kedua. Chance never come twice, jadi apapun itu kesempatan ini harus diambil.

Kuliah di Magister Studi Pembangunan ITB sebetulnya sedikit menimbulkan tanda tanya. Kampus ITB dikenal sebagai kampusnya orang teknik, seperti namanya. 

Bicara studi pembangunan pastinya jauh lebih kompleks dari pada ilmu sipil, industri, elektro, atau komputer. Karena pembangunan pada dasarnya bicara mengenai masyarakat. Apakah relevan jika hal-hal yang bersinggungan dengan isu lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik dibawakan oleh dosen-dosen dengan latar belakang teknik? 

Namun di situlah yang membuat saya tertarik, terlebih dengan latar belakang S1 saya di kampus FISIP, saya ingin mendapatkan perspektif pembangunan dari "kacatama" lain. Apalagi lulusannya bakal mendapat gelar MT (Master Teknik). Rada-rada gak pede gimana gitu seorang lulusan FISIP menyandang gelar Master Teknik?!   

So, whatever! 

Di awal perkuliahan saya langsung jatuh cinta dengan kampus ini. State of the art, istilah dari dosen yang pertama sekali lengket di kepala saya saat memberi kuliah umum dan gambaran perkuliahan yang akan kami jalani sepanjang berada di program studi ini. 

Dalam hal bangunan secara umum memang tidak terlalu berbeda dengan kampus lain. Namun fasilitas lain seperti perpustakaan modern dengan buku-buku terbaik adalah surga bagi mereka yang haus ilmu.

Ada beberapa hal yang sudah lama ingin saya bagikan tentang kuliah di ITB, secara khusus Program Studi Magister Studi Pembangunan ITB (program studi lain tidak saya bahas karena di luar pengetahuan saya), dengan harapan sedikit banyak dapat memberi sedikit gambaran mengenai perkuliahan di ITB secara umum. Paling tidak saya ingin membagikan sedikitnya dua keunggulan berkuliah di ITB.

Pertama, kualitas dosen. Menurut saya dosen (staf pengajar) di ITB adalah orang-orang terbaik. Mereka tidak hanya cerdas secara intelektual tapi juga memiliki passion yang sunggung-sungguh menjadi seorang pendidik. 

Saya jarang sekali seorang dosen senior masih sanggup mengajar/ berdiri di depan kelas selama 3-4 jam nonstop dan hanya sesekali minum air putih. 

Kuliah yang diberikan juga sangat sistematis, dimulai dari pengantar dan semakin lama semakin dalam. Tak jarang selama kuliah juga disertai dengan pembahasan kasus-kasus isu pembangunan dan dipresentasikan oleh mahasiswa secara perorangan maupun kelompok. 

Dijamin, kuliah 2 SKS yang dimulai jam 8.00 Wib pagi dengan tubuh yang masih segar, setelah kuliah selesai pukul 12.00 Wib, mahasiswa langsung ngacir ke kantin karena kelaparan atau nyari minuman segar untuk mendinginkan otak yang mulai berasap.

Komiten dosen juga terlihat dari ketepatan memulai dan menutup jam perkuliahan. Jarang sekali dosen telat masuk kelas, sebagaimana mungkin masih menjadi pemandangan umum di kampus lain. 

Yang membuat saya semakin kagum adalah saat setelah kuliah berakhir pun, dosen tersebut seringkali menyediakan waktu sambil beristirahat di Lounge kampus untuk melanjutkan diskusi yang belum tuntas di ruang kelas. Jika kuliah selesai di sore hari, diskusi masih bisa berlanjut sampai lewat magrib. 

Energi mereka terasa begitu besar untuk mengetahui serta membentuk fondasi cara berpikir para mahasiswanya. Meskipun terkadang kritik dosen tersebut terasa nyelekit (membuat begonya mahasiswa kelihatan), namun bagi saya hal tersebut adalah bagian dari proses belajar. Enjoy aja, sakit hati tidak berguna untuk belajar.

Oh ya, dosen Magister Studi Pembangunan ITB seluruhnya bergelar Doktor. Mereka lulusan S1 ITB dan melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri seperi Eropa, Amerika, Asia, dan Australia. Mereka sudah malang melintang dalam urusan jurnal di dalam dan luar negeri, penelitian dan menulis buku, dan menjadi tenaga pakar pembangunan dan kebijakan baik lingkup lokal, nasional dan internasional. 

Dalam praktek mengajarnya, kita dapat merasakan perbedaan school of thought para dosen tersebut. Kadang-kadang perbedaan tersebut terasa begitu mencolok ketika sebuah pendekatan memahami struktur pembangunan yang didalami oleh Dosen A kemudian dikritik oleh Dosen B yang menggunakan pendekatan lain. Namun bagi saya hal-hal seperti itu justru sebagai advantage yang memperkaya cara berpikir mahasiswanya dan sangat berguna jika ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang doktoral.

Kedua, metode pembelajaran. Secara umum perkuliahan di Magister Studi Pembangunan ITB berlangsung dua arah. Artinya yang berbicara di kelas bukan hanya dosen saja. Mahasiswa juga berhak dan harus bisa menyampaikan pandangannya tentang topik yang sedang dibahas. Namun proses ini bukan hal yang semudah yang dibayangkan. 

Menyampaikan gagasan dan pikiran di depan para pakar tersebut tidak mudah coy. Mereka itu sangat menilai keseriusan dan kerendah-hatian mahasiswanya yang sungguh-sungguh mau belajar. 

Di situlah mahasiswa harus belajar mengembangkan cara berpikir yang konseptual. Jika konsep kita dianggap lemah atau terlalu pede dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya, siap-siap saja "dibongkar habis" oleh si dosen. 

Namun jika mahasiswa cukup rendah hati mau membuka dan meredefinisi konsepnya yang selama ini dibanggakan, maka dialiktika akan terjadi di dalam kelas-kelas seperti ini. Sekalipun banyak kritikan (baca: hinaan dan ejekan, haha..) yang muncul, namun tidak jarang pula pujian dan respek tanpa ragu diberikan kepada mereka yang dinilai semakin maju dalam memahami dan memberi solusi terhadap isu-isu pembangunan yang sedang dibahas.

Secara keseluruhan jumlah kredit mata kuliah kurang dari 40 SKS. Namun dalam praktiknya, mata kuliah 2 SKS terasa cukup berat. Selain perkuliahan sebagaimana diuraikan di atas, mahasiswa harus siap dengan pekerjaan rumah yang bejibun. Beberapa mata kuliah yang dianggap sebagai "ciri khas" Magister Studi Pembangunan ITB menuntut pendalaman pembelajaran melalui berbagai tugas pekerjaan rumah. 

Dan tiada minggu tanpa PR. Alhasil, biasanya mahasiswa berinisiatif ngumpul di suatu tempat untuk membahas dan menyelesaikan PR tersebut. 

Dalam beberapa situasi, untuk menyelesaikan rangkaian PR tersebut mengharuskan diskusi sampai larut malam selama berhari-hari. Bisa dibayangkan banyaknya energi yang harus disiapkan mahasiswa untuk mendapat nilai A atas mata kuliah tersebut.

Dan yang tidak kalah penting, pembahasan mengenai berbagai pendekatan, konsep, teori pembangunan  tidak hanya tinggal di ruang kelas. Mahasiswa harus mampu melihat, merasakan, mengindentifikasi, menganalisis, dan memberi solusi atas berbagai fenomena pembangunan yang dijumpai dalam keseharian. 

Penelitian lapangan, kunjungan studi, dan diskusi dengan para aktor pembangunan dari berbagai kalangan, adalah bagian yang menyenangkan dari perkuliahan. 

Berbagai fenomenan lapangan tersebut kemudian dikupas habis di dalam kelas. Tak jarang beberapa dari aktor pembangunan tersebut diundang menjadi pembicara di kelas, dimana pemikiran,  alternatif, solusi, dan inovasi mereka dijadikan sebagai bagian referensi pembelajaran kajian-kajian pembangunan.

