Contoh gerakan sejenis dengan revolusi Tunisia terjadi di Mesir. Sekitar 90.000 penduduk Mesir mendaftarkan diri via Facebook untuk ikut dalam protes yang diselenggarakan para aktivis. Pelarangan penggunaan internet tidak bisa menghalangi publik untuk memberikan maupun mendapatkan informasi dan berita secara cepat serta tanpa sensor. Husni Mubarak betul-betul diekspose kelemahannya baik kepada lawan politik dan dunia.
Kini kita melihat semakin sering media sosial dan platform lainnya digunakan untuk menggerakkan massa. Penghimpunan opini dan pembentukan persepsi juga terlibat didalamnya. Contoh kasus adalah ketika sekelompok penggiat IT di India melakukan kampanye dengan membuat website untuk melawan korupsi yang merajalela. Kampanye ini memuat berbagai berita dan video yang didapat dari televisi. Niat mereka adalah membangun opini dan kesadaran akan apa yang terjadi di negeri mereka.
Namun kenyataannya,tidak hanya berita yang benar saja beredar di internet, berita hoax pun ikut bermunculan dan bergentayangan. Tapi tidak untuk masa yang lama. Pada akhirnya informasi yang benar akan muncul juga. Hal ini terjadi karena interaksi yang terus menerus dari para penggunanya. Sehingga informasi yang palsu relatif akan ketahuan dan berita tentang kebenarannya akan cepat beredar pula.
Kejadian di Indonesia
Nah, kita lihat dengan Indonesia sekarang. Khususnya di DKI Jakarta yang saat ini menjadi trendsetter suhu politik untuk pemilihan Gubernur. Iseng-iseng saya mengunjungi berbagai situs terkait dari beberapa calon terpopuler dilihat dari pemberitaan selama ini. Saya mencoba melihat bagaimana kondisinya dan seperti yang saya sebutan di awal, saya analisa secara santai. Namanya saja cocokologi, tentu jangan dianggap terlalu seriuslah.
Pertama, karena media sosial mayoritas penggunanya anak muda, maka saya melihat keterkaitan antara kepopuleran seorang kandidat dengan sepak terjang relawannya. Artinya, kalau tokohnya populer maka publik akan cenderung menyukainya. Setidaknya dari kalangan netizen. Ternyata saya mendapati kondisi seperti berikut:
Saya mengambil data dari Facebook (20 Maret 2016) dan menemukan jumlah “LIKE” untuk
- Teman Ahok: 210.905
- Bukan Teman Ahok: 21.695
- Sahabat Sandiaga: 17.960
- Forum Peduli Jakarta: 117
Yang lucu adalah jumlah LIKE dari Bukan Teman Ahok bisa mengungguli Sahabat Sandiaga. Apakah ini berarti yang benci sama Ahok lebih banyak dibanding yang suka sama Sandiaga? Atau kebencian sama Ahok lebih sukses dibanding kepopuleran Sandiaga?
Ahhh... namanya aja kunjungan jalan-jalan. Itupun sebagian kok yang saya ambil, hanya dari fanpage resmi, kecuali fanpage Bukan Teman Ahok yang unik menurut saya. Sangkin bencinya sampai mengalahkan fans dari kandidat lainnya hehehe...
Yang paling aneh adalah dari Forum Peduli Jakarta. Selain terkesan ala ortu atau jadul, forum fanpage untuk Adhiyaksa ini terkesan tidak diurus dan hanya mendapatkan 117 LIKE.
Bagaimana dengan Haji Lulung? Saya kesulitan menjejak langkahnya di Facebook dan juga relawan yang mendukungnya. Jadi tidak ada data. Termasuk Ahmad Dani. Mungkin karena saya kurang dapat info kali? Entahlah.
Kita lanjut ke platform Twitter. Kembali lagi Teman Ahok menduduki peringkat pertama. Jumlah Twitter Follower yang saya dapat sbb:
- @temanahok: 54.1K
- @sahabatSSU: 206
- @SSUforDKI1: -not found
- @save_hajilulung: 1770