Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bersyukur: Sebuah Perspektif Hidup Yang Lebih Baik

11 Januari 2018   09:00 Diperbarui: 11 Januari 2018   15:12 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersyukur barangkali lebih mudah dikatakan dari pada dilaksanakan. Bersyukur sering dikaitkan dengan respon seseorang atas pencapaian yang diperolehnya dalam hidup. Jika apa yang menjadi keinginan hati kita terwujud maka kita dapat bersyukur dan itu tidak sulit dilakukan. Banyak acara syukuran yang dibuat orang semisal syukuran atas rumah baru, ulang tahun emas perkawinan, kenaikan jabatan, dan lain sebagainya. Bersyukur itu identik dengan kebahagiaan. Oleh karena itu jarang kita temukan ada orang membuat acara syukuran atas kesusahan mereka.

Lawan dari bersyukur adalah bersungut-sungut. Bersungut-sungut artinya menyalahkan keadaan atau orang lain atas kehidupan atau apa yang sedang kita alami. Kita merasa iri atau cemburu dengan keberhasilan orang lain dan berpikir bahwa kesusahan kita saat ini terjadi atas sebuah ketidakadilan.

Dalam kenyataannya kehidupan tidak selalu semanis yang dibayangan. Ada orang yang sudah merintis usaha atau karirnya dengan susah payah hingga akhirnya berada di puncak kesuksesan. Namun tiba-tiba penyakit parah datang menghampiri dan seketika mengubah keadaan. Dari atas puncaknya, roda kehidupan dengan sekejab dapat mengantarkan kita ke posisi paling bawah.

Ada yang sedang mencoba merintis bisnis, di saat mulai membuahkan hasil tiba-tiba mengalami kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan fisik secara permanen. Ada yang sekian lama menantikan keturunan, begitu sang istri dinyatakan hamil tiba-tiba terjadi sebuah situasi yang mengakibatkan sang janin di dalam kandungan tidak bisa diselamatkan. Hidup bisa menjadi berubah menjadi begitu menyakitkan, itulah kalimat yang saya kutip dari acara Secret Millionaire di National Geographic Channel (NGC). 

Faktanya kita bukanlah mahluk yang bisa mengendalikan sepenuhnya hidup kita. Kalau boleh saya katakan bahwa kendali kita atas hidup ini hanya sepersekian persen (sayangnya ada banyak orang yang sombong dengan pencapaiannya saat ini). Kembali tentang bersyukur, apakah salah di saat hidup kita terasa hancur dan menyakitkan, kemudian kita tidak bersyukur dan menyalahkan banyak hal atas kesusahan kita tersebut? Dalam hal ini saya tidak bisa serta merta mengatakan salah. Sering saya mendengar nasehat di acara-acara penghiburan bagi mereka yang sedang tertimpa musibah/kemalangan bahwa apapun yang terjadi harus tetap bersyukur. Tapi kembali lagi, it is easier said than done ! 

Namun kalau dipikirkan dengan lebih dalam hal ini bukan semata-mata persoalan benar atau salah. Bersyukur atau tidak adalah sebuah pilihan, yaitu pilihan atas hidup yang lebih baik atau lebih hancur. Kita mungkin tidak dapat menolak takdir, namun kita dapat memilih respon kita terhadap takdir tersebut. Bersyukur adalah sebuah perspektif.

Saya bukan dokter atau orang yang pernah mengenyam pendidikan formal di bidang kesehatan. Namun setahu saya ada banyak referensi medis maupun non medis yang dapat menguatkan pandangan bahwa kehidupan yang bersyukur berpengaruh positif terhadap kesehatan kita. Emosi, stres, kecemburuan, sakit hati, akar pahit di batin, iri hati, kecemasan, dan kekuatiran berpengaruh buruk pada kesehatan. 

James Allen dalam bukunya yang sangat terkenal As A Man Thinketh mengatakan bahwa rasa cemas dengan cepat mendemoralisasi keseluruhan tubuh dan membuatnya rentan terjangkit penyakit. Pikiran yang kotor akan segera menghancurkan sistem imum dan syaraf.

