“Tidak, Bang!” seru mereka dengan serentak.
Ini bukan sesuatu hal yang terkejut buat saya. Saya yakin, mereka punya mimpi masing-masing. Betul saja, ada yang ingin menjadi guru, dokter, dosen, dan masih banyak lagi. Tetapi, mereka menjelaskan bahwa komitmen untuk melestarikan tentu ada.
“Rencana untuk membuka industri dan bisnis kain tonun di masa depan. Ya, mungkin pakai mesin lah Bang nantinya” tegas salah seorang pemuda dengan semangat.
Sebagai menutup perbincangan kami, saya menanyakan apa pembelajaran yang bisa didapat dari menenun ini.
“Merasakan sakitnya orangtua mencari uang, Bang. Ya, kami juga diajarkan bagaimana sabar dan tekun. Pasti juga Bang, kami ikut melestarikan, hehehe.” terangnya dengan senyuman.
Kami melanjutkan perjalanan mengelilingi Desa Adat Ragihotang. Kami memasuki salah satu Ruma Bolon yang masih terjaga kelestariannya. Tetapi, beberapa kontruksinya sudah ada yang rusak. Melihat ini, Wulan teringat sesuatu dan melontarkan pernyataan.
“Kondisi sanggar tari dan para penenun serta harmonisnya kehidupan tadi yang kita lihat adalah suasana setalah pandemi. Saat pandemi, semuanya berubah.”
“Banyak yang rusak (Ruma Bolon). Ini semua karena pandemi. Hampir tidak ada pengunjung waktu itu. Dana untuk pemeliharannya pun tidak ada.” tuturnya dengan nestapa.
Dia melanjutkan bahwa atmosfer ketika pandemi itu sangat suram. Wulan mengatakan saat itu ekonomi dan tatanan kehidupan sosial sangat kacau. Setiap orang kala itu menutup diri dan mereka saling curiga jika ada yang sakit.
“Kacau sekacau-kacaunya. Sanggar tari yang tadi sudah seperti kuburan. Tidak ada event apapun. Halaman rumah pun tidak dipenuhi oleh para penenun. Ladang dan sawah dibiarkan begitu saja.”