[caption caption="Sumber Gambar: Kompas.com - Reuters"][/caption]Menarik sekali melihat kejadian demo para supir taksi hari ini. Sekilas kita melihat 2 hal yang bertentangan yaitu industri yang sudah mapan (perusahaan taksi) dan industri digital yang membuat terobosan (disrupt innovation) seperti Uber. Pro dan kontra segera merebak kembali setelah beberapa waktu sempat menyeruak ke publik. (baca beritanya disini)
Pada artikel pertama saya di Kompasiana tahun lalu, saya membahas mengenai Uber dan Gojek dari pandangan startup. Saya sempat membahas mengenai aspek legal hukum dari on-demand application seperti Uber atau Gojek misalnya. Tidak dipungkiri kalau terobosan yang dilakukan oleh industri startup digital banyak yang mengganggu pola bisnis biasa.
Contohnya sudah bisa dilihat seperti AirBnB dengan jaringan hotel online terbesar didunia, Whatsapp yang mematikan BBM messenger & SMS misalnya. Itu hanyalah 2 contoh dari brand yang paling dikenal saat ini disamping banyak brand lain di berbagai industri. Walau negeri kita masih banyak berkutat di bidang e-commerce, tapi beberapa pengikut model on-demand berbasis lokal sudah mulai melebarkan sayapnya seperti Gojek misalnya.Â
Menurut saya, tidak akan lama lagi kalau aplikasi on-demand berbasis bisnis lain seperti laundry, service umum, healthcare akan mulai diminati oleh user lokal. Hanya tinggal waktu saja.
Perusahaan Taksi atau Perusahaan Digital?
Mari kita mulai pembahasan disini. Menurut anda, apakah Uber itu perusahaan transportasi atau perusahaan teknologi? Disini masih ada kerancuan dan salah persepsi. Itulah sebabnya kenapa Pak Ahok mengatakan bahwa penutupan aplikasi Uber ada pada Menkominfo (beritanya disini). Para supir taksi mendemo pemda DKI karena mengira bahwa urusan transportasi seperti taksi ada pada mereka. Ketika Kadishub menjelaskan kepada para pendemo akhirnya mereka beralih ke Istana dan Kemenkominfo (beritanya disini).
Jika Uber dimasukkan ke jenis perusahaan transportasi umum seperti taksi, maka sudah sewajarnya tuntutan keadilan dari para pengemudi layak didengarkan dan diperhatikan dengan dasar hukum dan undang-undang transportasi. Tapi bila mengacu kepada aturan maka Uber bukanlah perusahaan transportasi umum tapi perusahaan digital. Dan disinilah letak masalahnya.
Tanpa berniat menyalahkan siapapun, saya melihat ketidaksiapan para penentu kebijakan di kementerian terkait soal masalah seperti Uber dan Grab ini. Masih kita ingat bagaimana kasus Gojek tahun lalu sudah sempat muncul dan akhirnya terlupakan karena Bapak Jokowi masih memberikan keringanan.
Tapi apakah selanjutnya dipersiapkan aturan mainnya dengan lebih baik? Seperti biasa, banyak penentu kebijakan melakukan gaya "wait and see", sampai muncul masalah dan keresahan dulu baru ditangani. Baca saja artikel saya di bulan Juli 2015 lalu. Sudah hampir 8 bulan berlalu tapi tampaknya masalah masih itu-itu juga. Baru ditangani kalau sudah ada demo. Apakah pola penangan seperti ini efisien dan layak ditiru?
Secara logika, bila Uber dan Grab dimasukkan kedalam kategori perusahaan teknologi, maka sebenarnya sudah ada aturan undang-undang tentang tata cara pelaksanaan operasionalnya di Indonesia. Tapi mengapa tidak bisa diterapkan? Mengapa tidak bisa diputuskan apakah perusahaan ini adalah perusahaan transportasi (karena menggunakan armada mobil) atau perusahaan teknologi (karena menggunakan aplikasi online).
Atau sebenarnya pemerintah belum mudeng dengan model bisnisnya selama ini yang sudah membuat banyak perusahaan taksi global resah? Secara tidak langsung pola bisnis di Indonesia adalah: jalankan dulu tanpa peduli aturan, nanti kalau ada  masalah baru diurus? Itupun kalau ada yang ngurusin ya?