Tidak hanya itu, perkuliahan jarak jauh (remote lecture) bersama kampus luar negeri juga menjadi pembuka mata sekaligus ajang belajar bersama dengan mahasiswa internasional. 

Pada saat saya kuliah di ITB, remote lecture dilaksanakan selama satu semester, yang dipandu oleh beberapa profesor dari Kyoto University Jepang.  

Oleh karena itu, dapat menyelesaikan pendidikan di Magister Studi Pembangunan ITB adalah sebuah hal yang sampai saat ini saya syukuri. Para dosen senior tersebut adalah pendidik terbaik yang pernah mengajar saya di dunia kampus. 

Dengan hormat saya menyebutkan nama-nama di antaranya Prof. Widyo Nugroho (almarhum), Dr. M. Tasrif, M.Eng, Dr. Sonny Yuliar, Ph.D, Dr. Indra B. Syamwil, Ph,D, Dr. Iwan Kustiwan MT, Dr. Indah Widya Astuti, Ph.D, Dr. Yasraf A. Piliang, M.A, dan para dosen lainnya. Belakangan ini, yang saya tahu bahwa jumlah dosen Magister Studi Pembangunan ITB sudah semakin banyak.

Sampai saat ini, khususnya dalam dunia pekerjaan yang saya geluti di sektor pemerintahan, ada banyak sekali -- tidak hanya ilmu dan teori -- namun juga nasehat dan petuah yang disampaikan menjadi pegangan dalam memahami, mencari solusi, dan cara berpikir atas berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Figur-figur guru tersebut menjadi inspirasi dalam kesederhanaan, sikap, intelektual, dan pengabdian mereka.  

Berbicara tentang mereka saya teringat sebuah buku berjudul Tuesday With Morrie karya Mitch Albom. Buku tersebut tentang perkuliahan terakhir Mitch bersama dosennya Prof. Morrie Schwartz, ketika sang dosen tersebut hidupnya sudah tak lama, karena mengidap penyakit amyotropic lateral sclerosis (ALS), atau penyakit Lou Gehrig, sebuah penyakit ganas, tak mengenal ampun, yang menyerang sistem saraf. 

Buku tersebut menggambarkan identitas dan pengaruh seorang guru tidak pernah berakhir, bahkan sampai akhir hayatnya. Kalimat Henry Adams sebagaimana dikutip pada buku Tuesday With Morrie yang sangat saya sukai "Pengaruh seorang guru bersifat kekal; ia tak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir."

Terakhir (tidak bermaksud iseng mengomentari), mengenai ide atau usulan mendatangkan rektor asing, saya memberikan sedikit komentar. 

Pertama, peringkat kampus dunia hanya akan berarti jika kampus tersebut mampu mencerahkan peserta didiknya. Mencerahkan artinya bukan sekedar menumbuhkan sebuah cara berpikir kritis dan solutif, namun juga membentuk karakter dan moralitas yang tinggi. Pemeringkatan semoga tidak terjebak dalam pemenuhan syarat administratif dan ketersediaan sarana dan prasarana saja.

Kedua, untuk membenahi kualitas kampus sangat dipengaruhi kualitas dosen. Jika hal ini tidak disentuh dengan tepat (rekrutmen dosen, pengembangan, penelitian, dan pengabdian) maka upaya pembenahan kampus tidak akan bermakna. Mampukan Kementerian Riset Dikti melakukan reformasi dosen PTN di tanah air? 

Terakhir, beberapa kampus besar seperti UI, UGM, dan ITB yang sudah masuk 200 kampus terbaik di Asia Pasifik, hendaknya mampu menjadi insprirasi sekaligus best practice dalam upaya peningkatkan mutu kampus-kampus lain di tanah air. Merujuk kepada apa yang diuraikan di atas, menurut saya Indonesia belum membutuhkan pihak asing untuk memajukan pendidikan tinggi di tanah air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun