Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kritik dan Teknologi: Pisau Bermata Dua

8 April 2016   02:25 Diperbarui: 8 April 2016   07:29 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin - ini hanya opini saya pribadi - generasi muda saat ini sudah terlalu tergantung dan terbiasa berkomunikasi dengan media teknologi sehingga sulit berkomunikasi dengan normal. Mereka lebih memilih menggunakan tombol keyboard dan mouse serta jarinya daripada mulutnya. Etika pergaulan umum, tata krama, serta batas kewajaran dalam berbicara, baik mengkritik maupun berargumen, sering tidak dipahami atau dikuasai dengan baik. Hasilnya? Ya seperti yang banyak kita temukan disekitar kita saat ini. Tidak ada lagi standar baku atau rujukan umum. Kebanyakan memilih gaya dan seleranya sendiri. Dan benturan pun tidak terelakkan.

Banjirnya informasi dan kebebasan akses juga ikut menyumbang berbagai pemikiran yang dulu dianggap tidak baik menjadi lebih diterima. Bahkan digandrungi. Aliran liberal, radikal, sampai tindakan menyimpang tidak lagi dianggap tabu. Sebagian memuja dengan berbagai alasan tersendiri yang tidak masuk nalar umum. Kehidupan di tempat lain menjadi acuan dan gaya yang ditiru terlepas dari persepsi baik atau buruk. Jurang pemahaman antar generasi pun semakin melebar, seperti semakin berbedanya kalangan umat beragama dibanding kaum hedonis. Atau kalangan pro hukum vs anarkis. Dan masih banyak lagi.

Selain manfaat teknologi yang banyak membantu kegiatan manusia, ada penyimpangan yang sangat jauh dampaknya yaitu penggunaan teknologi untuk menghakimi orang lain.

Dengan teknologi kita memang bisa memoles dan mengukir diri kita sesuai dengan yang kita inginkan. Semuanya dapat dilakukan dengan relatif mudah bila dilakukan online dibanding offline. Kita bahkan bisa memfokuskan diri ke bagian yang spesifik. Misalnya menampilkan foto diri yang menarik tapi menyembunyikan sifat buruk kita yang sebenarnya. Menampilkan lingkungan yang hebat melebihi kenyataan sekeliling. Bukankah pada akhirnya fantasi dan ilusi itu bisa berpengaruh kedalam keseharian kita? Apakah kita mampu menanganinya dengan baik atau tidak?

[caption caption="Sumber gambar: amosh.com"]

[/caption]Tanpa sadar teknologi mempengaruhi sifat narsis manusia. Seakan-akan semua orang ingin tampil  melebihi yang sebenarnya. Lihatlah perbedaan antara foto yang menggambarkan satu event dengan foto yang sebenarnya. Jauh bukan? Tapi banyak yang tidak perduli. Malah sering dibumbui dengan aksi aneh dan konyol. Sering pula ditambah dengan ekstrim, seperti memamerkan binatang buruan yang sebenarnya tidak layak untuk dibunuh? Tentu anda pernah melihat foto yang demikian bukan? Lalu bagaimana anda harus diam dan tidak melontarkan kritik bukan? Wajar kita bereaksi, tapi apakah reaksi kita sudah tepat?

Banyak individu yang bertindak demikian bukan berniat untuk dikecam dan dihina. Tapi betapa jauhnya antara keinginan pikirannya dengan kejadian yang muncul bukan? Siapakah yang bersalah disini? Sang individu atau lingkungan yang merespon tindakannya?

Berkaca dengan kasus siswi SMA tadi, tidak perduli apakah kita bertindak secara online atau offline, jika aktivitas kita terekam oleh orang lain maka kemungkinan untuk dapat reaksi dari orang lain sudah diambang mata. Apalagi jika perbuatan itu buruk, sedangkan perbuatan baik saja tetap ada yang mengecam dengan segala tudingan dan tuduhan yang tidak berdasar seperti pencitraan, munafik, dsb.  Kenapa bisa demikian? Ya seperti yang saya bahas sebelumnya. 

Teknologi membuat banyak diantara kita menjadi tidak paham berkomunikasi dengan benar. Banyak dari kita yang mengira bisa bersembunyi dibalik ikon gambar  atau data diri palsu yang dibuat dengan sengaja. Atau kita bisa mengelak mengakui kata-kata yang kita ketik dengan alasan bukan saya atau account saya dihack atau semacamnya. Tapi berapa banyak dari kita yang sadar, begitu sudah ada di internet maka semuanya relatif akan berada disana selamanya? Setidaknya untuk jangka yang sangat panjang!

Sepertinya banyak diantara kita menyamakan dunia offline seperti dunia online. Semudah mengklik mouse atau semudah mengetik tombol, semudah itu pula kita bereaksi terhadap apapun yang kita tidak sukai. Reaktif dan spontan. Tanpa memikirkan akibatnya lebih panjang. Apalagi memikirkan cara yang lebih elegan untuk melakukannya. 

Reaksi kita jadi lebih mirip seperti mesin, lebih mirip tombol mekanik tepatnya, kalau tidak ON ya pasti OFF. Kalau tidak suka ya benci. Kalau tidak memuji ya menghina. Tidak ada kenetralan atau bentuk lainnya. Sulit menemukan sifat manusiawi belakangan ini di berbagai komentar netizen bukan? Contohnya seperti kalangan hater dan lover dari tokoh politik negeri kita misalnya.

Sayangnya, teknologi pula yang membuat semua "suara" sangat mudah menyebar. Ketika sebuah berita buruk atau baik menyebar, maka gelombang berikutnya akan muncul sesuai dengan pemicunya. Sering pula gelombang berikut malah tidak sesuai dengan awal. Dalam arti, semakin membuatnya jauh dari kebenaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun