Mohon tunggu...
Samuel Benedickson
Samuel Benedickson Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Suka membaca, olahraga, bermain catur

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gugatan Masyarakat terhadap KUHP Baru

7 Desember 2022   20:50 Diperbarui: 7 Desember 2022   21:25 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah proses pembentukan undang-undang  yang akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu diperlukan pedoman sehingga produk hukum berupa undang- undang yang akan diterbitkan dapat merespon dan mengakomodir kepentingan masyarakat yang berkeadilan. 

Di samping itu suatu undang-undang yang baik harus mengandung keadilan dan kepastian sehingga tidak mudah berubah di masa yang akan datang.  Dan yang terpenting, bahwa undang-undang tersebut tidak multitafsir yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penerapannya.

Kemarin, Selasa, 6 Desember 2022 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana yang baru menjadi Undang-Undang (KHUP).

Keputusan DPR mengesahkan undang-undang  yang baru ini banyak mendapat respon negatif dari kalangan masyarakat karena dianggap pasal-pasalnya masih banyak bermasalah.


Yang banyak mendapat sorotan dari masyarakat khususnya pasal- pasal mengenai:

1. Penghinaan Terhadap Presiden
Pasal 218 ayat 1 menyebutkan "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/ atau wakil presiden, dipidana paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".

2. Penghinaan Lembaga Negara
Pada ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga Negara, dapat dipidana penjara 1 tahun dan 6 bulan.

3. Demonstrasi Tanpa Pemberitahuan
Pasal 256, "Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".

4. Berita Bohong
Pada pasal 263 ayat 1 "Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V".
RKUHP baru ini juga memuat ketentuan menyiarkan berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Sesorang yang membuat dan menyebarkan berita tersebut dapat dipidana penjara 2 tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta.

5. Hukuman Koruptor Turun
Pasal 603 RKUHP menyebutkan, bahwa hukuman koruptor paling sedikit 2 tahun dan paling lama 20 tahun penjara.

6. Pidana Kumpul kebo
Pasal 413 ayat 1 "Setiap orang yang melakukan pesetubuhan dengan orang yang bukan suami atau isterinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II". Namun demikian ancaman pidana itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang mengadukan, yakni suami atau isteri bagi orang yang terikat perkawinan. Bagi orang yang tidak terikat perkawinan yang dapat mengadukan adalah orang tua atau anak.

7. Pidana Santet
Pasal 252 ayat 1, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV".

Pasal-pasal tersebut di atas, oleh berbagai kelompok masyarakat dianggap bermasalah dan kontroversial karena mengandung potensi multitafsir dalam implementasinya sehingga dianggap dapat disalahgunakan oleh penguasa atau pihak-pihak yang berkepentingan.

Mengapa DPR nekat mengesahkan RUU kUHP Baru ini?

Walaupun banyak kritikan dari masyarakat, namun DPR dan Pemerintah tetap mengesahkan RUU KUHP menjadi UU dalam rapat paripurna DPR RI.

Menurut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, ini merupakan momen besejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri. Menurut Yasonna Laoly, "produk Belanda ini sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia".

Nampaknya DPR dan Pemerintah menganggap bahwa walaupun banyak kelompok masyarakat yang tidak setuju  terhadap RUU KUHP ini, yang penting selesai dahulu, disahkan dahulu. Yang penting jadi dulu, kalau ada masalah, itu belakangan. Apabila ada masyarakat yang menolak atau tidak setuju, silahkan ajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gampang  toh?

Padahal inti persoalannya bukan masalah boleh atau tidak boleh diajukannya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Masalah yang paling utama adalah apakah pasal-pasal yang ada di dalam KUHP Baru ini sudah jelas, tidak multitafsir?

Apakah sudah dikaji secara mendalam dari segala aspek, sehingga dalam penerapannya tidak menimbulkan multitafsir yang dapat merugikan masyarakat dan demokrasi di Indonesia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun