Pemukiman yang terpencil tidak menghambat para mutiara ini untuk berkilau. Sulitnya akses jalan, minimnya fasilitas telekomunikasi, dan berbagai kemudahan globalisasi enggan menghampiri desa ini bukan menjadi alasan mereka dalam berhenti berkreasi demi menggali potensi.
Sekali lagi, saya tidak bisa berhenti terpukau. Disisi lain, saya juga penasaran apa sebenarnya motif mereka melakukan semua ini. Mayoritas alasan mereka bergabung pada Sanggar Tari Meat memang untuk melestarikan budaya lokal. Tetapi, saya tergelitik dengan salah satu jawaban anak-anak disitu.
“Biar dapat uang, Bang!” serunya dengan melengking.
Perhatian saya tertuju dengan jawaban uniknya. Setelah berbincang dengan anak tersebut, gelitik perut saya sontak hilang. Betul saja, dibalik ambisi unjuk talenta, ada dorongan untuk mencari uang yang suram.
Anak ini masih berumur 8 tahun. Kedua orang tuanya meninggalkannya ketika ia masih belum genap berumur setahun yang memaksa neneknya merawat dia. Kini, neneknya tidak dapat ia harapkan lagi menafkahinya. Dengan terpaksa, ia harus menggantikan peran neneknya.
Bermula ketika acara “Meat Arts Festival” mengundang Sanggar Tari Meat. Anak ini melihat dan mendengar bahwa para anggota sanggar ini diberikan upah dari penampilan tersebut. Sejak itu, ia pun bergabung dan berharap dapat mendapatkan uang.
Awalnya, dia tidak percaya diri. Dia mengira semua anak-anak pada sanggar itu akan mengucilkannya. Ternyata, para anggota sanggar malah merangkulnya dan membantu dia bangkit dari keterpurukan. Bahkan, dijenjang umurnya, dia tergolong yang paling hebat dalam manortor.
Setiap pulang sekolah, bukannya bermain, anak ini meluangkan waktunya untuk konsisten berlatih. Setelah itu, ia juga sering membantu tetangganya jika panen hasil kebun atau sawah untuk menambah penghasilannya.
“...terus bang, pulang sekolah, aku membantu tetangga menyabit padi. Lumayan lah bang. Aku digaji limpul (sebutan untuk menyebut uang Rp 50.000) per hari bang.” jelasnya dengan mukhlis.
Sejenak saya merenung. Sesungguhnya, dibalik tawa tidak selalu ada kebahagiaan. Mengakhiri percakapan saya dengan anak tersebut, ia memiliki mimpi untuk membangun sekolah dan bercita-cita ingin menjadi pilot. Sungguh menyentuh hati.
Kemudian, saya bertolak dari pesisir Danau Toba menuju jantung desa. Lembutnya cahaya mentari dan harmonisnya suara penduduk dikelilingi kicauan burung menyambut kehadiran kami. Melewati hemparan sawah, masih bersama Wulan, saya menuju salah satu pusat partonun (dalam bahasa batak yang berarti penenun), Desa Ragi Hotang Meat.