Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jepang dalam Perspektif Orang Indonesia (Sebuah Catatan Sederhana)

25 Juni 2010   07:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan sahabat lama yang sejak 4 (empat) tahun terakhir berada di Jepang, tepatnya di Tokyo. Dia saat ini sedang menempuh studi Ph.D di bidang teknik material pada University of Tokyo, yang mana program magisternya diselesaikan di tempat yang sama setengah tahun yang lalu.

Menarik sekali bagi saya untuk mengetahui lebih banyak hal tentang Jepang dari kacamata orang Indonesia yang telah cukup lama hidup di sana. Artinya dia tentu bisa membandingkan kemajuan Jepang dari kacamata orang Indonesia. Berikut ringkasan sebagian hasil percakapan kami yang menurutku cukup menarik. Semoga ada manfaatnya bagi yang membacanya :

Di awal percakapan saya langsung mengungkapkan keingintahuan apakah dia sudah hafal wilayah Tokyo. Menurutnya Tokyo sangat luas, sekitar 3-4 kali luas Jakarta, sulit sekali bisa menghafalnya. Jakarta memang luas, tetapi yang membuatnya terasa semakin luas adalah kemacetan. Di Tokyo kendaraan utama adalah kereta api. Ada lebih dari 70 jalur kereta api di sana. Orang malas menggunakan kendaraan pribadi karena area parkir yang begitu jarang dan sulit. Oleh karena itu Tokyo-walaupun besar dan padat-namun tidak menjadi macet seperti Jakarta.

Jepang memang pintar, pikir saya. Mobil dan sepeda motor buatan Jepang ratusan ribu unit masuk ke Indonesia dengan harga yang mahal dan menjadikan kota-kota besar di Indonesia terkena penyakit yang sama: macet. Entah berapa banyak jalan termasuk jalan bebas hambatan (yang pada kenyataannya juga sering macet) yang harus dibangun, berapa banyak uang yang dialokasikan untuk investasi jalan dan jembatan, namun kemacetan tidak pernah tuntas. Saya teringat wawancara di sebuah majalah nasional dengan mantan presiden negara di Amerika Latin yang sukses dalam mengatasi masalah kemacetan. Dia mengatakan solusi mengatasi kemacetan bukan membangun jalan baru, namun membatasi jumlah kendaraan di jalan, yang secara implisit berarti mengurangi impor mobil/motor (yang kebanyakan berasal dari Jepang).

Saat saya menanyakan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan beasiswa ke luar negeri, teman saya itu merekomendasikan sebaiknya jangan ke Jepang. Lho? Menurutnya belajar di Jepang cukup sulit karena masyarakat Jepang tidak mau berbahasa Inggris. Jadi kalau di sekolah ya harus pakai bahasa Jepang. Dia mengaku butuh waktu 2 (dua) tahun untuk bisa lancar berbahasa dan menulis dalam bahasa Jepang. Dia lebih merekomendasikan agar aku melanjutkan kuliah ke Eropa atau Australia. Amerika Serikat juga sulit ditembus, katanya. Hal itu berdasarkan banyaknya persyaratan yang lebih jelimet.

Tentang gaya hidup teman saya mengatakan kebanyakan warga Jepang hidup untuk bekerja. Memang jam kerja mereka dari pukul sembilan pagi sampai pukul lima sore. Namun mereka malu kalau pukul lima sore sudah selesai kerja. Makanya kebanyakan mereka pulang kerja sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Bisa disimpulkan dimensi kehidupan mereka sangat dibatasi antara kerja, kolega, dan rumah saja. Dapat dibayangkan juga dengan kondisi seperti itu bahwa intensitas komunikasi dalam rumah tangga pastilah sangat kurang di Jepang. Artinya mereka hampir kehilangan dimensi sosial dan budaya. Beda dengan di Indonesia. Identitas manusia kita sangat banyak. Mulai dari identitas keluarga, suku, agama, profesi, dan politik. Makanya waktu yang dipakai masyarakat kita banyak tersita dengan acara arisan, kumpul-kumpul, kegiatan keagamaan, kegiatan suku/ marga, dan lain sebagainya. Sya tidak tahu persis apakah, kapan, dan bagaimana terjadinya evolusi (revolusi) kesadaran masyarakat dari kesadaran komunal menjadi kesadaran individual.

Bicara tentang pekerjaan identik dengan kesejahteraan. Di Jepang hampir tidak ada pengangguran, khususnya bagi yang mau bekerja. Ada banyak sekali pekerjaan dengan upah yang "lumayan" namun ternyata tidak begitu banyak yang mau mengerjakannya. Misalnya pekerjaan cleaning service diupah sekitar Rp.100.000,-/ jam. Artinya jika satu hari kita bekerja selama 7-8 jam saja, maka penghasilan sehari sudah sama dengan penghasilan sebulan pekerjaan yang sama di negeri kita.

Kemudian tentang politik. Angka partisipasi politik masyarakat Jepang rendah, terutama dilihat dari jumlah pemilih. Menurut teman saya itu hanya sekitar 30 % penduduk saja yang menggunakan hak politiknya dalam memilih pemimpin politik. Namun angka tersebut jangan ditafsirkan kesadaran politik mereka rendah juga. Orang Jepang sangat kritis terhadap pemerintah. Mereka juga sangat sensitif terhadap kebijakan pemerintahnya, apalagi terhadap kalimat-kalimat politik para politikus. Contohnya pada saat perdana menteri mereka mengatakan bahwa kejadian bom atom Hiroshima-Nagasaki tahun 1945 sebagai peristiwa yang tidak terelakkan, banyak warga Jepang yang tersinggung. Akhirnya perdana menteri tersebut harus mundur. Dengan sedikit berkelakar dia menyimpulkan bahwa orang Jepang tidak begitu peduli dengan politik, namun jangan sampai politikusnya salah ngomong, bisa bahaya dia.

Selain itu orang Jepang terkenal dengan sikap kesatria. Kalau seorang pejabat publik tidak mampu memenuhi janji politiknya maka dia langsung mundur, tidak perlu didemo terlebih dahulu. Dalam hal ini menurutku kita masih harus banyak belajar dari Jepang. Contoh lain mengenai kesadaran politik adalah ketika warga Jepang meminta agar semua perusahaan-perusahaan negara diprivatisasi (diswastakan). Mereka tidak mau jika perusahaan tersebut merugi atau salah urus maka menjadi beban pemerintah. Artinya mereka tidak mau pajak yang mereka bayar harus dialokasikan untuk menutup kerugian perusahaan negara yang salah urus. Menurut saya sebenarnya wajar, karena ada banyak pemilik modal yang kuat di Jepang. Dalam hal ini pun kita harus banyak belajar dari Jepang. Dengan berapologetika pada Pasal 33 UUD 1945, kita tidak lagi kritis terhadap mismanage yang terjadi selama ini. Ringkasnya warga negera Jepang berpendapat negara tugasnya "hanya" menyediakan pelayanan, menata ekonomi, sarana, dan pra sarana publik saja, jangan mengurusi urusan yang "lain-lain", apalagi mengurus urusan privat masyarakat.

Tentang agama dan kepercayaan, mayoritas orang Jepang tidak beragama. Maksudnya mereka tidak mempunyai kepercayaan yang jelas kepada Tuhan. Nilai-nilai kehidupan mereka dilandaskan kepada ethos, yakni ajaran dan nilai-nilai tradisional yang dihidupi secara turun-temurun. Misalnya ajaran untuk bekerja keras, menjunjung tinggi harga diri, kesopansantunan, dan lain sebagainya. Memang ada juga berdiri beberapa rumah ibadah seperti kuil. Ini adalah "sisa-sisa" pengaruh agama Budha. Namun kuil tersebut hanya ramai pada saat-saat tertentu seperti di tahun baru. Warga Jepang datang ke sana untuk “sekedar berdoa” seperti “semoga tahun ini lebih baik, lebih maju, lebih berhasil, sehat-sehat”, dan seterusnya. Namun harus diakui bahwa ethos tersebut telah membawa Jepang menjadi salah satu negara paling berpengaruh di dunia ini. Ekonomi berkembang pesat, politik relatif stabil, masyarakat hidup sejahtera, angka korupsi yang rendah, dan lain sebagainya.

Saya sangat ingin tahu apa sih cita-cita mahasiswa setelah tamat kuliah? Ternyata pekerjaan yang dimimpi-impikan generasi muda di Jepang adalah bekerja di perusahaan-perusahaan raksasa seperti Sony, Toshiba, Sanyo, Honda, dan sebagainya. Pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan tidak populer di Jepang. Yang menarik adalah pekerjaan dianggap sebagai suami/istri sendiri. Artinya sekali memilih sebuah pekerjaan pada suatu perusahaan, maka itulah pekerjaan sampai pensiun. Dalam manajeman Jepang, senioritas sangat dihargai. Jadi kalau ada yang berhenti kerja lalu pindah ke perusahaan lain maka dia harus memulai karir dari nol lagi termasuk gaji, tunjangan, karir, dan jabatan. Makanya orang Jepang malas berhenti kerja atau pindah kerja ke perusahaan lain, meskipun kita mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi atau tamatan dari universitas yang bergengsi sekalipun.

Yang terakhir ini membuat saya miris. Di tengah kedigdayaan Jepang, angka bunuh diri di negeri ini terhitung tinggi. Tidak mengherankan ditemukan banyak kasus bunuh diri di Jepang. Sebabnya macam-macam, mulai dari stres akibat pekerjaan sampai masalah putus cinta. Cara bunuh diri “favorit” di Jepang adalah dengan membaringkan diri di rel kereta api, persis ketika kereta meluncur kencang. Membayangkan pola hidup masyarakat Jepang yang hidup untuk kerja dan tercerabutnya identitas komunal, rasanya kondisi ini bisa dimengerti. Oleh karena itu untuk mengurangi tekanan hidup yang tinggi orang Jepang sering singgah ke café atau rumah makan setelah pulang kerja sekedar untuk minum-minum atau karaokean. Karena kebutuhan tersebut ada banyak sekali tempat-tempat untuk sekedar kumpul-kumpul sehabis kerja yang menjadi bisnis menarik juga karena ternyata di beberapa tempat, biaya untuk minum-minum tersebut ternyata mahal sekali (bisa lebih dari Rp.10 juta untuk sekali duduk). Makanya mereka sering juga patungan uang jika ingin pergi minum.

Sebenarnya masih banyak yang kami diskusikan mengenai kehidupan di Jepang, misalnya mengenai musik, makanan, kemajuan teknologi informasi dalam pelayanan publik, tempat-tempat wisata, dan lain sebagainya. Namun tidak aku bagikan secara detail dalam tulisan ini. Oh ya, mengenai musik ternyata orang Jepang suka musik dan budaya Amrik. Maksudnya mereka responnya ya ke budaya Amrik atau hal-hal yang berbau Amrik. Katanya orang Jepang menganggap hanya Amrik negara yang masih berada di atas mereka. Sementara negara-negara di Eropa mereka anggap sederajat.

Ada satu kalimat teman saya itu diakhir percakapan yang saya ingat bahwa alangkah enaknya jika Indonesia bisa menjadi maju seperti Jepang. Saya mengangguk saja, tidak mengiyakan. Sebab pada saat yang sama aku ingat cerita anggota keluarga saya yang sempat lama kerja di perkapalan tentang percakapannya dengan beberapa kapten kapal Jepang yang penghasilannya 10 kali lipat dari penghasilan rata-rata pegawai di Indonesia pada saat itu. Mereka sering berkata bahwa sebenarnya kehidupan orang Indonesia (yang telah mapan khususnya) enak sekali. Orang Indonesia sepulang kerja masih bisa ngumpul dengan keluarga, belanja ke mal, mengembangkan hobi, jogging di sore hari, jalan-jalan ke pantai, dan lain sebagainya. Lantas saya pun teringat percakapan dengan seorang pekerja di Singapura beberapa tahun silam. Dia mengatakan bahwa saya sebenarnya lebih beruntung dari dia. Sebab di Indonesia kita masih bisa membangun rumah dengan halaman yang luas, berkebun, bahkan membangun tempat olahraga pribadi. Sedangkan mereka (orang Singapura) kebanyakan hanya tinggal di apartemen/ flat. Dalam hal ini hubungan antara kesejahteraan dengan kebahagiaan menjadi terasa relatif. Saya akhirnya tidak bisa membayangkan apakah warga Jepang telah menemukan kebahagiaan batinnya.

Terlepas dari hal di atas negara Jepang jelas telah membentuk kota-kota yang memberikan begitu banyak kemudahan kepada masyarakatnya. Fasilitas GPS yang ada di mana-mana dan pelayanan transportasi yang baik, adalah salah satu contoh kecilnya. Makanya ada keinginan teman itu setelah menamatkan PhD-nya kembali ke Indonesia, mengajar, dan melakukan riset-riset. “Suatu saat saya ingin jadi menteri !”, katanya. Bagi saya cita-cita seperti itu sangat penting. Setelah menimba pengetahuan dan pengalaman di negara maju, penting sekali bagi ratusan/ ribuan orang Indonesia yang telah mendapat pendidikan tinggi di negara-negara maju tersebut memiliki cita-cita seperti itu, yakni kembali ke Indonesia dan membangunnya bersama-sama. Memang pasti banyak perbedaan mulai dari minimnya fasilitas sampai pada persoalan sikap mental yang kurang menghargai kualitas seseorang. Tapi itu adalah sebuah konsekuensi logis yang memang adalah tugas kita yang terpelajar untuk mengatasinya.

Saat ini Cina dan India adalah negara-negara dengan penduduk terbesar yang semakin berkembang dan telah menjadi kekuatan baru dalam ekonomi. Masalah mereka hampir sama dengan Indonesia yakni kemiskinan, birokrasi yang tidak efektif, pengangguran, dan kebodohan. Salah satu variabel yang mendongkrak perkembangan ekonomi mereka adalah banyaknya orang yang berpendidikan tinggi di negara-negara maju yang disekolahkan atau yang mendapat beasiswa yang kemudian kembali ke negaranya yang kemudian berperan pada sektor-sektor potensial. Malaysia juga secara konsisten telah melakukan kebijakan yang sama selama lebih dari dua dekade terakhir.

Mungkin untuk mengurai benang kusut berbagai persoalan rumit di negara kita dapat dimulai dengan melakukan hal yang sama. Ada banyak sekali orang Indonesia yang pintar yang berpengaruh di tingkat internasional. Sayangnya mereka belum mau kembali ke tanah airnya dengan berbagai alasan. Jika mereka bisa diyakinkan dan dipercayakan berkarya di negeri sendiri saya yakin dalam beberapa tahun ke depan akan ada perubahan yang siqnifikan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun