Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pesimis dengan Gerakan 1000 Startup?

21 Agustus 2016   22:28 Diperbarui: 22 Agustus 2016   09:53 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang unik dari pemaparan Bung Joshua sebenarnya. Dari artikel di FB tersebut, dia banyak mengambil referensi dari berbagai perusahaan startup kelas dunia. Dari satu sisi memang menarik dan menginspirasi, tapi ada sisi lain yang perlu kita kalkulasi juga: Kondisi di Indonesia berbeda. Bukan sebagai alasan, tapi lebih kepada agar kita bisa menerima bahwa kondisi di Indonesia masih masuk  fase premature. Saya akan ceritakan kenapa saya bisa menarik kesimpulan akan hal itu.

Di awal bulan Agustus 2016 lalu saya kedatangan tamu dari China. Seorang utusan dari perusahaan game publisher yang tertarik untuk  bekerjasama dan mencari partner di Indonesia. Singkat cerita, kami berdiskusi panjang. Dari pemaparannya, nampak bahwa untuk kelas industri regional dengan China sekalipun, kita masih ketinggalan secara teknologi dan proses sekitar 5-6 tahun dibelakang mereka. Padahal menurut kajian praktis, dari sisi pelaku dan sebaran teknologi, Indonesia tidak kalah jauh. Tapi tidak selamanya kajian itu bisa menjelaskan ada faktor X yang ikut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan indutri gamedev lokal.

BTW, game development baik dari sisi praktisi maupun kurikulum adalah anak tiri dibanding segmen industri kreatif lainnya. Selain anak tiri, juga jadi kambing hitam dengan tudingan menyebabkan kecanduan dan berbagai dampak negatif lainnya. Percayalah, saya benar-benar mengetahui dan mengalaminya sendiri. Jika software developer sudah cukup sulit, maka bayangkan dengan developer game yang memang selalu berkutat dengan deadline, pasar lokal yang belum bisa menjadi penyokong bisnis, selera publik yang masih berorientasi luar negeri, dsb.

Berbicara mengenai validated learning dan production/pipeline management, game development adalah salah satu bidang yang sejak awal sudah akrab dengan itu semua. Bahkan ketika konsep Lean Management belum menjadi rujukan di industri startup, industri gamedev sudah menerapkan konsep sejenis hanya nama dan konsepnya saja belum dikenal akrab. Tapi saya bukan hanya membahas kemiripan gamedev dengan software development ala pemaparan Bung Joshua, melainkan menitikberatkan pada masalah apa yang sebaiknya bisa dilakukan, tetap dilakukan dan apa yang bisa diubah. Terkesan dari pemaparan Bung Joshua bahwa seharusnya pemerintah bertindak ini dan bertindak itu. Hehehe... mungkin pengalaman Bung Joshua belum banyak dalam hal kerjasama bersama orang-orang pemerintahan.

Jujur saja: Kalau pemerintah bermimpi saja menurut saya sudah bagus. Daripada beberapa tahun lalu yang jangankan mendukung dan hanya menoleh sedikit, malah terkesan ngga sepenuh hati. Tapi seperti yang saya katakan: beri waktu dan nikmati prosesnya. Kalau tidak sabar maka silahkan terjun berpartisipasi langsung dan alami sendiri betapa kecepatan ide berpikir sering tidak selaras dengan kecepatan adaptasi budaya.

Ya, saya termasuk barisan yang tidak sabar itu. Itu pula alasan saya meninggalkan sementara waktu profesi pengajar dan bekerja fulltime sebagai pimpinan di inkubator startup milik Telkom di kota Jogja. Saya tidak menyukai kurikulum yang kaku dan sering merasa frustasi jika melihat perkembangan yang lambat diserap di kampus. Tapi alih-alih protes, saya mengambil aksi terjun langsung sebagai mentor startup dan sebagai pimpinan di Jogja Digital Valley saya lebih bisa mengambil peranan serta menjalankan program yang lebih tepat sasaran.

Di inkubator ini saya bisa melihat kegiatan dan budaya startup lokal yang masih jauh dari ideal. Saya juha melihat  geliat komunitas kreatif yang terus mencari bentuk dan tentu peran para akademisi yang juga tidak kalah berperan walau kondisi kampus belum mendukung seperti yang diharapkan. Percayalah bung, bukan mudah membuat semuanya berjalan selaras apalagi seimbang. Dan pada kenyataanya dunia bisnis memang jarang berjalan dengan sesuai dengan idealisme.

Menyadari kekurangan dan memahami kesenjangan adalah satu hal penting. Tapi bila sudah sampai ke taraf itu, bukankah sebaiknya apa yang bisa dilakukan dan seharusnya dibuat adalah langkah yang logis? Dan siapa yang memulainya kalau tidak dari pengamat itu sendiri bukan?

Pada akhirnya, sebagai penggiat startup, selain sudah harus siap dengan kondisi ekstrim, sudah sewajarnya sebagai individu kreatif harus selalu mencari cara yang paling cocok untuk meraih keberhasilan. Terlepas dari ketidaksiapan ekosistem disekitar kita, sebenarnya yang menjadi kendala terbesar dari sebuah startup adalah mindset startup itu sendiri: Apakah harus menunggu semua siap dahulu, atau sebaliknya membuatnya menjadi lebih siap?
 

Kalau kita hanya bisa misuh-misuh, menyalahkan sana-sini, komentar negatif dan selalu melihat kekurangan dari pihak lain, maka apakah itu sebenarnya mental wirausaha sejati? Bukankah sebagai wirausahawan malah bertugas mencari jawaban yang bisa menjawab ditengah ketidakpastian? Persepsi saya ini bukan sebuah gaya optimis tanpa dasar. Tapi lebih kepada melihat adanya peluang ditengah ketidakpastian berbagai variabel industri startup. Kesempatan akan selalu bisa ditangkap bagi yang selalu siap dan mau menunggu, apalagi yang berpartisipasi langsung...


Catatan:

  • Artikel ini juga ditulis di website pribadi penulis.
  • Juga sebagai artikel peringatan ulang tahun Jogja Digital Valley ke-3 (link fanpage JDV di FB)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun