[caption caption="Ilustrasi: blog.stack.fm"]
[/caption]Ketika video seorang siswi SMA yang melawan petugas Polwan yang mengaku sebagai putri dari petinggi kepolisian sembari mengeluarkan gertakan menyebar ke dunia maya, sontak netizen bereaksi dengan keras. Berbagai kecaman dan cercaan muncul dan langsung menyerang siswi tersebut.Â
[caption caption="Sumber gambar: dok.Tribun Medan"]
Tidak ada niat netizen untuk membuat bullying dengan akibat sejauh itu. Bahkan banyak diantara netizen tidak sadar bahwa yang dilakukannya dapat dikategorikan sebagai bullying. Saya yakin bahwa semua hinaan dan cercaan lebih ditujukan agar membuatnya kapok dan menyadari kesalahannya. Dalam artian secara niat memang baik. Sayangnya kenyataan dan akibatnya tidak selalu demikian.Â
Kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi dengan berbagai kasus. Seorang individu melakukan sebuah aksi, baik offline maupun online, aksi itu terekam baik gambar atau video yang kemudian tersebar di internet, terlepas dari tindakan si pelaku sendiri atau pihak lain. Hasilnya? Hujan kecaman yang sangat deras, bahkan kita sendiri bingung mengartikannya: apakah itu kritikan, masukan atau hinaan?
Artikel ini saya tulis sebagai bentuk refleksi dari kejadian tersebut. Juga dari berbagai kasus lainnya yang mirip dengan akibat yang fatal. Salah satu tulisan saya tahun lalu, tepatnya bulan Juli 2015 membahas secara spesifik dengan model yang berbeda. Judulnya: Status Facebookmu ya Harimaumu!. Itu adalah contoh kasus online.Â
Kalau kasus  siswi SMA ini adalah kasus offline, tapi penyebaran dan respon yang diterima kebanyakan dari ranah online. Artikel ini sebagai gambaran bahwa akan selalu ada orang yang tidak bisa bertanggung jawab dengan kelakukannya. Lantas kemudian muncul kejadian buruk dan akibatnya terlalu berat untuk ditanggung.
Lalu apa yang akan kita bahas? Saya memilih membahas mengenai teknologi sebagai pisau bermata dua. Sebagai tools, teknologi tampaknya membuat kita semakin diam bukan? Dalam artian lebih memilih tidak banyak bicara dan berkomunikasi langsung secara personal. Lihatlah orang di sekeliling anda misalnya. Sebagai contoh waktu di lokasi publik seperti cafe atau restoran, berapa orang yang berbicara secara kontinyu tanpa memegang handphone dan sering mengetikkan sesuatu di handphonenya? Bagaimana dengan di tempat lain?
[caption caption="Ilustrasi: flickr.com"]
Dengan teknologi, batas waktu dan jarak tidak lagi menjadi masalah komunikasi yang rumit. Sekarang menghubungi saudara yang sedang berada di belahan dunia pun sudah dengan mudah dilakukan dan dengan biaya yang sangat murah. Tak terbayangkan bila mengingat satu atau dua dekade yang lalu ketika sambungan interlokal masih menjadi layanan cukup mahal buat semua orang. Tapi apakah teknologi semakin membuat kita mudah berinteraksi atau tidak?
Sayangnya teknologi tidak membuat kita semakin mudah dan nyaman berkomunikasi. Dalam artian kita semakin sulit untuk nyaman berbicara dengan komunikasi langsung. Penggunaan teknologi secara mendalam semakin membuat kita terhanyut dengan keasyikan tersendiri yang pada akhirnya sering membuat kita lebih nyaman menggunakan teks dan email. Apakah anda masih ingat kapan terakhir kali anda berbicara lama baik secara langsung atau telepon?
Mungkin - ini hanya opini saya pribadi - generasi muda saat ini sudah terlalu tergantung dan terbiasa berkomunikasi dengan media teknologi sehingga sulit berkomunikasi dengan normal. Mereka lebih memilih menggunakan tombol keyboard dan mouse serta jarinya daripada mulutnya. Etika pergaulan umum, tata krama, serta batas kewajaran dalam berbicara, baik mengkritik maupun berargumen, sering tidak dipahami atau dikuasai dengan baik. Hasilnya? Ya seperti yang banyak kita temukan disekitar kita saat ini. Tidak ada lagi standar baku atau rujukan umum. Kebanyakan memilih gaya dan seleranya sendiri. Dan benturan pun tidak terelakkan.
Banjirnya informasi dan kebebasan akses juga ikut menyumbang berbagai pemikiran yang dulu dianggap tidak baik menjadi lebih diterima. Bahkan digandrungi. Aliran liberal, radikal, sampai tindakan menyimpang tidak lagi dianggap tabu. Sebagian memuja dengan berbagai alasan tersendiri yang tidak masuk nalar umum. Kehidupan di tempat lain menjadi acuan dan gaya yang ditiru terlepas dari persepsi baik atau buruk. Jurang pemahaman antar generasi pun semakin melebar, seperti semakin berbedanya kalangan umat beragama dibanding kaum hedonis. Atau kalangan pro hukum vs anarkis. Dan masih banyak lagi.
Selain manfaat teknologi yang banyak membantu kegiatan manusia, ada penyimpangan yang sangat jauh dampaknya yaitu penggunaan teknologi untuk menghakimi orang lain.
Dengan teknologi kita memang bisa memoles dan mengukir diri kita sesuai dengan yang kita inginkan. Semuanya dapat dilakukan dengan relatif mudah bila dilakukan online dibanding offline. Kita bahkan bisa memfokuskan diri ke bagian yang spesifik. Misalnya menampilkan foto diri yang menarik tapi menyembunyikan sifat buruk kita yang sebenarnya. Menampilkan lingkungan yang hebat melebihi kenyataan sekeliling. Bukankah pada akhirnya fantasi dan ilusi itu bisa berpengaruh kedalam keseharian kita? Apakah kita mampu menanganinya dengan baik atau tidak?
[caption caption="Sumber gambar: amosh.com"]
Banyak individu yang bertindak demikian bukan berniat untuk dikecam dan dihina. Tapi betapa jauhnya antara keinginan pikirannya dengan kejadian yang muncul bukan? Siapakah yang bersalah disini? Sang individu atau lingkungan yang merespon tindakannya?
Berkaca dengan kasus siswi SMA tadi, tidak perduli apakah kita bertindak secara online atau offline, jika aktivitas kita terekam oleh orang lain maka kemungkinan untuk dapat reaksi dari orang lain sudah diambang mata. Apalagi jika perbuatan itu buruk, sedangkan perbuatan baik saja tetap ada yang mengecam dengan segala tudingan dan tuduhan yang tidak berdasar seperti pencitraan, munafik, dsb. Â Kenapa bisa demikian? Ya seperti yang saya bahas sebelumnya.Â
Teknologi membuat banyak diantara kita menjadi tidak paham berkomunikasi dengan benar. Banyak dari kita yang mengira bisa bersembunyi dibalik ikon gambar  atau data diri palsu yang dibuat dengan sengaja. Atau kita bisa mengelak mengakui kata-kata yang kita ketik dengan alasan bukan saya atau account saya dihack atau semacamnya. Tapi berapa banyak dari kita yang sadar, begitu sudah ada di internet maka semuanya relatif akan berada disana selamanya? Setidaknya untuk jangka yang sangat panjang!
Sepertinya banyak diantara kita menyamakan dunia offline seperti dunia online. Semudah mengklik mouse atau semudah mengetik tombol, semudah itu pula kita bereaksi terhadap apapun yang kita tidak sukai. Reaktif dan spontan. Tanpa memikirkan akibatnya lebih panjang. Apalagi memikirkan cara yang lebih elegan untuk melakukannya.Â
Reaksi kita jadi lebih mirip seperti mesin, lebih mirip tombol mekanik tepatnya, kalau tidak ON ya pasti OFF. Kalau tidak suka ya benci. Kalau tidak memuji ya menghina. Tidak ada kenetralan atau bentuk lainnya. Sulit menemukan sifat manusiawi belakangan ini di berbagai komentar netizen bukan? Contohnya seperti kalangan hater dan lover dari tokoh politik negeri kita misalnya.
Sayangnya, teknologi pula yang membuat semua "suara" sangat mudah menyebar. Ketika sebuah berita buruk atau baik menyebar, maka gelombang berikutnya akan muncul sesuai dengan pemicunya. Sering pula gelombang berikut malah tidak sesuai dengan awal. Dalam arti, semakin membuatnya jauh dari kebenaran.Â
Sering bertambah panjang, bertambah ngeri, bertambah sadis, bertambah kasar sampai bertambah jumlah pelakunya. Efek reaktif tadi menghasilkan manusia yang langsung otomatis mengklik tombol LIKE misalnya atau yang lebih jauh malah membagikannya (SHARE) tanpa membaca isi berita/link secara menyeluruh. Jika berita itu memancing kehebohan maka wajib untuk dikomentari atau disebarkan. Kebenaran tidak lagi menjadi tujuan utama. Narsis dan eksis menjadi alasan lebih penting. Kekinian menjadi pilihan.
[caption caption="Sumber gambar: amosh.com"]
Tanpa sadar melalui teknologi kita lupa bahwa kita seharusnya menggunakan teknologi sebagai alat komunikasi dua arah (diskusi dan kritik bersama, debat argumentatif, dsb) dan bukan satu arah (menghujat atau menghina tanpa melihat permasalahan secara keseluruhan apalagi mendengar respon yang balik).
Sulitkah kita melakukan imajinasi seperti ini: ketiklah (ucapkan, jelaskan) yang ingin anda sampaikan dengan membayangkan anda berbicara langsung kepada orang tersebut. Apakah orang itu bisa menerimanya dengan baik? Mengerti sepenuhnya maksud anda? Atau sebaliknya?
Jika tidak, lalu apa tujuan anda menulis demikian? Apakah anda paham bahwa tanpa sadar anda sudah menghakimi? Dan apakah kita tahu apa dampaknya? Tidak adakah cara lain yang bisa digunakan selain cara seperti itu?
Semoga tulisan saya ini bisa membuat kita masing-masing menggunakan teknologi dengan lebih baik, terlebih karena menyadari bahwa teknologi sebagai tools lebih bertindak seperti pisau. Jika kita mahir menggunakannya  maka akan bermanfaat, jika tidak maka akibatnya bisa buruk biarpun kita ingin menggunakannya dengan benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H