Dalam bukunya yang best sellerThe Miracle of Endorphin, Dr. Shigeo Haruyama menyatakan bahwa stres merupakan akar segala penyakit. Orang yang senantiasa berpikir negatif akan cepat jatuh sakit. Sementara itu orang yang membiasakan beripikir positif dan bersyukur memiliki resistensi yang kuat terhadap penyakit.

Haruyama menyampaikan pesan bahwa jiwa dan raga tidak pernah putus berdialog. Hal-hal yang ada di dalam pikiran bukanlah sesuatu yang abstrak, pikiran pasti berwujud dan aktif secara ragawi. Kita bisa lebih banyak mengeksplorasi berbagai keterangan medis, baik dari referensi tersebut maupun dari banyak referensi lainnya terhadap konsep dan fakta hubungan pikiran dan kesehatan.

Secara praktikal saya cukup terbantu oleh Rhonda Byne, pengarang buku fenomenal The Secret. Namun kali ini dalam bukunya The Magic, Byne banyak membukakan sebuah konsep syukur yang dirangkumnya dari kebijaksanaan dari nilai-nilai berbagai agama yang menurutnya memiliki benang emas terhadap syukur. Bagi Byne, syukur adalah magnet, dan semakin banyak syukur yang Anda miliki, semakin banyak kelimpahan yang Anda tarik. Ini adalah hukum semesta.

Teknisnya Byne mengajak kita membuat list (daftar) apa saja yang kita inginkan dalam hidup ini, yang dibagi atas beberapa ketegori: kesehatan dan tubuh, karir dan pekerjaan, uang, relasi, hasrat pribadi, serta benda-benda materi. Selama 28 hari (bagi saya jumlah hari tidak begitu penting) kita menyebutkan hal-hal atau fakta atas kategori-kategori tersebut. Meskipun kondisinya belum baik atau sesuai dengan keingingan kita, dalam doa-doa setiap hari kita harus mengatakan hal-hal yang baik atas hal-hal tersebut. Bersyukur membutuhkan latihan.

Bagi saya pribadi, latihan semacam ini membantu untuk melihat lebih dalam dengan perspektif yang berbeda, lebih arif, dan lebih tenang. Segala yang kita alami dan miliki akhirnya kita sadari bahwa semuanya itu adalah baik dan mendatangkan kebaikan bagi hidup. Namun keegoisan, keserakahan, nafsu, kepicikan, dan kedangkalan nurani lah yang menghasilkan ketidakpuasan bahkan frustrasi.

Akhirnya, baik uang, pekerjaan, keluarga, dan lain sebagainya tersebut adalah anugerah yang layak kita syukuri dan disebutkan setiap hari dalam doa-doa kita. Meskipun anak-anak kadangkala merepotkan, bukankah jauh lebih layak bersyukur atas anugerah Tuhan yang memberikan kita anak-anak sebagai generasi penerus kita?

Karir yang belum baik akan menjadi pemicu semangat untuk lebih fokus, semangat, dan kerja keras demi menghidupi keluarga kita. Bersyukur membuat kita menjadi tenang. Orang yang tenang adalah orang yang telah belajar bagaimana mengendalikan diri sendiri dan bagaimana menyesuaikan diri dengan kondisi di luar dirinya. Orang yang tenang adalah orang yang lebih dekat dengan keberhasilan.

Last but not the least, bersyukur adalah bagian dari iman. Orang yang bersyukur, orang yang tenang, sadar bahwa sekalipun kehidupan bisa berubah menjadi menakutkan, namun dia mengerti bahwa Tuhan selalu merencanakan yang baik bagi hidupnya.

Orang yang tercerahkan tidak akan bereaksi negatif dalam situasi yang bagi manusia normal dianggap sebagai stres. Sebuah karakter yang teduh dan tenang sekalipun di tengah badai, yang mampu memetik buah-buah kehidupan dalam bentuk kearifan, dan tetap mampu berjalan ke depan dengan perasaan tenang dan bahagia[.] 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun