Terlepas dari kontroversi Ahok, saya menilai bahwa kita sebagai masyarakat Indonesia semakin tidak adil secara sosial dan cenderung memihak golongan tertentu.
Paradoks Kaum Reliji
Sisi relijius sebagian besar masyarakat dimanfaatkan sepihak oleh sebagian oknum dalam melakukan berbagai tindakan yang kita lihat bersama lebih banyak menimbulkan masalah dibanding manfaat. Doa bersama dibuat menjadi ajang pamer kekuatan. Dukungan publik dibelokkan menjadi penekan pemerintah. Semua jauh dari sisi kebaikan dan kedamaian. Yang dituju adalah mencapai yang diinginkan dan hanya yang diinginkan. Bila tidak, maka apapun itu harus dilawan.
Kalau sudah sampai pada titik ini, siapakah nila yang dimaksud dalam pantun tadi? Apakah Ahok? Atau yang lain?
Bisakah kita mengganti nila tadi dengan sebuah kata yaitu kebencian. Karena kebencian maka rusaklah persatuan kita semua. Bukankah itu yang kita lihat belakangan ini. Atas nama agama, solidaritas atau apapun itu. Nalar menjadi tumpul dan suara yang berbeda harus dibungkam. Tidak ada lagi yang bisa bicara karena sudah dalilnya. Jadi sekarang apakah membangun kebencian yang tiada henti itu adalah cerminan iman yang baik? Entahlah.
Kebencian ini kini merebak tidak hanya soal pemimpin. Apapun yang beda pasti dihantam. Bisa jadi pemerintah, teman sekerja bahkan tetangga. Contohnya hinaan tiada henti terhadap Presiden Jokowi, atau bully netizen terhadap SBY. Dan kita bisa ambil kasus terbaru tentang seorang ustad yang dipaksa turun dari pengajiannya. Bukankah itu hanyalah sebuah contoh dari berbagai kasus yang semakin menunjukkan kalau pemaksaan kehendak sudah menjadi trend disekitar kita? Haruskan begitu caranya? Tidak adakah cara lain yang lebih "santun" dan "beradab"?
Kalau dahulu ada kasta tinggi dan rendah, maka saat ini ada kasta "kawan" dan "musuh". Benar dan salah bukan hal utama. Yang penting adalah pelepasan emosi dan rasa benci yang meluap-luap. Disatu sisi mungkin berawal dari perbedaan ide politik sebenarnya, tapi kini kita melihat perbedaan itu sudah mengarah bahkan ke ideologi dan agama, Artinya demokrasi dan Tuhan pun ikut digugat. Â Lama kelamaan sakit jiwa satu bangsa.. hehehe...
Bagi saya, menerima perbedaan dengan lapang dada adalah salah satu bentuk demokrasi yang bertanggung jawab. Artinya, bisa saja saya tidak menyetujui tindakan para pembenci Ahok. Bisa saja saya tidak sependapat soal tuduhan penistaan agama yang dilakukannya. Saya lebih memilih untuk membuktikan sendiri kinerja dan hasil nyata dari pemerintahannya karena sebagai penduduk berKTP Jakarta, saya menjadi saksi langsung dilapangan.Â
Tapi apakah semua itu membuat saya menjadi seorang pembenci kaum penentang Ahok? Malah tidak sama sekali. Kita hidup di alam demokrasi. Rambut sama hitam, tapi isi kepala siapa yang tahu? Saya suka melihat kompetisi Pilkada kali ini. Sebuah sistem yang memang tidak sempurna, tapi setidaknya lebih fair dibanding demo dan berbagai unjuk rasa lainnya.Â
Hanya pencitraan? So what? Demo juga adalah pencitraan dengan resiko masalah besar menurut saya. Bagi kehidupan berpolitik masyarakat kita, saya kira kompromi masih bisa jadi solusi dibanding demo pemaksaan yang tiada akhir. Sudah masanya model unjuk kekuatan / otot ala demo jalanan tidak menjadi kebiasaan. Terkadang bisa menjadi solusi disaat darurat. Tapi kalau sudah terlalu sering malah menjadi fenomena biasa alias kurang menggigit. Lihat saja demo bela-bela sekarang? Masih ada jejak dan gaungnya di era korupsi E-KTP yang super dahsyat?
Jadi saya sendiri berkompromi dan tersenyum kalau menyaksikan makian tiada henti terhadap Ahok. Kadang saya ikut berimajinasi juga: Menurut mereka yang membuat Ahok begitu siapa? Setan atau Tuhan?Â
Â