Mohon tunggu...
Samuel Lengkey
Samuel Lengkey Mohon Tunggu... -

Pembaca Buku, Pendengar Lagu Klasik, Dir. Eks. Jaringan Analisis Strategis, Ketua Lembaga Kajian Ilmu Hukum, Mahapatih Law Firm. Email samuellengkey@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kedaulatan Rakyat dalam Doktrin Pancasila

18 September 2014   20:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:18 4182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedaulatan Rakyat Dalam Doktrin Pancasila

Pilkada Langsung Dalam Demokrasi Permusyawaratan Perwakilan

(Bagian Kedua: Seri Demokrasi Pancasila, Pengantar Dalam Dialektika Kultural, Filosofis dan Ideologis)

Samuel Lengkey

Kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat dan dalam kajian ini kekuasaan rakyat itu merupakan kekuasaan yang hanya diterjemahkan secara sempit sebagai kekuasaan yang terwujud dalam suatu mekanisme dan sistem politik. Rakyat hanya diterjemahkan sebagai kumpulan orang-orang yang berdiam dan bernaung dalam sebuah wilayah dan memiliki hak yang dijamin oleh undang-undang untuk melaksanakan haknya untuk memilih dan dipilih, tanpa menggali nilai-nilai kedaulatan rakyat itu sendiri. Kedaulatan rakyat bukan hanya sebuah masalah hak, apalagi  kewajiban. Kedaulatan rakyat jangan hanya diterjemahkan sebagai memilih dan dipilih, akan tetapi kedaulatan rakyat adalah kekuasaan rakyat, dimana kekuasaan rakyat itu mengandung nilai-nilai kerakyatan yang memberi semangat, budaya, bahkan roh kehidupan bagi rakyat itu sendiri, karena roh kerakyatan itu yang menata hubungan kekerabatan dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Tatanan hubungan kekerabatan dalam rakyat itu adalah jaringan relasi sosial yang memiliki interaksi yang tertata, teratur, dan dijalankan secara alami dalam hubungan antar anggota masyarakat. Relasi sosial itu menjadi sebuah keterikatan antar individu dalam masyarakat dan patuhi secara bersama, karena relasi sosial tersebut menjaga keseimbangan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Masyarakat hidup dan bergantung dari siklus sosial, yakni saling membantu, saling menolong, saling menghormati, saling bertenggangrasa dan saling memiliki dalam ruang-ruang fasilitas kebersamaan, misalnya kumpulan-kumpulan keagamaan, kebudayaan dan fasilitas yang digunakan secara bersama. Dalam kebersamaan, keterikatan dan kebergantungan inilah masyarakat membangun tatanan budaya bersama. Budaya inilah merupakan jantung utama yang memberi kehidupan bagi masyarakat dan menyimpan kekuatan bersama, yakni kedaulatan masyarakat itu sendiri.

Kedaulatan itu bersumber dari masyarakat, akan tetapi isi dan makna kedaulatan itu harus diterjemahkan sebagai kekuatan nilai-nilai budaya masyarakat yang heterogen, pluralis dan penuh berbagai pertentangan namun dapat menyatu. Inti kedaulatan masyarakat yang dikenal lebih tinggi statusnya sebagai kedaulatan rakyat adalah ruang aspirasi masyarakat yang penuh dengan berbagai kepentingan, berbagai budaya, berbagai perbedaan dan berbagai pertentangan namun menyatu secara bersama dan bukan sebagai alat aspirasi dari system dan mekanisme politik. Nilai-nilai budaya masyarakat merupakan dasar-dasar hakiki dari masyarakat, ia merupakan pedoman-pedoman bagaimana manusia bertingkah laku atas dasar nilai. Tingkah laku manusia ini, berdasarkan perilakunya nyata atau sikap dan tindakan manusia itu sendiri terhadap sesama atau gerak antar sesama manusia.

Kedaulatan rakyat dalam Pancasila lahir dari budaya bangsa Indonesia dan esensi dasar dari pembentukan nilai-nilai demokrasi kultural bangsa Indonesia. Kultur dan budaya bangsa Indonesia lahir dari suku-suku bangsa Indonesia yang bermukim sejak lama, suku-suku bangsa inilah yang membentuk nilai-nilai Pancasila. Majalah sosiografi Indonesia tahun 1959 yang ditulis M. A Jasman membagi jumlah suku bangsa dan golongan di Indonesia, terdiri dari pulau Sumatera dengan 49 suku bangsa, Jawa 7 suku bangsa, Kalimantan 73 suku bangsa, Sulawesi 117 suku bangsa, Nusa Tenggara 30 suku bangsa, Maluku Ambon 41 suku bangsa dan Irian Jaya (papua) 49 suku bangsa. Sedangkan HAR Tilaar merinci lebih dari 700 suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku bangsa dan golongan inilah yang memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda, bertentangan (bahkan konflik) yang membentuk nilai-nilai persatuan Indonesia, dan nilai-nilai itulah yang membentuk kerakyatan dalam negara kesatuan.

Nilai-nilai kultur budaya ini membentuk sebuah jaringan yang terangkai dalam rangkuman keseluruhan unsur, bagian, pengertian dan pemahaman secara bersama dan ini yang dinamakan sistem. Kerangka bangunan bangsa Indonesia terbangun dengan landasan nilai-nilai tersebut, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sangat berbeda jauh dengan nilai-nilai peradaban budaya bangsa di eropa. Supomo mengatakan, “sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar akan system hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia”. Jelas, bahwa kerangka dasar bangunan bangsa itu bukanlah peradaban bangsa lain, Indonesia dibangun berdasarkan bangunan peradaban budaya bangsa Indonesia itu sendiri yang telah lama hidup dan terus berkembang sebelum kolonialisme masuk ke Nusantara. Karena itu Hazairin mengatakan “jelaslah, bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat (budaya) itu lebih berurat berakar di atas pangkuan ibu pertiwi, sebab itu kewajiban bagi negara republik Indonesia untuk memelihara, menyuburkan dan meningkatkan hal ikhwal perdesaan tersebut”.

Kedaulatan rakyat dalam pemahaman Pancasila adalah kedaulatan dalam budaya dan peradaban bangsa Indonesia, sedangkan kedaulatan rakyat dalam rumusan konseptual barat merupakan kedaulatan rakyat yang bersumber dari individualisme dan kolektivisme. Inilah yang membedakan kerangka utama bangunan konsep kedaulatan rakyat yang diterapkan di negara-negara eropa dan konsep kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dijalankan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kajian dan analisis kedaulatan rakyat dalam pembahasan ini dikaji menurut doktrin Pancasila. ini merupakan proses historis, filosofis dan ideologis bangsa yang menyatu dalam doktrin ketatanegaraan yakni doktrin Pancasila.

Kedaulatan rakyat yang berkembang di Eropa merupakan kedaulatan rakyat yang berasal dari proses sejarah panjang dalam rumusan-rumusan filosofis, yang bersumber dimulai dari konsep demokrasi Aristoteles dalam bukunya Politika. Menurutnya, “demokrasi lahir dari keyakinan bahwa manusia yang sama-sama bebas”. Dalam system demokrasi yang digagas oleh Aristoteles, konsep demokrasi dalam pemilihan pimpinan lebih ekstrim, yakni majelis warga negara lebih tinggi kedudukannya daripada undang-undang, dan memutus perkara secara bebas. Bangunan demokrasi yang dikonsepsikan oleh Aristoteles merupakan demokrasi dengan penekanan pada individu atau pribadi setiap orang, oleh karena itu bersifat individualistis.

Konsep demokrasi Aristoteles kemudian berkembang terus dalam perdebatan konsep ketatanegaraan, yang kemudian direkonstruksi kembali oleh para filosof untuk membangun konsep negara modern yang terus menempatkan hak kekuasaan rakyat secara individual sangat besar dalam bangunan ketatanegaraan sebuah negara.  Konsep demokrasi yang menempatkan kekuasaan rakyat sebagai kekuasaan utama dalam membangun bangsa diterjemahkan oleh Hobbes secara jelas. Pembahasan tentang kekuatan rakyat yang bersatu dia tuangkan dalam bukunya Leviathan, kekuatan orang banyak yang bersatu itu dia sebut sebagai sebuah “persemakmuran”.

Hobbes (1588-1679) menyatakan,”kekuasaan tertinggi, baik ditangan seseorang atau lembaga disebut kedaulatan (souvereign)”. Ia sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan semua manusia pada dasarnya sama, sehingga kepentingan-kepentingan semua warga negara sama. Baginya kekuasaan terbagi tiga yakni kekuasaan Raja, Bangsawan dan Rakyat Jelata. Konsep demokrasi Hobbes adalah keterlibatan langsung setiap warga negara dalam legislasi dan administrasi. Konsep kedaulatan ini, kemudian dikembangkan dan diuraikan lebih tegas oleh John Locke dalam bukunya yang sangat terkenal Treatise on Government.

John Locke (1632-1704) dikenal sebagai nabi revolusi yang karya-karya pemikirannya memicu gelombang revolusi di eropa. Kekuasaan rakyat dilandasi oleh doktrin kesepakatan sosial. Baginya, asal muasal kekuasaan pemerintah berasal dari masyarakat sipil dengan memberlakukan ketentuan mayoritas atau ketentuan yang disepakati oleh lebih banyak orang. Inilah awal keberadaaan masyarakat politik yang sangat tergantung dari kesepakatan setiap individu untuk bergabung dan membentuk suatu masyarakat. Kesepakatan masyarakat sipil itulah yang melembagakan pemerintahan karena itu lahirlah konsep pemerintahan yang berasal dari kesepakatan.

Konsep kesepakatan masyarakat dikembangkan lebih rinci oleh Jean Jaques Rousseau (1712-1778), ia mengartikan kedaulatan sebagai sebuah komunitas dalam kapasitas kolektif dan legislatifnya. Dalam pengantar bukunya yang menjadi landasan berbagai teori politik dan tata negara yakni kontrak sosial, ia mengatakan “karena saya terlahir sebagai warga dari sebuah negara bebas, dan bagian dari kedaulatan, saya merasa bahwa betapapun lemahnya, suara saya tetap berpengaruh terhadap kepentingan umum, hak suara atas urusan itu menjadikan saya wajib mempelajarinya”. Kontrak sosial dapat dinyatakan sebagai berikut “masing-masing dari kita, secara bersama-sama meletakkan kedirian dan seluruh kekuasaan kita dibawah supremasi kehendak umum, dan, dalam kapasitas kolektif kita, kita menerima setiap anggota sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan”. Kekuasaan supremasi kehendak umum merupakan inti dari kekuasaan dari sebuah negara.

Para filosofis ini adalah mesin penggerak dari bangunan hukum, politik dan ketatanegaraan disemua negara yang menganut system pemerintahan demokrasi, jelas bahwa kerangka kedaulatan dibangun berdasarkan kekuasaan individulistis, sehingga bangunan ketatanegaraan jelas menempatkan supremasi hak-hak sipil diatas segalanya. Demokrasi barat lahir oleh karena proses sejarah yang begitu panjang, konsep kekuasaan lahir karena berbagai pertikaian dan perang antar negara, dominasi kekuasaan gereja terhadap rakyat dan kekuasaan pemerintahan yang otoriter menindas hak-hak rakyat. Fakta sejarah inilah yang melahirkan demokrasi liberal, dan ini jurang pemisah yang membedakan demokrasi Indonesia dengan demokrasi barat.

Demokrasi Indonesia dibangun dengan landasan peradaban budaya bangsa Indonesia, budaya bangsa yang telah terbangun oleh budaya-budaya lokal dengan berbagai sistem kekuasaan masyarakat lokal. Kekuasaan masyarakat lokal ini yang kemudian menyatu dalam kekuasaan bersama untuk membentuk pemerintahan bersama, berdasarkan nilai-nilai kekuasaan yang ada dalam budaya bangsa Indonesia. Perbedaaan demokrasi Indonesia dengan demokrasi barat ini yang menjadi identitas berbeda dalam mengurai dan membangun system ketatanegaraan Indonesia.

Kedaulatan Rakyat dalam Pancasila

Kedaulatan rakyat dalam bangunan hukum negara Indonesia tercantum dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 yang mengatakan “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada :  Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, menyatakan “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” jika kita menganalisis secara kritis maka kita akan menemukan dua hal yang berbeda dalam menafsirkan dan mengimplementasikan pengertian tentang kedaulatan rakyat. Jika dalam Pembukaan UUD 1945 kedaulatan rakyat didasarkan pada Pancasila, maka dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jelas, bahwa dasar dari kedaulatan adalah Pancasila dan kedaulatan rakyat itu dijalankan menurut Undang-Undang Dasar.

Maria Farida mengatakan, “sejak lahirnya Negara Republik Indonesia, dengan proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya, maka terbentuklah pula sistem norma hukum negara republik Indonesia”. Norma hukum dalam system ketatanegaraan Indonesia adalah norma hukum yang tersusun dalam bangunan hukum negara dan berlaku secara berlapis, berjenjang, sekaligus berkelompok, dimana norma itu selalu berlaku, bersumber, dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sehingga mencapai norma dasar dari bangunan norma ketatanegaraan itu yakni norma dasar.

Norma dasar menurut Hans Kelsen adalah “norma yang memberi wewenang kepada pembuat undang-undang yang pertama secara historis”. Perumus undang-undang diberi kewenangan untuk membentukan tatanan dan bangunan hukum yang didasari oleh tindakan pertama yang meletakkan norma dasar tersebut. Inilah yang disebut sebagai kekuasaan yang memiliki legitimasi untuk menentukan tatanan hukum itu sendiri. Prinsip legitimasi ini yang memberi kekuasaan secara sah kepada seseorang, kelompok atau lembaga untuk bertindak meletakkan kerangka dasar konsititusi suatu negara.

Pancasila adalah norma dasar dari bangunan ketatanegaraan Indonesia. Pancasila sebagai norma hukum tertinggi (staatsfundamentalnorm) dari bangunan hukum negara atau konstitusi yang merupakan pusat dan dasar dalam merumuskan dan membangun seluruh sistem ketatanegaraan Indonesia. Bangunan sistem demokrasi harus dibangun berlandasakan Pancasila. Kekuasaan negara dengan organ-organ negara yang diberi kekuasaan oleh undang-undang dibangun berdasarkan norma dasar itu sendiri. Seluruh bangunan ketatanegaraan harus bersumber dari Pancasila dan mencapai tujuan sesuai dengan cita-cita yang tercantum dalam Pancasila, Pancasila adalah awal dari pembangunan negara dan Pancasila dijadikan tujuan akhir dalam mewujudkan cita-cita negara. Pancasila adalah ukuran utama, ukuran dasar dan ikatan yang memberi prinsip legitimasi dan legalitas bagi penyelenggaraan negara Indonesia.

Prinsip kedaulatan rakyat dalam Pancasila dibangun oleh para pendiri bangsa dengan mengambil nilai-nilai peradaban bangsa Indonesia, karena itu para pendiri bangsa sepakat untuk menolak sistem demokrasi barat. Muhammad Yamin mengatakan secara tegas bahwa “negara baru yang akan kita bentuk adalah suatu negara kebangsaan Indonesia atau suatu nationale state atau suatu etaat nasional yang sewajarnya dengan peradaban kita dan menurut susunan dunia sekeluarga diatas dasar kebangsaan dan ketuhanan”. Bangunan kenegaraan Indonesia menurut Yamin adalah bangunan menurut nasionalisme baru yang berisi faham hendak mempersatukan rakyat dalam ikatan sejarah yang dilindungi mereka.

Yamin ingin menginginkan bangunan negara Indonesia disusun berdasarkan peradaban bangsa Indonesia sendiri yakni negara hukum adat yang ia nyatakan sebagai kumpulan sari-sari tata negara yang dapat menjadikan dasar negara, karena itu ia menyatakan “negara Indonesia disusun tidak dengan meminjam atau meniru negeri lain, dan bukan  pula suatu salinan daripada jiwa atau peradaban bangsa lain, melainkan semata-mata suatu kelengkapan yang menyempurnakan kehidupan bangsa”, kehidupan bangsa itu menurutnya adalah “ruangan hidup kita sejak purbakala, kelengkapan itu hendaklah sesuai dengan sifat keinginan rakyat Indonesia sekarang”.

Bagi Yamin, permusyawaratan menjadi inti dari penyelesaian persoalan bangsa, ia mengutip surat Asysyura ayat 38 yang berbunyi “segala urusan mereka dimusyawarahkan” baginya musyawarah menjadi sebuah kekuatan, memberi kemajuan kepada setiap orang, membuka hubungan antar sesama manusia, beban berat negara dipikul secara bersama dalam permusyawaratan, mengecilkan dan menghilangkan kekhilafan, membawa negara kepada tindakan yang benar, menghilangkan kesesatan. Bahkan dalam pandangannya ia menganggap negara yang dibentuk dan negara yang tidak bersandar permusyawaratan adalah negara yang melanggar keTuhanan dan melanggar peradaban Indonesia. Penegasan Yamin terhadap permusyawaratan yakni “permusyawaratan dan perwakilan itu di bawah pimpinan hikmat kebijaksanaan yang bermusyawarat atau berkumpul dalam persidangan”. Perwakilan itulah yang merupakan sifat utama dalam memberikan jaminan terhadap keterpilihan seseorang yang memegang kekuasaan dan perwakilan, itulah dasar dalam menjalankan kekuasaan. Baginya perwakilan adalah dasar abadi menurut kebudayaan Indonesia.

Yamin menentang segala sistem ketatanegaraan yang melanggar prinsip-prinsip permusyawaratan dan perwakilan, ia ingin mewujudkan negara republik Indonesia yang mempunyai satu kedaulatan yang dijunjung kepala negara dan rakyat Indonesia. Kepala negara, pusat pemerintahan daerah dan pemerintahan persekutuan dipilih menurut budaya Indonesia yakni permusyawaratan yang disusun oleh rakyat. Permusyawaratan, pemilihan dan pembaruan pikiran menjadi dasar pengangkatan dan segala pemutusan urusan rakyat.

Pandangan Yamin tentang permusyawaratan diusulkan secara konkrit oleh Supomo dengan membuat konsep pelembagaan permusyawaratn tersebut, dengan pertimbangan agar pimpinan negara, terutama kepala negara terus menerus bersatu jiwa dengan rakyat dalam susunan pemerintahan. Supomo mengusulkan pembentukan system badan permusyawaratan dengan tujuan badan permuyawaratan ini senantiasa mengetahui dan merasakan keadilan rakyat dan cita-cita rakyat. Dalam rapat pembahasan rancangan undang-undang dasar, Supomo mengusulkan agar majelis permusyawaratan itu menjadi kekuasaan yang setinggi-tingginya didalam republik yang terdiri dari wakil-wakil seluruh daerah di Indonesia, wakil golongan  atau rakyat Indonesia yang dipilih secara bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak.

Rumusan Supomo tentang kedaulatan rakyat sesuai dengan negara yang berdasarkan asas kekeluargaan yang menyelenggarakan pemerintahan ke dalam negeri dan ke luar negeri. Sifat masyarakat Indonesia dalam membangun negara yang berdaulat ia rumuskan “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan”. Dasar kemanusiaan dilandasi oleh keadilan yang beradab. Inilah jiwa yang terkandung dalam undang-undang dasar yang akan mewajibkan pemerintah  dan penyelenggara negara untuk terus menjalankan pemerintahan dengan memelihara budi pekerti masyarakat Indonesia dan terus berpegang dalam cita-cita moral luhur masyarakat Indonesia.

Pemahaman yang dalam tentang adat istiadat bangsa Indonesia dan keahlian Supomo dalam hukum adat Indonesia membuat Supomo mengkonsepsikan kedaulatan rakyat dengan melembagakan kedaulatan itu dalam lembaga permusyawaratan yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat, ia mengatakan “isi pokok pikiran kedaulatan rakyat adalah kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Majelis ini merupakan representasi dan perwujudan dari seluruh rakyat, seluruh daerah dan seluruh golongan dengan adanya keterwakilan dalam majelis ini. Majelis ini yang akan menjadi forum tertinggi dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, perbedaan kepentingan, pertikaian politik, kebijakan pemerintah yang mengabaikan keadilan dan kesejahteraan rakyat dan majelis ini merupakan rakyat Indonesia dengan keterwakilannya yang diduduki oleh orang-orang cerdas, berwibawa dan dihormati rakyat.

Sukarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 mengemukakan konsep dasar negara Indonesia, ia menggali nilai-nilai dasar kemerdekaan dan peradaban bangsa Indonesia dengan menggunakan istilah philosofisce groundslaag. Sukarno menyatakan “philosofiche groundslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi”. Dalam membangun dasar negara, Sukarno sangat tegas menyatakan dasar bagi negara Indonesia, ia katakan “dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya”.

Sukarno memilih sistem bangunan ketatanegaraan yang tegas dalam membangun negara dan menyelesaikan semua persoalan kebangsaan, karena itu ia mengatakan “kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua dan semua buat satu, saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan”. Dalam prinsip permuyawaratan ada permufakatan perwakilan, dimana dalam forum tersebut akan lahir berbagai pemikiran tentang ide setiap orang untuk membangun negara dengan cara yang berbudaya yakni budaya bangsa Indonesia.

Sukarno menolak secara tegas dan keras system demokrasi barat, ia mengatakan “tuan-tuan yang terhormat, inilah justru yang hendak saya terangkan. Inilah yang menjadi sumber malapetaka-malapetaka di dunia ini, negara-negara di eropa dan amerika didirikan di atas dasar hak kedaulatan staat yang dinamakan staatssouvereiniteit” bagi Sukarno dan Supomo hak kemerdekaan yang dilandasi oleh idividualistis dan kedaulatan staat itu mengandung satu konflik dan itu menjadi sumber konflik, perguncangan, pertikaian dan peperangan.

Falsafah individualistis inilah yang melahirkan teori-teori ekonomi liberal, melahirkan system kapitalisme, karena system itu memberi hak sepenuhnya kepada beberapa orang saja untuk menguasai orang lain, menghisap, menindas manusia satu dengan manusia yang lain dan ini bukanlah budaya dan karaker bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa tidak ingin mengalami hal yang sama dengan bangsa di eropa dan amerika dalam menuliskan dasar-dasar negara yang membangun peradaban ketatanegaraan Indonesia.

Muhammad Hatta secara jeli mampu menjelaskan dan menempatkan unsur hak-hak warga negara Indonesia untuk berkumpul, bersidang, berserikat yang dipahami bersumber dari pemahaman individulistis, karena ia ingin mencegah negara Indonesia menjadi negara kekuasaan, dan menginginkan negara Indonesia menjadi negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang ada dalam majelis permusyawaratan rakyat dan penyerahan kekuasaan kepada Presiden oleh permusyawaratan rakyat tidak menjadi negara kekuasaan. Baginya, kemerdekaan rakyat yang terjamin dalam undang-undang adalah bagian utama yang menguatkan kedaulatan rakyat. Ia sendiri menentang Individualitis dan ingin membangun negara Indonesia berdasarkan gotong royong dan hasil usaha bersama yang ia sebut sebagai dasar collectivisme.

Musyawarah mufakat dalam pemahaman demokrasi Indonesiapun, menganut system voting atau pengambilan keputusan dengan mengumpulkan suara terbanyak. Namun voting yang dilakukan dalam perumusan UUD 1945 hanya hanya menyangkut masalah teknis, misalnya memilih jumlah departemen dan nama departeman, dan bukan esensi dasar falsafah negara Indonesia. Para pendiri bangsa sepakat tidak mengutak-atik filosofi bangunan ketatanegaraan, bahkan sewaktu mengadakan voting untuk mengambil keputusan dalam usulan tentang urusan agama, dengan usulan supaya Presiden seorang Indonesia asli yang beragama islam, usulan tersebut dilakukan melalui mekanisme voting atau suara terbanyak dengan hasil 60 orang mufakat dan 3 orang yang berasal dari tionghoa tidak mufakat, akan tetapi melalui permusyawaratan untuk mufakat maka yang frasa yang beragam islam itu hilang, begitupun dengan proses pengambilan keputusan untuk menanggalkan 9 kata dalam Piagam Jakarta yang menginginkan kata “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dimana dalam perumusannya hanya Maramis yang beragama non islam.

Demokrasi dalam permuyawaratan perwakilan adalah demokrasi ideal dan tepat dalam mengakomodir berbagai keinginan dan segala perbedaaan suara rakyat, forum utama dalam menyelesaikan segala konflik dan persoalan bangsa, tempat para tokoh bangsa yang mampu saling merangkul dan melepaskan setiap egoisme dan kepentingan golongan, agama dan kepentingan lainnya untuk membangun bangsa. Oleh karena itu lembaga permusyawaratan ini dipilih dari rakyat dengan kriteria yang memiliki nilai-nilai kepemimpinan Indonesia, yakni rendah hati, jujur, sederhana dan mampu merangkul setiap orang dan menjadi solusi dan bukan konflik.

Demokrasi mana yang harusnya dianut oleh Indonesia saat ini? Jika ditinjau dari otentisifikasi, maka demokrasi yang harus di anut adalah demokrasi yang ditentukan dan diinginkan oleh para pendiri bangsa, karena merekalah yang mendirikan bangsa, merekalah yang memahami, mengetahui memiliki visi ribuan tahun kedepan tentang masa depan Indonesia. Sebagai pendiri bangsa para intelektual dan tokoh agama Indonesia yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI menginginkan system demokrasi yang sesuai dengan budaya bangsa, jika demokrasi itu sudah keluar dari keinginan pendiri bangsa yang tertuang dalam Pancasila, bukankah sistem demokrasi itu menjadi sistem demokrasi illegal?

Bagaimana jika sistem demokrasi itu penyebab konflik dalam masyarakat?, apalagi terjadi perang antar golongan dan kepentingan yang mengakibatkan terbunuh seseorang, apalagi sekelompok orang, maka demokrasi itu adalah demokrasi yang gagal. Demokrasi menjadi “alat pembunuh dan pemecah” dalam masyarakat, maka selayaknya sistem demokrasi itu harus dipangkas dan dibuang dalam struktur dan mekanisme politik di Indonesia.

Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang harus menciptakan kesejahteraan bagi rakyat dan bukan penderitaan bagi rakyat, demokrasi yang memberikan keadilan bagi rakyat dan bukan kesengsaraan bagi rakyat, memberi kedamaian bagi rakyat dan bukan pertikaian, apalagi kerusuhan bagi rakyat, memberikan kehidupan harmonis bagi rakyat dan bukan pembunuhan dan apalagi pembantaian oleh suatu kelompok kepada kelompok yang lain karena perbedaan pendapat, perbedaan agama dan kepentingan, demokrasi yang memberikan solusi bagi persoalan negara dan bukan sumber masalah bagi system ketatanegaraan. Rakyat harus menikmati hasil demokrasi dengan kesejahteraan, kedamaian bukan rakyat menerima akibat buruk dari demorasi liberal.

Pilkada Langsung adalah sistem demokrasi yang dibangun berdasarkan sistem demokrasi liberal, sumber perpecahan dalam kondisi sosial masyarakat, oleh karena itu konsep itu ditolak secara tegas para pendiri bangsa. Tidak ada satu kalimat ataupun argument para pendiri bangsa untuk membuka peluang bagi terbangunnya sistem demokrasi langsung, bahkan bagi pendiri bangsa presiden harus dipilih dengan mekanisme musyawarah mufakat, agar yang suara rakyat tidak terbelah dan yang setuju dan tidak setuju tetap dapat menerima hasil musyawarah itu dengan lapang dada.

Inilah demokrasi Indonesia yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa, dasar negara, kepribadian bangsa, falsafah bangsa, dan berdasarkan pembukaan UUD 1945 alinea ke empat yang mengatakan “…. Kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada...” Pancasila yakni sila ke empat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Bahan diskusi aktivis Hukum Tata Negara, Senayan. 17 September 2014

Ketua Lembaga Kajian Ilmu Hukum (LKIH), Direktur Eksekutif Jaringan Analisis Strategis (Dir. Eks JAS), email: samuellengkey@yahoo.co.id.

Soejono Soekanto & Soleman Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 7.

Ibid.

Ibid., hlm. 23.

H.A.R Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 142.

Soerjono Soekanto & Soleman Taneko, Op. Cit., 135.

Jimly Asshiddiqqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 3.

Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Kaitannya dengan kondisi sosio politik zaman kuno hingga sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 258.

Ibid.

Ibid., hlm. 724.

Ibid., hlm. 730.

Ibid., hlm. 826.

Ibid.

Ibid., hlm. 908.

Ibid.

Ibid.

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 39.

Ibid.

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 168.

Ibid.

Maria Farida, op. cit., hlm 28.

Sekneg, Risalah Persidangan BPUPKI dan PPKI, (Jakarta:  Citra Lamtorogung Persada, 1995), hlm. 11.

Ibid.

Ibid., hlm. 13.

Ibid., hlm. 16.

Ibid.

Ibid., hlm. 42.

Ibid., hlm. 266

Ibid., hlm. 268

Ibid., hlm. 63.

Ibid., hlm. 77

Ibid.

Ibid., hlm. 255.

Ibid., 262.

Ibid.

Ibid., hlm. 487.

Ibid., hlm. 386.

Ibid., hlm. 385.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun