Beralih ke isu selanjutnya, di dalam cyberbullying, selain ada pelaku dan korban, juga ada pengamat (bystander).Â
Perundungan atau bullying yang terjadi di ranah online lebih mudah dilakukan daripada aksi perundungan secara langsung.Â
Media sosial memberi platform dan amunisi bullying. Pertama, semua bisa jadi bully, tidak perlu ada di tempat yang sama, bahkan tidak perlu mengenal target bullying untuk ikut membully. Kedua, internet memberi anonimitas yang memungkinkan dan bahkan mendorong orang untuk merasa bebas mem-bully tanpa takut konsekuensinya.Â
Ketiga, semuanya terjadi secara lebih dekat dan cepat, jadi untuk orang yang di-bully sangat sulit untuk menghindar, terkecuali terpaksa menghilang dari media sosial.Â
Yang perlu diingat juga adalah cara seseorang menunjukkan kekuatan yang dimilikinya, yang tak jarang juga sebagai cara untuk menutupi ketidakberdayaannya, baik di dunia nyata maupun maya. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam kurun waktu 9 tahun (2011-2019), bullying baik di instansi pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan terus meningkat. (tirto.id)
Yang terakhir, terkait literasi digital. Salah satu upayanya adalah termasuk menerapkan digital citizenship.Â
Dengan diterapkannya digital citizenship, anak-anak bahkan remaja sudah mengetahui pentingnya literasi digital yang mencakup aspek-aspek kritis lain seperti kesadaran data (data awareness), kemampuan analisis data, dan kemampuan untuk fokus (deep work) sedari dini. Karena Literasi Digital sebagai kompetensi bukan hanya kemampuan penggunaan teknologi, tapi juga meliputi kemampuan menganalisis, berpikir kritis, sampai dengan kontrol dari penggunaannya yang adiktif.
Sebagai penutup, dari poin-poin yang saya jelaskan di atas, penting bagi masyarakat menyadari betapa krusialnya isu-isu yang dibawakan dalam tren #wiiwy ini. Dari perspektif korban, pengalaman rasa traumatis dan takut bersuara, dan efek domino-nya terhadap para korban lainnya.Â
Bagaimana hal itu bisa mempengaruhi kondusivitas ruang aman kita berkelana di media sosial, ketidakjelasan hukum yang seharusnya menjadi payung perlindungan bagi mereka di luar sana, serta konsekuensi besar yang terabaikan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab.
"It took me a long time to speak. Now I have it and I'm not going to stand still because what if it was you?"
Referensi (1)