Namun, saya menduga bahwa kejadian seperti ini memang tidak akan menarik minat pihak yang berkepentingan karena mereka memang tidak merasa penting untuk menangani masalah itu. Kecuali...
Kecuali jika publik bereaksi keras dan menaikkan topik itu ke publik dengan berbagai cara. Salah satunya seperti yang dilakukan netizen lain dengan menshare dan memancing reaksi publik atau netizen lainnya. Tapi itu hanya efek awal saja. Apakah cukup kuat? Semoga.Â
Namun kita semua menyadari bahwa ada anomali ditengah masyarakat Indonesia bukan? Masyarakat kita lebih sering heboh untuk topik yang cenderung sensasional nanun tidak esensial. Kalau beritanya bisa mengaduk emosi publik maka layak disebar dengan masifnya.
Beberapa kejadian memang berhasil dengan cara demikian. Masih ingat heboh kasus warteg Serang? Itu hanya salah satu contoh suksesnya. Lalu bagaimana dengan kasus bulying seperti ini? Apakah tidak layak dinaikkan karena hanya menimpa seorang remaja putri? Ahh... sudahlah. Kan hanya aksi remaja saja. Nggak usah dibesar-besarin deh...
Mungkin banyak dari kita yang tidak menganggap masalah bullying seperti ini serius. Sayangnya, data statistik yang bisa kita peroleh mengenai tingkat kejahatan remaja juga minim. Belum lagi kita sebagai orang tua sudah disibukkan dengan kerja demi menghidupi keluarga. Lengkap sudah beban itu, jadi masalah seperti ini lebih mudah dianggap angin lalu saja, Nanti juga akan dilupakan kok...
Seorang ayah bisa saja berdalih sudah sangat sibuk dengan mencari nafkah, sang ibu bisa mengelak kelelahan mengurus rumah tangga, jadi sang anak harus bisa mengurus masalahnya sendiri. Toh dia tidak luka kok, hanya dilempari telur sambil diikat dan dibully dengan kata-kata ejekan. Semua anak juga pasti pernah mengalami hal seperti itu.
Pikiran saya tidak bisa melepas ingatan yang muncul kembali akan ide dan gagasan dari Mendikbud tentang sekolah ala fullday. Sekilas saya melihat ide itu menarik untuk kejadian bullying seperti ini. Mungkinkah itu bisa menjadi jawaban? Adakah jaminan kalau para remaja tadi tidak akan berbuat sama jika sekolah dengan model yang dicanangkan oleh Mendikbud? Saya pribadi tidak percaya dengan hal itu.Â
Sekolah seharusnya menginspirasi dan bukan mengekang. Sekolah hanya salah satu area belajar dari anak, bukan seluruhnya. Dan selain di sekolah, kehidupan dan interaksi di rumah serta lingkungan tidak kalah pentingnya bagi anak.
Bila pihak sekolah berdalih hanya diberi tugas mengajar siswa, sementara orang tua mengelak dengan dalih keterbatasan dan kesibukan, lalu pihak yang berwewenang malah tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan, lalu apa yang akan terjadi?Â
Seperti analogi setiap hari bekerja di sawah sembari berharap buah apel tumbuh. Ya, seperti fatamorgana saja. Hukum tabur tuai berlaku universal. Sayangnya, kita masih dibuai impian yang absurd. Berharap yang bagus muncul dari anak-anak kita ini, namun perhatian dan aksi kita terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka masih kurang dan minim.
Bukankah tugas kita sebagai orang tua salah satunya adalah KHAWATIR? Ya, selalu khawatir dengan anak-anak kita? Mulai dari kebutuhannya, perkembangan sehari-hari sampai masa depannya? Jika anda adalah orangtua, saya yakin bahwa sifat paranoid sedikit banyak muncul sendiri bukan? Tidak hanya ibu, tapi ayah juga. Naluri sebagai pelindung akan muncul secara langsung.Â