Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sisi Gelap dan Terang Aplikasi BIGO Live

28 Agustus 2016   12:12 Diperbarui: 4 April 2017   17:49 9736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Bigo Video Chat Capture

Ketika saya pertama kali mendengar berita tentang BIGO LIVE saya tidak memiliki asumsi selain bahwa aplikasi ini sama dengan live video chat lainnya seperti Camfrog misalnya. Bahkan menurut saya aplikasi ini juga tidak memberikan keunikan baru jika dibandingkan dengan beberapa aplikasi sejenis.

Tapi setelah saya mendownload dan mencobanya beberapa waktu, pendapat saya perlahan berubah. Saya menemukan beberapa hal penting dan cukup mengejutkan seputar aplikasi ini dan model penggunaannya. Terutama dari sisi bagaimana publik memanfaatkannya. Anda bisa mengambil kesimpulan sendiri nanti. Saya hanya memberikan sedikit penjelasan menurut pendapat saya pribadi.

Mengenal BIGO Live

Aplikasi ini adalah aplikasi live broadcasting yang memberikan fitur kepada penggunanya menjadi penyiar global. Setidaknya menurut deskripsi resmi dari developer pembuatnya. Anda bisa menjadi host utama di acara pribadi anda dan berpotensi ditonton siapapun yang tertarik dan masuk ke chat room anda. Cara berpartisipasi maupun menjadi penonton di aplikasi ini sangat gampang yaitu mendownload dan meregistrasikan diri saja. Tidak ada ketentuan tambahan yang aneh dan rumit lain untuk menjadi member.

Sumber Gambar: Bigo Video Chat Capture
Sumber Gambar: Bigo Video Chat Capture
Aplikasi ini baru saja meluncur bulan Maret 2016 lalu tapi sudah mendapatkan posisi yang lumayan di Playstore misalnya menempati urutan 18 dari aplikasi terpopuler. Selain Bigo, masih ada aplikasi lain yang sejenis tapi popularitasnya masih kalah.

Hal Positif

Aplikasi seperti Bigo menjawab tantangan kebutuhan di era infrastruktur kecepatan internet tinggi yaitu streaming media. Hal ini memang sudah diprediksi sebelumnya. Anda bisa baca di salah satu artikel Kompas.com di sini.

Semakin tersedianya akses internet membuat pengguna mobile semakin dimanjakan dengan berbagai aplikasi yang bermanfaat. Sebenarnya aplikasi seperti Bigo sangat berpotensi menjadi media sharing yang terjangkau bagi publik bila diisi konten positif. Setidaknya itu yang diinginkan oleh developer.

Banyak juga pengguna yang membahas berbagai topik dan ternyata beberapa topik sepele bisa mendapatkan ratusan penonton. Tidak sedikit untuk sebuah topik yang menurut saya remeh temeh seperti: berapa sebaiknya uang saku untuk anak, kebiasaan mengupil, jenis sarapan yang disukai, dsb. 

Suka atau tidak, terkadang kita mengikuti seseorang di Bigo karena gaya dan penampilan pertunjukan yang diberikan. Oh ya, ada fitur notifikasi otomatis yang akan memberitahukan kalau pengguna yang kita ikuti acara livenya sudah dimulai. Jadi anda tidak akan kesulitan mengetahui kapan pertunjukan yang anda ingin saksikan sudah mulai “mengudara”.

Coba bayangkan kalau banyak pengguna yang bisa membagikan pengalaman, pandangan serta tips trik mengenai topik tertentu? Bukankah ini cara sharing knowledge yang lebih menarik dibanding blog biasa? Saya memahami bahwa kultur membaca bangsa kita masih rendah dan kita memahami bahwa budaya menonton jauh lebih populer dibanding membaca. Jadi tidak heran kalau aplikasi streaming menjadi salah salah satu jenis aplikasi yang digemari.

Bigo juga memiliki fitur yang bagus seperti gamifikasi. Artinya gamifikasi adalah implementasi desain game untuk aplikasi non-game. Dengan gamifikasi ini maka Bigo menerapkan sistem level. Semakin banyak aktivitas anda maka level anda akan naik sejalan dengan waktu. Aktivitas lain bisa seperti interaksi chat, pemberikan gift (seperti fitur Like pada Facebook), dsb. Hal ini juga yang membuat Bigo sangat viral.

Sayang seribu sayang, tujuan positif seperti ini tidak bisa banyak kita temukan di Bigo. Setidaknya anda akan cukup kesulitan menemukan konten positif atau setidaknya bermanfaat. Kebanyakan malah jauh dari tujuan yang baik jadinya.

The Dark Side

Seperti yang sudah kita pahami bersama, semua aplikasi selalu membawa dua dampak besar kalau tidak bermanfaat ya ada mudaratnya. Tergantung pengguna yang menggunakan. Sayangnya hal itu juga terjadi pada aplikasi Bigo ini. Dan parahnya lagi, dampak negatifnya jauh lebih besar karena tujuan penggunaan yang relatif menyimpang dari tujuan awalnya.

Oh ya, jangan salah sangka dulu. Saya membahas panjang lebar dengan tujuan agar kita lebih memahami dan bukan memotivasi anda menjadi pengguna. Saya mengganggap pembaca Kompasianer adalah orang yang memililiki orientasi dengan tujuan tidak menyimpang. Semoga.

Tujuan menyimpang itu adalah: esek-esek dan bisnis mesum. Ya, jualan konten dengan tema seks. Seperti yang kita duga, orang Indonesia tidak kalah kreatif dalam hal memanfaatkan teknologi walau untuk tujuan “memuaskan selangkangan”. 

Walau seks itu adalah fitrah manusia, tapi bila dilakukan dengan cara menyimpang maka dampaknya akan buruk. Salah satunya dengan aplikasi Bigo yang disalahgunakan oleh sebagian penggunanya sebagai marketplace untuk menjual dirinya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selain lebih aman dan nyaman, Bigo juga memberikan kesempatan kepada pengggunanya untuk mendapatkan duit. Dan cara ini pula yang semakin membuat penggunaan Bigo menjadi semakin populer walau untuk konotasi negatif.

Saya katakan aman karena pengguna yang menawarkan jasanya bisa membangun “branding” dengan mengadakan live show yang bersifat tanggung alias dengan gaya menggoda dan memberikan cara mereka untuk bisa dihubungi oleh penggemar. Tergantung kepada kantong fans, hadiah alias gift yang diterima bisa menjadi indikator kepopularitasan seorang presenter.  

Tentu seperti Anda duga, gift tersebut pasti bernilai mahal dan harus dibeli dengan duit beneran. Jadi secara tidak langsung, gift atau merchandise virtual menjadi digital currency didalam marketplace ilegal Bigo. Transaksi yang terjadi akan sulit dideteksi oleh OJK menurut saya ... hehehe.. just kidding. Selain duit recehan, juga bersifat nyaris anonim karena tidak ada koneksi langsung antara produk yang ditawarkan dengan basis data pengguna.

Dengan kata lain, kita bisa “membeli” nyaris semua “produk” yang kita inginkan. Tergantung kepada definisi produk yang anda pahami: mulai dari gift virtual, kode PIN BBM, id Line, sampai tarif kencan, dsb.

Sebenarnya tidak ada yang baru dengan kondisi diatas. Dalam aktivitas prostitusi offline juga sudah jamak keadaan seperti itu. Namun dengan aplikasi seperti Bigo, maka tingkat kenyamanan pengguna dalam mencari penyedia jasa produk menjadi jauh lebih gampang. 

Kalau yang mencari adalah laki-laki hidung belang atau pria mata keranjang masih mending. Bagaimana kalau remaja pria? Atau bahkan anak laki-laki bawah umur seperti SD misalnya? Apakah penutupan lokasi prositusi offline seperti Dolly menjadi seperti tidak ada artinya? Entahlah. Ada ironi disini menurut saya.

Selama beberapa waktu melakukan riset (setidaknya dari niat awal saya.. hehehe) tak jarang saya menemukan live show yang dilakukan oleh anak remaja putri. Setidaknya mereka masih berumur belasan tahun (dibawah 16 tahun menurut pengamatan saya). Walau konten yang diberikan bukan untuk tujuan seks komersil, tapi saya tetap terkejut melihat keberanian mereka dalam mengekspos tubuhnya ke publik. 

Dan tidak hanya 1 orang saja dalam sebuah pertunjukan tapi beberapa orang (saya pernah melihat 4 orang remaja putri bergantian). Sebagai orang dewasa, kita tentu tidak bisa menolak pemikiran: bagaimana nasib mereka beberapa waktu kedepan bila masih saja mengikuti trend seperti ini?

Dari pengamatan saya, kebanyakan pesan yang muncul sebagai feedback dari penonton di ruang video chat itu, yang muncul selalu berkonotasi mesum dan jorok. Bisa anda buktikan melihat banyaknya pesan yang bersileweran muncul ketika seorang pengguna mulai melakukan pertunjukan. 

Bila mencapai jumlah tertentu (biasanya 5000 penonton) dalam satu channel maka akan mendapatkan perhatian dari pengawas channel yang beroperasi 24 jam sehari untuk mengawasi penyalahgunaan. Dan memang channel yang ramai biasanya diramaikan dengan pertunjukan menari dan buka-bukaan.

Bila melanggar ketentuan penggunaan maka channel itu akan ditutup sementara atau bisa sampai beberapa hari (istilahnya dibanned). Tapi namanya orang yang tidak kehilangan akal. Banyak pengguna yang memiliki lebih dari satu akun disana. Jadi fitur banned kurang efektif.

Potensi Dapatin Duit

Sama seperti anda, saya berpikir: apa yang membuat Bigo menjadi populer dan ramai walau pada kenyataannya kebanyakan menjadi menyimpang dari tujuan awal yang  baik? Jawabannya tidak sesulit yang anda duga: bisa jadi sarana untuk dapatkan duit!

Jadi bisa kita ambil hipotesa: selama ada potensi aktivitas bersifat pertukaran dan ada fasilitas pendukungnya maka kemungkinan apapun bisa saja dimunculkan. Lebih detailnya beberapa penunjang argumen saya:

  1. Tersedianya sarana pertukaran (virtual merchandise)
  2. Kelonggaran menyajikan konten (visual dan audio)
  3. Level kematangan infrastruktur & aplikasi mobile

Kenapa saya memberikan virtual merchandise nomor 1 dan bukan level kematangan? Saya coba paparkan disini:

Pengguna mobile di Indonesia sangat masif dan semua perusahaan telco lokal berlomba membangun infrastruktur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dan menurut saya sudah cukup berhasil. Pada tataran ini, dampak positif sangat terasa, terutama bagi penyebaran aplikasi. Tentu saja berdampak terhadap industri pengembangan aplikasi secara keseluruhan baik global maupun lokal.

Kita naik ke poin berikut yaitu kelonggaran menyajikan konten. Perbedaan utama antara Skype dan Bigo adalah tujuan penggunaan dan target konsumen yang disasar. Skype secara tidak langsung berbeda segmen dengan pengguna Bigo walau sebenarnya tetap bisa digunakan untuk tujuan yang menyimpang juga. 

Kondisi serupa sama seperti aplikasi Facebook Live atau Periscope dari Google misalnya. Relatif segmen penggunanya tidak  melakukan hal yang jauh menyimpang seperti yang terjadi pada segmen pengguna Bigo. Kalangan bisnis menggunakan Skype, publik bisa memilih Facebook Live untuk jaringan pertemanan yang sudah ada atau kontak keluarga bisa memilih Periscope. 

Bahkan Youtube juga tidak mau kalah mengeluarkan Youtube Streaming walau masih beta, dan seperti yang kita duga pasti banyak iklan sebagai salah satu cara mendapatkan pemasukan. Tapi penyedia aplikasi lain tidak selengkap Bigo dalam menerapkan gamifikasi, leveling, dan yang utama: virtual merchandise. 

Hebatnya lagi, jargon yang diusung Bigo ditujukan untuk 2 poin bagus: fashion dan young generation. Dua segmen yang market sizenya sangat besar serta sudah pasti tidak gaptek dan ikuti trend.

Lalu bagaimana Bigo mendapatkan pemasukan? Selain dari iklan sponsor, fitur virtual merchandise-lah yang menjadi penentu disini. Dengan memberikan keleluasaan membelinya, maka pengguna bisa bebas memberikan hadiah (gift) kepada presenter yang dia sukai. 

Dan seperti kebanyakan virtual merchandise, segera muncul pasar sampingan yang malah sangat ramai untuk pertukaran dari virtual merchandise ke uang tunai. Secara resmi developer Bigo memang memberikan fitur ini dan mendapatkan keuntungan yang besar.

Alih-alih hanya jual beli virtual merchandise, secara tidak langsung developer Bigo menjadi penyedia jasa pasar valuta “mesum” hehehe... Jadi para pengguna yang menyajikan live show kini bisa menukarkan hadiah yang didapat dari penonton menjadi duit tunai. 

Semakin banyak hadiah diterima maka akan semakin besar pula potensi keuntungan bila ditukarkan. Saya tidak akan membahas nilai pertukarannya disini. Anda bisa jadi malah sibuk menghitung berapa keuntungan yang bisa didapat dari jumlah gift yang diterima.

Kini Anda paham bukan: Semakin seronok maka akan semakin tenar dan penonton pun semakin banyak. Banyaknya penonton berhubungan langsung dengan besarnya kemungkinan hadiah yang bisa didapat, apalagi dari fans berat yang sudah akrab dan relatif berkantong tebal (atau siapapun yang jadi korban eksploitasi karena tak bisa menahan nafsu?). Semakin banyak hadiah didapat, apalagi jenis tertentu yang nilainya sangat besar maka duit pun makin besar masuk.

Selain menjajakan penampilan dan mempertukarkan dengan hadiah virtual, cara ini juga ternyata digunakan untuk menseleksi pelanggan yang berkantong tebal. 

Dengan kata lain, kalau fans itu berani memberi hadiah “mahal” dan bernilai tinggi maka otomatis masuk ke level pelanggan khusus alias VIP. Cara ini pula yang saya sebut dengan aman karena penjaja seks tidak selamanya dari kalangan pelacur profesional tapi banyak dari kalangan umum. Jadi tingkat keyakinan dan pengenalan bertambah dengan sendirinya sesuai dengan jumlah hadiah yang dipertukarkan. Efisien bukan? Edan!

Penutup

Secara sederhananya, saya menyimpulkan bahwa fasilitas mengakses pornografi dan pornoaksi bagi generasi muda kita saat ini memang sangat mudah. Terserah bagi kita kalangan orang tua, dewasa, berwewenang untuk menyikapinya.

Banyak yang bersikap skeptis tapi banyak pula yang bersifat optimis. Karena ini adalah artikel publik, saya menyerahkan kepada pembaca untuk berkomentar dan bereaksi.

Yang saya tekankan adalah sudah banyak upaya yang sudah dilakukan seperti dengan pemblokiran situs porno oleh Kominfo, pembuatan aplikasi lokal yang lebih sesuai dengan kultur Indonesia, dsb. Tapi tampaknya masih kurang dan kita harus memiliki strategi dan rencana yang lebih adaptif dalam mengatasi dan meminimalkan dampak negatif seperti ini.

Mungkin bermula dari keluarga anda di rumah? Komunikasi dan keterbukaan? Entahlah.. kalau itu sudah seharusnya menjadi kesadaran kita semua. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun