Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kekuatan Netizen di Kasus Warteg Serang

12 Juni 2016   01:06 Diperbarui: 12 Juni 2016   03:07 3478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: www.kompas.com - KompasTV

Mungkin anda sudah mengetahui berita terbaru seputar kasus seorang ibu pedagang warteg di Serang yang menjadi berita heboh karena dagangannya diambil Satpol PP ketika mengadakan razia. Jika belum, bisa anda baca berita terbaru yang saya dapatkan ketika akan menuliskan artikel ini di sini. Kembali lagi gerakan netizen menunjukkan kekuatannya dengan berhasil mengumpulkan uang senilai lebih dari 176 juta rupiah hanya dalam beberapa hari saja.

Terlepas dari kontroversi aturan di Serang yang melarang warung berjualan di bulan puasa, tulisan saya ini lebih menekankan kepada aspek penggunaan teknologi, dalam hal ini media sosial, sebagai wadah untuk menggerakkan massa. Jika anda perhatikan dalam artikel berita itu dikatakan bahwa seorang netizen bernama Dwika Putra (Twitter: @dwikaputra) menggagas secara spontan gerakan donasi itu begitu melihat kejadian di televisi.

Kekuatan Sosial Media

Gerakan donasi ini sekali lagi menunjukkan bahwa media sosial seperti Twitter mampu menjadi wadah bagi netizen dalam mengumpulkan empati dan gerakan sosial terhadap satu isu yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Jika selama ini kita lebih terbiasa dan aktif bergerak dengan gosip serta isu politik, kini kita bisa melihat satu aspek lain yaitu aspek sosial dan humanis yang bisa menggetarkan nurani banyak orang.

Sekilas ada yang mengatakan bahwa isu seperti ini sudah pernah terjadi. Ingat kasus TKI yang dihukum gantung di Arab Saudi? Kisahnya berakhir dengan terlepasnya satu TKI yang pada akhirnya menerima donasi milyaran rupiah. 

Pendek cerita, kisah itu menjadi ledekan publik karena akhirnya sang TKI memanfaatkan donasi tersebut menjadi harta yang dinikmati sendiri dan menjadi sorotan publik yang menyayangkan hal itu. Apakah akan terjadi lagi saat ini dengan kasus warteg serang? Tidak ada yang tahu pasti. Saya kira, penggagas donasi juga sudah berpikir tentang hal itu. Mari kita berpikir positif dalam hal ini.

Kesamaan kedua kasus itu ada pada empati dan simpati publik. Dalam hal ini liputan media ikut membesarkan efeknya. Tapi ada yang berbeda yaitu jika pada kasus pertama pelaku adalah pemerintah Arab Saudi, pada kasus warteg pelaku adalah pemda kota Serang yang diwakilikan dengan Satpol PP yang bergerak di lapangan. Keduanya mewakili pihak yang berwewenang. Dan apa respon publik? Menolak dan melawan. Caranya? Ya melalui gerakan donasi tersebut. Jumlah ratusan juta yang dikumpulkan dalam beberapa hari bisa menjadi indikator awal yang cukup signifikan menurut saya.

Kasus donasi spontan seperti ini bisa menjadi contoh kasus yang menambah bukti bahwa sosial media bisa menjadi wadah penggerak massa yang tidak hanya sekedar menjadi "corong suara" saja seperti kebanyakan kasus. Tapi lebih kepada gerakan nyata yang bisa dikuantifikasi dengan nilai uang yang dikumpilkan.

 Walau masih bisa diperdebatkan, namun kasus ini layak untuk dikaji para peneliti perilaku sosial untuk melihat perkembangan masyarakat menengah kita dalam menyikapi isu sosial yang sensitif.

Netizen: Politik atau Nurani?

Yang menarik dari gerakan donasi ini adalah, apakah donasi yang dikumpulkan ini bisa dikatakan sebagai gerakan murni berdasarkan empati dan simpati? Atau akan bergeser dengan sendirinya ke ranah politik? Saya kira pendapat ini tidak asal muncul di benak kita jika melihat berbagai kasus media sosial lainnya seperti kasus Teman Ahok, Ahmad Dhani & Ratna Sarumpaet, dsb. Selalu ada pro dan kontra untuk setiap isu sosial, apalagi bila menyangkut isu SARA seperti pada kasus warteg diatas.

Bila anda melihat di linimasa FB anda atau teman anda yang berisikan berita kasus warteg tersebut, kebanyakan bisa dilihat bahwa netizen mengecam keras aksi razia tersebut. Banyak yang bahkan menuding kalau razia tersebut berlebihan dengan berbagai alasan. Tapi ada juga yang membela razia tersebut karena sebenarnya aturan itu sudah ada lama. 

Kini suara pro dan kontra menjadi terpecah antara aturan pemda yang sudah berlaku beberapa tahun melawan suara netizen yang muncul setelah melihat aksi razia yang dianggap tidak manusiawi.

Wajar bila aturan daerah ditegakkan dan pelakunya memang dilindungi oleh aturan yang sudah disepakati oleh pemerintah daerah dan pejabat yang berwewenang. Lalu kenapa sekarang meledak? Kenapa setelah sekian lama? Apakah selama ini kasus seperti ini sudah berulang kali terjadi dan akhirnya terekspos ke media sehingga membuat banyak kalangan bereaksi? Saya tidak tahu pasti. Seperti yang saya katakan, selalu ada pro dan kontra. Kita bisa saling beradu argumentasi sampai lama untuk hal-hal seperti ini. 

Tapi ketika kita melihat dengan hati nurani, maka reaksi netizen bisa dipahami. Bukan hanya sekedar latah atau ikut arus, saya melihat gerakan donasi seperti ini memiliki nuansa lain. Ada rasa kebersamaan melawan kesewenang-wenangan. Artinya, mungkin secara aturan memang betul ada peraturan yang melarang dan bisa jadi pedagang sengaja membuat berbagai alasan agar bisa mengelabui. 

Tapi ketika media mengekspos aksi razia, hati nurani tidak bisa dilawan kalau cara Satpol PP terhadap ibu pedagang warteg itu dirasa berlebihan dan menyakitkan hati.

Seorang wanita tua, menangis mempertahankan dagangannya ketika dirazia. Otomatis semua bersimpati dan menganggap bahwa aksi itu tidak manusiawi. Kenapa tidak berani menyentuh restoran cepat saji yang besar tapi tetap buka? Bisa jadi ibu itu membuka untuk orang yang tidak puasa? Masih banyak lagi suara hati yang semakin membuat orang yang menonton aksi razia semakin kesal dan marah. 

Relevan atau tidak suara-suara itu dengan kondisi nyata, persepsi publik sudah terbentuk, Benturan pendapat semakin mengerucut dan siapa tahu efeknya ke daerah lain?

Visual memang tidak bisa terkalahkan. Lalu munculah reaksi yang dituangkan dalam bentuk informasi yang disebar melalui media sosial. Sebaran dan kekuatannya semakin membesar dan meluas. 

Kini aturan menjadi lawan dari nurani. Siapakah yang menjadi korban? Pedagang warteg atau Satpol PP yang hanya menjalankan tugas? 

Kita Sebagai Agen Perubahan

Saya melihat munculnya trend netizen menjadi agen perubahan. Hanya dibutuhkan sebuah gadget/tools teknologi dan keinginan untuk mengubah keadaan yang dirasakan tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Dengan bermodalkan sebuah handphone misalnya, seseorang bisa merekam aksi pungli oknum yang tidak bertanggung jawab, bisa merekam perlakuan rasis dan penyiksaan. Tentu tidak ketinggalan aksi negatif lainnya seperti merekam aksi seks yang sama sekali jauh dari kewajaran atau pamer menyiksa binatang misalnya. Manusia selalu memiliki berbagai sisi. 

Di media sosial kita bisa melihat perubahan perilaku masyarakat disekitar kita sebenarnya. Lunturnya berbagai sikap yang selama ini diyakini atau kita anggap sebagai sifat warisan budaya dari masyarakat kita, tapi sejalan dengan perkembangan jaman malah sudah luntur jauh.

Teknologi banyak digunakan sebagai lahan pelampiasan emosi, dendam dan kelainan jiwa yang sulit ditemukan di dunia nyata. Bukti kalau penyakit jiwa semakin banyak di Indonesia. Hehehe... lihat saja haters and lovers dari Ahok misalnya. 

Terkadang argumentasi kedua belah pihak sudah masuk ke ranah absurd karena sudah jauh dari realita yang diperdebatkan sejak awal. Tapi itulah realitas media sosial saat ini. Sampai muncul kejadian seperti razia warteg di kota Serang yang sedikit banyak mengubah persepsi saya bahwa ternyata masih ada nurani publik kita.

Walau pemberian dana, baik besaran maupun sistemnya, masih bisa diperdebatkan - lihat saja nanti, seperti biasa akan selalu jadi berita juga - aksi donasi seperti ini bisa dikatakan menjadi satu contoh kasus kepada publik: bahwa jika ingin melakukan perubahan maka bisa gerakan itu bisa dimulai dari media sosial dengan spontan. 

Memang tidak ada yang bisa menjamin akan berhasil, tapi setidaknya sebuah ide bisa dilakukan dengan lebih cepat dan hasilnya jauh lebih instan dibanding jika melalui metode lain. Atau cara seperti ini akan menjadi trend kedepannya?

Nah, apakah anda sudah membuat aksi di lingkungan anda sendiri dan membagikannya ke publik? Siapa tahu, ide dan suara anda bisa mengubah kondisi menjadi lebih baik? Semoga...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun