Yang terakhir ini membuat saya miris. Di tengah kedigdayaan Jepang, angka bunuh diri di negeri ini terhitung tinggi. Tidak mengherankan ditemukan banyak kasus bunuh diri di Jepang. Sebabnya macam-macam, mulai dari stres akibat pekerjaan sampai masalah putus cinta. Cara bunuh diri “favorit” di Jepang adalah dengan membaringkan diri di rel kereta api, persis ketika kereta meluncur kencang. Membayangkan pola hidup masyarakat Jepang yang hidup untuk kerja dan tercerabutnya identitas komunal, rasanya kondisi ini bisa dimengerti. Oleh karena itu untuk mengurangi tekanan hidup yang tinggi orang Jepang sering singgah ke café atau rumah makan setelah pulang kerja sekedar untuk minum-minum atau karaokean. Karena kebutuhan tersebut ada banyak sekali tempat-tempat untuk sekedar kumpul-kumpul sehabis kerja yang menjadi bisnis menarik juga karena ternyata di beberapa tempat, biaya untuk minum-minum tersebut ternyata mahal sekali (bisa lebih dari Rp.10 juta untuk sekali duduk). Makanya mereka sering juga patungan uang jika ingin pergi minum.
Sebenarnya masih banyak yang kami diskusikan mengenai kehidupan di Jepang, misalnya mengenai musik, makanan, kemajuan teknologi informasi dalam pelayanan publik, tempat-tempat wisata, dan lain sebagainya. Namun tidak aku bagikan secara detail dalam tulisan ini. Oh ya, mengenai musik ternyata orang Jepang suka musik dan budaya Amrik. Maksudnya mereka responnya ya ke budaya Amrik atau hal-hal yang berbau Amrik. Katanya orang Jepang menganggap hanya Amrik negara yang masih berada di atas mereka. Sementara negara-negara di Eropa mereka anggap sederajat.
Ada satu kalimat teman saya itu diakhir percakapan yang saya ingat bahwa alangkah enaknya jika Indonesia bisa menjadi maju seperti Jepang. Saya mengangguk saja, tidak mengiyakan. Sebab pada saat yang sama aku ingat cerita anggota keluarga saya yang sempat lama kerja di perkapalan tentang percakapannya dengan beberapa kapten kapal Jepang yang penghasilannya 10 kali lipat dari penghasilan rata-rata pegawai di Indonesia pada saat itu. Mereka sering berkata bahwa sebenarnya kehidupan orang Indonesia (yang telah mapan khususnya) enak sekali. Orang Indonesia sepulang kerja masih bisa ngumpul dengan keluarga, belanja ke mal, mengembangkan hobi, jogging di sore hari, jalan-jalan ke pantai, dan lain sebagainya. Lantas saya pun teringat percakapan dengan seorang pekerja di Singapura beberapa tahun silam. Dia mengatakan bahwa saya sebenarnya lebih beruntung dari dia. Sebab di Indonesia kita masih bisa membangun rumah dengan halaman yang luas, berkebun, bahkan membangun tempat olahraga pribadi. Sedangkan mereka (orang Singapura) kebanyakan hanya tinggal di apartemen/ flat. Dalam hal ini hubungan antara kesejahteraan dengan kebahagiaan menjadi terasa relatif. Saya akhirnya tidak bisa membayangkan apakah warga Jepang telah menemukan kebahagiaan batinnya.
Terlepas dari hal di atas negara Jepang jelas telah membentuk kota-kota yang memberikan begitu banyak kemudahan kepada masyarakatnya. Fasilitas GPS yang ada di mana-mana dan pelayanan transportasi yang baik, adalah salah satu contoh kecilnya. Makanya ada keinginan teman itu setelah menamatkan PhD-nya kembali ke Indonesia, mengajar, dan melakukan riset-riset. “Suatu saat saya ingin jadi menteri !”, katanya. Bagi saya cita-cita seperti itu sangat penting. Setelah menimba pengetahuan dan pengalaman di negara maju, penting sekali bagi ratusan/ ribuan orang Indonesia yang telah mendapat pendidikan tinggi di negara-negara maju tersebut memiliki cita-cita seperti itu, yakni kembali ke Indonesia dan membangunnya bersama-sama. Memang pasti banyak perbedaan mulai dari minimnya fasilitas sampai pada persoalan sikap mental yang kurang menghargai kualitas seseorang. Tapi itu adalah sebuah konsekuensi logis yang memang adalah tugas kita yang terpelajar untuk mengatasinya.
Saat ini Cina dan India adalah negara-negara dengan penduduk terbesar yang semakin berkembang dan telah menjadi kekuatan baru dalam ekonomi. Masalah mereka hampir sama dengan Indonesia yakni kemiskinan, birokrasi yang tidak efektif, pengangguran, dan kebodohan. Salah satu variabel yang mendongkrak perkembangan ekonomi mereka adalah banyaknya orang yang berpendidikan tinggi di negara-negara maju yang disekolahkan atau yang mendapat beasiswa yang kemudian kembali ke negaranya yang kemudian berperan pada sektor-sektor potensial. Malaysia juga secara konsisten telah melakukan kebijakan yang sama selama lebih dari dua dekade terakhir.
Mungkin untuk mengurai benang kusut berbagai persoalan rumit di negara kita dapat dimulai dengan melakukan hal yang sama. Ada banyak sekali orang Indonesia yang pintar yang berpengaruh di tingkat internasional. Sayangnya mereka belum mau kembali ke tanah airnya dengan berbagai alasan. Jika mereka bisa diyakinkan dan dipercayakan berkarya di negeri sendiri saya yakin dalam beberapa tahun ke depan akan ada perubahan yang siqnifikan di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI