Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dampak Media Sosial Dalam Politik

28 Maret 2016   14:57 Diperbarui: 28 Maret 2016   21:57 2810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: ivn.us"][/caption]

Salah satu isu yang terus menghangat belakangan ini adalah masalah soal kandidat pemilihan untuk DKI1. Walau masih jauh masa kampanye dan pemilihan tapi hawa panasnya sudah terasa saat ini. Sebagai pengamat politik amatiran saya mencoba menghubung-hubungkan antara satu titik ke titik lain, alias cocokologi.. Hehehe. Sesekali bahas yang ringan ndak apa-apa toh?

Tapi karena masuk ke masalah pembahasan media sosial dan politik maka saya masukkan artikel ini ke kategori teknologi. Maklumlah, kalau sebagai pengamat politik saya bisa kena bully nanti. Tapi kalau sebagai pengamat teknologi sepertinya saya masih ada satu dua amunisi untuk menjawab.

Seperti biasa untuk isu sensitif bin ajaib, saya beri disclaimer dulu:

Pembahasan disini tidak menunjukkan arah politik saya untuk isu DKI1. Artikel ini bukan pesanan dari relawan tertentu dan bukan untuk mendiskreditkan relawan tertentu pula. Kemudian, pembahasan dilakukan secara santai dan ringan. Maksud utama buat membuka mata para pembaca dan bukan membangunkan kalangan pembenci  maupun menyenangkan kalangan pemuja.

Awal Ketertarikan

Saya tertarik dengan peran media sosial saat ini terhadap perkembangan politik di tanah air. Kebetulan isu DKI1 bisa saya jadikan contoh kasus yang terus memanas sampai sekarang. Selain media cetak dan televisi yang sudah menjadi media umum, ketertarikan saya pada media sosial dan dampaknya adalah karena pengguna internet di Indonesia (mencapai 83 juta pengguna di tahun 2015), pengguna social media aktif (72 juta akun) dan pengguna smartphone sudah cukup tinggi (mencapai 95.8 juta) menurut wearesocial.org dari total penduduk 255,5 jiwa. Tapi, apakah ada efek dari penetrasi teknologi ini terhadap komunikasi politik dan penyebaran pengaruhnya? Disini awal ketertarikan saya.

Banyak diantara kita yang menyadari dari kegunaan media sosial terhadap aktivitas sehari-hari. Baik pribadi dan bisnis juga. Tapi bagaimana dengan politik. Apakah ada pengaruhnya? Dan kalau ada sampai seberapa besar dampaknya?

Contoh Sukses

Kisah Obama memanfaatkan media sosial bisa jadi contoh kasus sukses. Presiden Amerika ini sukses memanfaatkan penggunaan internet dan media sosial ketika masa kampanyenya saat mencalonkan diri. Mulanya hanya terdiri dari 11 orang dari 30 anggota tim yang khusus menyasar media sosial dan bertambah sampai kampanye berakhir. Dalam strateginya, Obama hanya memilih beberapa platform yang paling signifikan pengaruhnya. Selain media sosial, tim Obama juga memanfaatkan berbagai media lain seperti website, email, video dan platform mobile.

Beberapa poin pencapaian diraih seperti event marketing via mobile terbesar yang pernah terjadi sampai saat ini (dinilai oleh Nielsen Mobile). Bahkan ketika ada event di stadium Denver Mile’s High untuk Konvensi Nasional Democratic, sebanyak 30.000 mendaftar online sembari menunggu pidatonya. Penggunaan aplikasi Iphone juga ada untuk menginformasikan berbagai info dan update terbaru serta kontak yang bisa dihubungi para pendaftar maupun sukarelawan.

Kalau Obama adalah contoh sukses dari pemilihan kandidat pemimpin, lalu bagaimana dengan kondisi politik lainnya? Apakah media sosial bisa memberi dampak juga?

Kasus protes di Tunisia pada Desember 2010 bisa menjadi contoh kasus. Uniknya, protes ini menjadi efek domino sejalan dengan menyebarnya isu dan informasi dengan fasilitas media sosial. Protes dari pemuda bernama Mohamed Bouazizi yang membakar dirinya karena kekecewaan yang mendalam (detail dirinya disini) akhirnya menyulut revolusi Tunisia. Walau sensor internet yang ketat diberlakukan, akhirnya Presiden Tunisia saat itu turun dari kursinya akibat dari desakan masyarakat. Kesuksesan revolusi Tunisia tidak terlepas dari dampak sirkulasi berita, gambar dan video yang beredar di media sosial. Singkat cerita, kesuksesan revolusi ini menyulut ke negara-negara arab (dikenal dengan istilah Arab Spring).

Contoh gerakan sejenis dengan revolusi Tunisia terjadi di Mesir. Sekitar 90.000 penduduk Mesir mendaftarkan diri via Facebook untuk ikut dalam protes yang diselenggarakan para aktivis. Pelarangan penggunaan internet tidak bisa menghalangi publik untuk memberikan maupun mendapatkan informasi dan berita secara cepat serta tanpa sensor. Husni Mubarak betul-betul diekspose kelemahannya baik kepada lawan politik dan dunia.

Kini kita melihat semakin sering media sosial dan platform lainnya digunakan untuk menggerakkan massa. Penghimpunan opini dan pembentukan persepsi juga terlibat didalamnya. Contoh kasus adalah ketika sekelompok penggiat IT di India melakukan kampanye dengan membuat website untuk melawan korupsi yang merajalela. Kampanye ini memuat berbagai berita dan video yang didapat dari televisi. Niat mereka adalah membangun opini dan kesadaran akan apa yang terjadi di negeri mereka.

Namun kenyataannya,tidak hanya berita yang benar saja beredar di internet, berita hoax pun ikut bermunculan dan bergentayangan. Tapi tidak untuk masa yang lama. Pada akhirnya informasi yang benar akan muncul juga. Hal ini terjadi karena interaksi yang terus menerus dari para penggunanya. Sehingga informasi yang palsu relatif akan ketahuan dan berita tentang kebenarannya akan cepat beredar pula.

Kejadian di Indonesia

Nah, kita lihat dengan Indonesia sekarang. Khususnya di DKI Jakarta yang saat ini menjadi trendsetter suhu politik untuk pemilihan Gubernur. Iseng-iseng saya mengunjungi berbagai situs terkait dari beberapa calon terpopuler dilihat dari pemberitaan selama ini. Saya mencoba melihat bagaimana kondisinya dan seperti yang saya sebutan di awal, saya analisa secara santai. Namanya saja cocokologi, tentu jangan dianggap terlalu seriuslah.

Pertama, karena media sosial mayoritas penggunanya anak muda, maka saya melihat keterkaitan antara kepopuleran seorang kandidat dengan sepak terjang relawannya. Artinya, kalau tokohnya populer maka publik akan cenderung menyukainya. Setidaknya dari kalangan netizen. Ternyata saya mendapati kondisi seperti berikut:

Saya mengambil data dari Facebook (20 Maret 2016) dan menemukan jumlah “LIKE” untuk

  • Teman Ahok: 210.905
  • Bukan Teman Ahok: 21.695
  • Sahabat Sandiaga: 17.960
  • Forum Peduli Jakarta: 117

Yang lucu adalah jumlah LIKE dari Bukan Teman Ahok bisa mengungguli Sahabat Sandiaga. Apakah ini berarti yang benci sama Ahok lebih banyak dibanding yang suka sama Sandiaga? Atau kebencian sama Ahok lebih sukses dibanding kepopuleran Sandiaga?

Ahhh... namanya aja kunjungan jalan-jalan. Itupun sebagian kok yang saya ambil, hanya dari fanpage resmi, kecuali fanpage Bukan Teman Ahok yang unik menurut saya. Sangkin bencinya sampai mengalahkan fans dari kandidat lainnya hehehe...

Yang paling aneh adalah dari Forum Peduli Jakarta. Selain terkesan ala ortu atau jadul, forum fanpage untuk Adhiyaksa ini terkesan tidak diurus dan hanya mendapatkan 117 LIKE.

Bagaimana dengan Haji Lulung? Saya kesulitan menjejak langkahnya di Facebook dan juga relawan yang mendukungnya. Jadi tidak ada data. Termasuk Ahmad Dani. Mungkin karena saya kurang dapat info kali? Entahlah.

Kita lanjut ke platform Twitter. Kembali lagi Teman Ahok menduduki peringkat pertama. Jumlah Twitter Follower yang saya dapat sbb:

  • @temanahok: 54.1K
  • @sahabatSSU: 206
  • @SSUforDKI1: -not found
  • @save_hajilulung: 1770

Anda bisa lihat perbedaan yang jauh antara @temanahok dan @sahabatSSU (Sandiaga) dan @save_hajilulung? Bagaimana dengan jumlah dari twitter resmi Sandiaga yaitu @SSUforDKI1?

Bagaimana dengan Instagram? Seperti yang kita ketahui orang Indonesia lagi ngefans berat sama platform ini. Iseng saya coba dan ini angka yang saya dapatkan:

  • Teman Ahok: 36.2K
  • Sahabat Sandi: 119
  • Save_Hajilulung: 760
  • SukaHajiLulung2017: 188

Saya tidak tahu mana yang menjadi official account untuk Haji Lulung, jadi saya ambil saja keduanya. Dan tampaknya pak Haji lebih populer dibanding Sandiaga Uno. Tapi keduanya tidak ada apa-apanya dibanding dengan Teman Ahok yang mencapai 36.200. Wow...

Tiga platform itu (Facebook, Twitter dan Instagram) adalah platform media sosial yang populer. Dan sepertinya semua kandidat sudah memiliki fans atau relawan di tiap platform. Bagaimana dengan kandidat lain seperti Djarot dan Ahmad Dani? Katakanlah saya kurang update untuk kandidat lainnya, tapi kok sepertinya saya tidak yakin jumlahnya cukup tinggi karena kepopuleran dari relawan tidak cukup tinggi. Boro-boro tinggi, lha linknya aja susah didapat. Ngga coyo? Coba googling aja.. paling masuk ke media berita dan hanya dapat berita “katanya akan....” dan “menurut pengakuannya...” tanpa ada link dan data angka yang bisa dibuktikan.

Analisis Cocokologi

Mari kita mencocok-cocokkan..

Melihat keunggulan dari Teman Ahok diatas, sulit untuk tidak bisa menerima kalau sirkulasi berita, gambar dan video yang mendukung aktivitas Ahok pasti lebih banyak, lebih ramai dan lebih mempengaruhi. Bayangkan sendiri perbandingan terdekat hanya 1:10. Lha gimana mau menang?

Kita cocokkan lagi, siapa teman-teman Ahok itu? Kalangan anak muda yang notabene sudah sangat fasih main media sosial menggunakan smartphone. Tentu relawan yang lain juga begitu. Tapi angka yang jauh ini dampaknya luas. Satu berita yang disebarkan lebih mempengaruhi teman-temannya. Satu video yang diklik dan ditandai LIKE akan lebih memberikan persepsi bagus kepada pengunjung lain. Perlahan-lahan akan mempengaruhi orang lain juga.

Tapi bukan hanya relawan pendukung yang bisa begitu. Kelompok penentang juga bisa, tuh lihat kelompok Bukan Teman Ahok. Fanpage relawan Sandiaga Uno saja kalah jumlahnya.

Apakah kondisi ini menguntungkan Ahok? Ya sudah pasti. Berita bagus akan menambah dukungan kepadanya. Berita burukpun akan menambah popularitasnya? Kok Bisa? Ya bisa aja, toh perbandingan 1:10 membuat banyak berita negatif akan mudah dipukul mundur oleh penggemarnya.

Penentang bisa saja teriak kesal sampai usus diperut nyendul keluar, tapi itu tidak akan bisa mengubah persepsi. Penentang bisa saja berteriak tidak adil dan mengeluarkan semua aturan, ketentuan sampai sumpah serapah tujuh turunan tapi tidak akan bisa melawan persepsi yang terbangun. Selanjutnya tudingan akan diarahkan ke media yang memihaklah atau yang lebih konyol ada konspirasi dibalik relawan tertentu. Ya memang pasti ada dong. Tapi sering bukan seperti yang dituduhkan.

Media sosial adalah platform komunikasi. Hanya tools yang bisa menjadi katalisator saja. Tidak kurang dan tidak lebih. Yang lebih berpengaruh adalah manusia yang mengerti akan kegunaannya dan memanfaatkan semaksimal mungkin. Jadi kalau fanpage, follower sedikit maka yang salah adalah para relawan pendukungnya. Mungkin kurang antusias, kurang pede, kurang dana sampai kurang motivasi dan pemahaman. Nah pemahaman dan motivasi ini tidak bisa dibangun instan berbasis order dan duit. Dari contoh kasus Obama, nampak strategi tertentu. Coba anda lihat kembali dan temukan kandidat mana yang tidak aktif relawannya? Artinya mereka tidak pakai strategi.

Kenapa Teman Ahok militan dan sangat agresif? Jawaban mudahnya adalah: ada konspirator yang mendanai gerakan itu. Hahaha... tipikal sekali. Kalau anda masuk ke kategori ini berarti anda lupa pelajaran dari kasus Tunisia, Mesir dan India. Motivasi penggeraknya adalah orang-orang yang ingin akan perubahan. Di Tunisia karena kecewa lalu membakar dirinya. Tidak harus seperti itu sebenarnya. Tapi mungkinkah ada pembenci Ahok yang mau berkorban? Sepertinya dari relawan tidak? Tapi anu... katanya ada yang mau loncat dari Monas ya? Duh.. semoga kalau berhasil bisa membuat Ahok semakin dibenci. Asal benar-benar dilakukan... bukan asal bunyi alias asbun.

Nah, soal ASBUN ini sebenarnya para netizen yang ada di Indonesia bisa kok memilih mana tokoh asbun dan mana yang tidak. Saya pribadi tidak melihat Ahok masuk kategori asbun, lagian dia kan kasar dan suka memaki, plus melakukan apa yang dia omongin kok. Jadi lolos dari asbun. Bagaimana dengan Haji Lulung? Sayangnya banyak yang mempersepsikan bapak kita yang satu ini masuk kategori asbun. Mulai dari kasus UPS, Lamborghini, Kalijodo, Posko Relawan, dsb. Belum ada yang bisa direalisasikan.

Bagaimana dengan Adhiyaksa. Sayang sekali, tokoh yang tidak lagi muda plus berkumis cukup tebal ini tidak mampu mengambil simpati anak muda karena membawa isu agama. Sayangnya tidak bisa lagi direcovery ulang ucapannya soal itu dan menimbulkan antipati dari netizen.

Apalagi Ahmad Dani, kesuksesan di dunia musik ternyata tidak bisa menarik opini positif dari anak muda. Sudah itu saja. Saya malah ngga demen bicarain Dani... rada gimana gitu.. hehehe

Relawan Online

Susah-susah gampang membangun relawan. Seperti membangun komunitas, relawan harus punya visi yang jelas dan tentu dituang dalam misi yang terukur. Sepertinya yang memiliki ukuran masih relawan Ahok. Silahkan kunjungi websitenya dan lihat bagaimana metrik pengumpukan KTP diberlakukan. Sebagai pengunjung website, anda akan mudah melihatnya dan mendapatkan persepsi kalau pencapaiannya sangat positif. Itu otomatis membangun optimisme. Lalu lihatlah bagaimana strategi penempatan posko mereka. Bagamana relawan ini mengambil momen gambar dan para selebriti dalam acaranya. Bagaimana mereka melakukan aktivitas pengumpulan dana dan berbagai kreativitas pendukung lainnya.

Tidak mungkin semua itu hanya didasarkan dana saja. Semua itu membutuhkan otak dan kreativitas serta yang terutama adalah simpati dan kepercayaan terhadap kandidat yang diusung. Jadi, angka-angka diatas secara tidak langsung bisa dibaca sebagai wujud keyakinan para netizen atau publik pendukung Ahok. Nah, itu yang harus dipikirkan oleh kandidat lain.

Strategi apa, cara bagaimana, sistem apa yang akan dibuat untuk berkompetisi dengan relawan Teman Ahok? Bukan malah mengumbar kata-kata asbun di media. Sungguh membuat banyak orang tertegun dan ketawa melihatnya.

Begitu anda masuk ke website Teman Ahok, maka hanya dalam beberapa saat anda sudah bisa menebak kalau batas 1 juta bakal bisa dicapai sebelum batas waktu. Saya mengunjungi beberapa kali situs tersebut dalam beberapa minggu terakhir ini dan selama itu pula saya selalu melihat pencapaian pengumpulan KTP selalu melewati 200% diatas target. Bahkan ada hari tertentu mencapai 300%.

Jika kandidat lain memang memiliki konsultan politik, maka mereka akan memberikan nasehat yang berbeda kepada kandidatnya. Mereka akan menyarankan untuk tidak menghina Ahok karena hanya akan membuatnya semakin populer. Dan sepertinya konsultan politik atau internal beberapa partai sudah sadar akan hal itu serta memberikan saran agar partai mendukung Ahok.

Media sosial sangat berpotensi menjadi gelombang informasi dan opini. Mobilisasi massa kini lebih mudah dengan media sosial dan tentu biayanya juga sangat terjangkau kalau tidak bisa gratis. Selain itu, ekspos media sosial sangat cepat mengambil reaksi dari publik. Jika tidak dilakukan dengan baik maka legitimasi dan reputasi seorang kandidat bisa merosot dengan cepat.

Kesimpulannya, jaman sekarang sebaiknya berpikir dan bertindak pakai data dan angka sebagai fakta. Bukan menggunakan tudingan SARA, hinaan dengan kebencian. Jaman seperti itu sudah tidak bisa lagi meyakinkan publik. Setidaknya itu menurut cocokologi saya sih.

Bagaimana dengan pendapat anda? Mungkin anda punya opini lain?

 

Catatan untuk transparansi pembaca:
Artikel ini juga menjadi bahan eksperimen saya untuk melihat seberapa besar pengaruh media sosial terhadap penyebaran informasi. Kita akan lihat seberapa banyak artikel ini menyebar.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun