Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sikap Ksatria Pemerintah adalah Legitimasi

11 Agustus 2010   07:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:08 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari berbagai dialog politik yang disiarkan berbagai TV swasta tanah air, saya menyimak ada banyak sekali kritik terhadap pemerintahan sekarang. Kritikan yang utama minimal ada 2 (dua): pertama, utang luar negeri di masa pemerintahan SBY dalam 5 tahun terakhir bertambah lebih dari 300 triliun rupiah. Data Bank Indonesia (BI) mencatat, sampai akhir Januari 2010, utang luar negeri mencapai 174,041 miliar dollar AS. Bila dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS nominal utang itu hampir mencapai Rp 2.000 triliun.Hal ini cukup mengherankan karena di awal periodenya terdahulu SBY menyatakan Indonesia sudah putus hubungan dengan IMF.

Kedua, angka kemiskinan tidak banyak berubah dari tahun sebelumnya yakni sekitar 31,5 juta jiwa. Artinya dalam waktu 5 (lima) tahun terakhir program-program pemerintah belum efektif dalam menurunkan angka kemiskinan di Indonesia. Santer disebut-sebut bahwa rencana BI melakukan redenominasi terhadap kurs Rupiah menunjukkan angka inflasi di Indonesia cukup mengkuatirkan belakangan ini, yang mana baik inflasi maupun redenominasi justru berpotensi menambah angka kemiskinan lagi.

Selain itu ada banyak masalah pelik yang mendapat porsi besar sorotan publik karena belum ada penyelesaian seperti: kasus Bank Century, lumpur Lapindo yang semakin menyengsarakan, Mafia Pajak dan Pengadilan, dipenjarakannya Susno Duadji, rekening (gendut) para petinggi Polri, konvensi gas dari minyak tanah yang tidak jelas arahnya, ledakan tabung gas di berbagai penjuru tanah air, tata kelola pelayanan bandara udara yang semrawut, Jakarta yang terancam lumpuh akibat kemacetan, kenaikan tarif dasar listrik, dan masih banyak lagi.

Luar biasa memang persoalan-persoalan di negeri ini. Belum selesai yang satu, yang lainnya sudah datang. Namun kalau kita lihat lebih dalam persoalan-persoalan tersebut sebenarnya adalah masalah yang bersifat laten (potensial) karena tata kelola pemerintahan kita yang buruk. Tata kelola pemerintahan yang buruk disebabkan terutama karena sistem politik yang buruk. Sistem politik yang buruk disebabkan karena moralitas penyelenggara negara yang buruk. Dengan berjalannya waktu saya percaya kebobrokan tersebut akan semakin terbuka, sebab memang sudah banyak yang terbuka. Dan trend demokrasi sedang mengarah kepada era keterbukaan.

Beberapa tokoh nasional sudah mulai bicara seperti Jusuf Kalla dan Megawati. Tokoh-tokoh agama juga sudah mulai mengkritisi pemerintah yang dianggap lamban dalam menyelesaikan persoalan, bahkan pemerintah justru dipandang sebagai sumber persoalan itu sendiri. Megawati yang jarang bicara ternyata ampuh menciptakan opini publik dengan menyimpulkan pemerintahan sekarang adalah pemerintahan yang kacau balau. Kelihatannya pemerintahan sekarang cukup kelabakan bahkan kelimpungan terhadap berbagai tekanan dan cercaan tersebut.

Dalam merespon berbagai tekanan tersebut saya melihat pemerintahan sekarang minimal punya 2 (dua) cara khas: pertama,pengalihan isu. Dan kedua, melempar tanggung jawab. Sampai sekarang saya melihat cara tersebut masih efektif. Isu yang paling favorit sejauh ini adalah isu agama dan terorisme. Kita masih ingat pada saat setiap harinya sidang DPR tentang Bank Century di TV, tidak lama kemudian terorisme di Jawa Tengah ditangkap. Sekarang pun demikian, yang ditangkap adalah Abu Bakar Ba’asyir. Perhatian publik pun agak terganggu dan sedikit teralihkan kepada kasus tersebut. Terorisme ini memang isu yang seksi karena selain menjadi isu negara-negara donor utang Indonesia juga ternyata isu yang bisa di switch on kan oleh pemerintah kapan dibutuhkan. Bagi saya mereka yang dianggap sebagai teroris tersebut juga adalah korban permainan politik pemerintah. Mereka sudah dipetakan sejak lama, namun penangkapannya menunggu waktu yang tepat saja, sesuai dengan kebutuhan pemerintah.

Isu seksi kedua adalah agama. Pasca Orde Baru aliran fundamentalis memang mendapat angin segar. Sudah banyak konflik terjadi di berbagai daerah yang sarat muatan agama. Masyarakat Indonesia masih mudah tersulut dengan sentimen agama. Belakangan ini yang terjadi adalah pembiaran pemukulan, pengrusakan, dan pelarangan ibadah khususnya di wilayah Jabodetabek oleh pihak-pihak tertentu. Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang telah lama senyap tiba-tiba hadir lagi menjadi momok yang menakutkan kebebasan beribadah di Indonesia.

Isu agama akhirnya menjadi seperti dua sisi mata uang bagi pemerintah. Di satu sisi negara harus menjamin kerukunan hidup antar umat beragama, di sisi lain sering terkesan ada unsur pembiaran atas konflik horizontal yang dikaitkan dengan isu agama. Keresahan yang terlanjur timbul di masyarakat dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mengelabui masyarakat atas persoalan mendasar seperti kemiskinan.

Cara kedua pemerintahan dalam “meredakan” tuduhan terhadap dirinya adalah dengan melempar tanggung jawab. Sampai sekarang belum ada pihak yang mengaku bertanggungjawab atas tabung gas yang banyak meledak. Maka Pertaminalah yang paling tepat dijadikan sebagai kambing hitam. Bukankah Pertamina tidak memproduksi tabung gas 3 kg tersebut? Bahkan mengapa banyak beredar tabung gas palsu masih menimbulkan tanda tanya yang besar. Namun masyarakat kali ini sudah terlanjur melihat bahwa Pertaminalah yang salah. Kasihan sekali para direktur Pertamina yang posisinya serba salah itu. Secara logis dan sederhana orang pasti tahu bahwa perusahaan yang menang tender dalam proyek pengadaan tabung gas 3 kg tersebutlah yang harus dimintai pertanggungjawaban. Siapa pemilik perusahaan-perusahaan tersebut? Mengapa mereka tidak dimintai pertanggungjawaban kepada publik? Kalau polemik ini tidak segera terungkap masyarakatakan semakin bertanya-tanya ada apa di balik semua ini.

Cara-cara pengalihan isu dan melempar tanggung jawab ini menunjukkan kepada kita bagaimana karakter dan kepemimpinan pemerintahan negara ini. Terkesan tidak ada jiwa ksatria di dalam di dalam mengatasi persoalan yang terjadi. Setelah terbongkar melakukan kesalahan (skandal) dalam proses dan sistem politik, maka pihak pemerintah yang dianggap lemah yang dimintai pertanggungjawaban. Atau alihkan perhatian publik supaya malapraktek pemerintahan ini jangan terganggu.Terkesan bagi pemerintahan yang penting hanyalah kekuasaan harus tetap di atas, bagaimanapun caranya.

Itulah yang membuat penyelesaian berbagai masalah terasa sangat lamban. Semua telah saling terkait satu sama lain, semua ada hubungan kepentingan. Kalau yang satu terbongkar, maka yang lain pasti ketahuan. Makanya untuk memutus rantai malapraktik tersebut harus ada yang dijadikan korban, yakni mereka yang paling lemah posisinya di dalam lingkaran kekuasaan. Nanti pada saat ada persoalan lagi yang terbongkar ke publik, maka kita tunggu isu apa lagi yang akan diangkat untuk mengalihkan perhatian publik?

Namun bagi saya justru sikap inilah yang dapat membawa pemerintahan menuju ambang delegitimasinya. Rakyat sudah semakin muak. Rakyat mengerti benar bahwa kasus-kasus teroris dan konflik agama hanyalah pengalihan isu semata. Kalau tidak dilakukan pembenahan secara mendasar dan berani maka tidak bukan mustahil akan semakin banyak terjadi gejolak yang berujung kepada mosi tidak percaya kepada pemerintahan.

Seharusnya kita belajar dari pemerintahan yang sudah-sudah, bahwa sehebat apapun kekuasaan negara tetap tidak bisa menguasai legitimasi rakyat. Sekalipun prosedur demokrasi mengatakan pemerintahan adalah suara rakyat namun legitimasi adalah tentang kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya (pemerintahannya), apakah berjiwa ksatria atau hanya sekedar mengusung semboyan dari atas tahta kekuasaan yang rapuh itu [.]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun