Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bisakah Aplikasi Uber & Grab Dihentikan?

14 Maret 2016   15:17 Diperbarui: 14 Maret 2016   18:56 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: Kompas.com - Reuters"][/caption]Menarik sekali melihat kejadian demo para supir taksi hari ini. Sekilas kita melihat 2 hal yang bertentangan yaitu industri yang sudah mapan (perusahaan taksi) dan industri digital yang membuat terobosan (disrupt innovation) seperti Uber. Pro dan kontra segera merebak kembali setelah beberapa waktu sempat menyeruak ke publik. (baca beritanya disini)

Pada artikel pertama saya di Kompasiana tahun lalu, saya membahas mengenai Uber dan Gojek dari pandangan startup. Saya sempat membahas mengenai aspek legal hukum dari on-demand application seperti Uber atau Gojek misalnya. Tidak dipungkiri kalau terobosan yang dilakukan oleh industri startup digital banyak yang mengganggu pola bisnis biasa.

Contohnya sudah bisa dilihat seperti AirBnB dengan jaringan hotel online terbesar didunia, Whatsapp yang mematikan BBM messenger & SMS misalnya. Itu hanyalah 2 contoh dari brand yang paling dikenal saat ini disamping banyak brand lain di berbagai industri. Walau negeri kita masih banyak berkutat di bidang e-commerce, tapi beberapa pengikut model on-demand berbasis lokal sudah mulai melebarkan sayapnya seperti Gojek misalnya. 

Menurut saya, tidak akan lama lagi kalau aplikasi on-demand berbasis bisnis lain seperti laundry, service umum, healthcare akan mulai diminati oleh user lokal. Hanya tinggal waktu saja.

Perusahaan Taksi atau Perusahaan Digital?

Mari kita mulai pembahasan disini. Menurut anda, apakah Uber itu perusahaan transportasi atau perusahaan teknologi? Disini masih ada kerancuan dan salah persepsi. Itulah sebabnya kenapa Pak Ahok mengatakan bahwa penutupan aplikasi Uber ada pada Menkominfo (beritanya disini). Para supir taksi mendemo pemda DKI karena mengira bahwa urusan transportasi seperti taksi ada pada mereka. Ketika Kadishub menjelaskan kepada para pendemo akhirnya mereka beralih ke Istana dan Kemenkominfo (beritanya disini).

Jika Uber dimasukkan ke jenis perusahaan transportasi umum seperti taksi, maka sudah sewajarnya tuntutan keadilan dari para pengemudi layak didengarkan dan diperhatikan dengan dasar hukum dan undang-undang transportasi. Tapi bila mengacu kepada aturan maka Uber bukanlah perusahaan transportasi umum tapi perusahaan digital. Dan disinilah letak masalahnya.

Tanpa berniat menyalahkan siapapun, saya melihat ketidaksiapan para penentu kebijakan di kementerian terkait soal masalah seperti Uber dan Grab ini. Masih kita ingat bagaimana kasus Gojek tahun lalu sudah sempat muncul dan akhirnya terlupakan karena Bapak Jokowi masih memberikan keringanan.

Tapi apakah selanjutnya dipersiapkan aturan mainnya dengan lebih baik? Seperti biasa, banyak penentu kebijakan melakukan gaya "wait and see", sampai muncul masalah dan keresahan dulu baru ditangani. Baca saja artikel saya di bulan Juli 2015 lalu. Sudah hampir 8 bulan berlalu tapi tampaknya masalah masih itu-itu juga. Baru ditangani kalau sudah ada demo. Apakah pola penangan seperti ini efisien dan layak ditiru?

Secara logika, bila Uber dan Grab dimasukkan kedalam kategori perusahaan teknologi, maka sebenarnya sudah ada aturan undang-undang tentang tata cara pelaksanaan operasionalnya di Indonesia. Tapi mengapa tidak bisa diterapkan? Mengapa tidak bisa diputuskan apakah perusahaan ini adalah perusahaan transportasi (karena menggunakan armada mobil) atau perusahaan teknologi (karena menggunakan aplikasi online).

Atau sebenarnya pemerintah belum mudeng dengan model bisnisnya selama ini yang sudah membuat banyak perusahaan taksi global resah? Secara tidak langsung pola bisnis di Indonesia adalah: jalankan dulu tanpa peduli aturan, nanti kalau ada  masalah baru diurus? Itupun kalau ada yang ngurusin ya?

Efisiensi VS Regulasi

Sayangnya yang sekarang menonjol adalah pertempuran pendapat antara yang berpihak kepada efisiensi akibat pemanfaatan teknologi melawan aturan atau regulasi yang disepakati secara umum. Sekilas memang aspek legal yang menjadi panglima, tapi kenyataan dilapangan bisa berbeda. Efisiensi lebih menjadi ukuran final.

Jangankan perusahaan taksi biasa, perusahaan teknologi pun harus kejar mengejar dengan efisiensi untuk bisa menjadi pemenang. Lihatlah perusahaan Nokia sebagai contoh, di era 2000-an awal masih merajai, tapi karena tidak sigap menyikapi pasar maka segera tersingkir dari kancah kompetisi tak sampai 10 tahun.

Teknologi memang selalu mengedepankan inovasi yang berbasis efisiensi dalam segala aspek operasionalnya. Penghematan waktu, proses, biaya sampai tenaga pelaku  menjadi ukuran utama. Lihat saja ke berbagai model bisnis berbasis teknologi seperti manufaktur mobil yang kini lebih berpusat pada robot.

Tenaga manusia di pabrik juga mulai digantikan mesin otomatis. Tenaga manusia semakin menjadi komoditas murah dan suka atau tidak terus tergeser oleh penemuan teknologi baru. Apakah bisa dibendung?

Bila regulasi dibenturkan untuk membendung inovasi di Indonesia, maka pertanyaannya adalah: sampai kapan dan apa dampaknya?

Sampai kapan pemerintah mau mendengar secara sepihak dari pihak pendemo tentang pemanfaatan aplikasi online untuk  model on-demand seperti itu? Bagaimana dengan teknologi sejenis untuk industri lain misalnya? Siapakah yang sebenarnya diutamakan dalam masalah ini? Hanya supir taksi sajakah? Atau berpusat kepada pelanggan taksi yang jumlahnya jauh lebih banyak dan sebagai konsumen berhak untuk memilih layanan yang disukai?

Jika diblokir, apakah ini tidak merugikan pelanggan secara umum? Mengapa harus bayar mahal kalau bisa murah? Mengapa pelanggan tidak berhak memilih yang disukai walaupun ada resiko tertentu didalamnya? Menaiki Uber bukan tidak memiliki resiko sebenarnya.

Kalau di luar  negeri terjadi beberapa kejadian yang tidak menyenangkan seperti kecelakaan maka ada masalah pertanggung jawaban disini. Mungkin mobil pengemudi Uber tersebut sudah diasuransikan, mungkin supirnya sudah dilindungi asuransi juga. Lalu bagaimana dengan penumpangnya?

Bagaimana aturan keselamatan dalam berkendara selama ini? Apakah Uber lebih aman dibanding taksi biasa? Apakah supirnya lebih ramah? Apakah semua faktor kenyamanan di taksi umum rela diminimalkan demi penghematan yang lumayan? Atau sebaliknhya, naik Uber malah tidak kalah nyaman, aman dan pasti lebih murah malah cepat bisa dipanggil?

Pendapat bisa beragam dan sulit untuk memastikan mana yang benar atau valid. Kecuali ada survey khusus untuk menangani hal tersebut. Sayangnya sampai sekarang belum ada lembaga yang mau meneliti kondisi seperti itu di lokal Indonesia. Atau itu sebenarnya ranah pemerintah dalam hal ini adalah Menkominfo? Kan lebih bermanfaat daripada sibuk blokir situs dewasa? Hehehe...

Pada akhirnya konsumen selalu menjadi pihak yang dirugikan. Nampak dari kejadian demo diatas, seakan-akan akibat penggunaan aplikasi online tersebut maka konsumen harus dibatasi naik taksi umum karena Uber tidak ikut aturan/regulasi yang diizinkan. Tapi sebenarnya hanya mengikuti aturan sajakah yang bisa dilakukan?

Berbenah & Berubah?

Sebagai pelaku di industri digital sebenarnya saya menyayangkan niat untuk memblokir Uber maupun Grab (baca beritanya disini). Selain bersifat panik dan prematur, jika kebijakan ini diterapkan maka semakin memperlihatkan bahwa pemerintah hanya bisa reaktif saja. Di zaman sekarang penggunaan bigdata, predictive analytics, dan berbagai metode statistik lainnya bahkan sudah bisa diterapkan untuk meramalkan masalah yang timbul di tengah masyarakat.

Tidak hanya masalah seperti keresahan sosial, namun masalah industri, masalah kenaikan harga, spekulasi pasar, dsb sebenarnya sudah bisa diprediksi sebelumnya. Kenapa teknologi seperti itu tidak diterapkan oleh pemerintah? Kenapa anak-anak muda yang paham dan bisa menerapkannya tidak direkrut saja?

Tapi pertanyaan sebenarnya tidak hanya kepada pemerintah sebagai penyedia infrastruktur dan regulasi. Tapi lebih kepada perusahaan taksi sebagai institusi/pelaku bisnis langsung. Mau seperti perusahaan Nokia yang tidak bisa mengantisipasi jaman? Apakah hanya bersandar kepada regulasi saja? Sampai kapan?

Bila kita perhatikan, berapa perusahaan lokal Indonesia yang coba menerapkan teknologi informasi kedalam bisnisnya. Dalam hal aplikasi pemanggilan taksi sudah berapa perusahaan yang anda ketahui memanfaatkannya? Lalu kenapa tidak bisa dianggap sebagai tool pendukung yang mau tidak mau harus ada bila mau berkompetisi? Hanya karena alasan membuat aplikasi seperti itu mahal? Berarti tidak berani bersaing dong. Masak main ngadu dan ancam pemerintah?

Apakah tidak ada yang bisa dibuat lebih efisien? Sehingga harga yang lebih murah bisa terjangkau? Apakah pemblokiran hanya tujuan akhir yang bisa dipikirkan? Tanpa mau berkaca dan berdiskusi di internal asosiasi pengemudi taksi: bagaimana menyikapi kemajuan teknologi tanpa harus menjadi korban? Tidak mudah memang, tapi sudahkah ada pembicaraan lebih intens dengan pemerintah dan berbagai lembaga terkait agar permasalahan penerapan teknologi seperti aplikasi pemanggilan taksi ini tidak lagi menjadi momok dan masalah?

Sampai artikel ini saya tulis, saya belum mendapatkan berapa persen sebenarnya biaya naik Uber lebih murah daripada taksi biasa? Berapa persen dampak kerugian secara totalnya? Artinya kita hanya bisa mendengar keluhan sepihak tanpa ada ukuran yang jelas. Bagaimana caranya agar publik tahu seberapa besar dampaknya? Baik dari segi kuantitatif dan kualitatif, baik kepada pengemudi taksi, perusahaan taksi maupun konsumen itu sendiri. Kalau tidak jelas, maka kembali lagi masalah ini hanya akan menjadi bahan debat berkepanjangan tanpa ada kejelasan yang bisa membuat semua pihak bisa menerima dan paham.

Masalah ini masih hanya berkutat di Jakarta? Bagaimana di kota lain di Indonesia?

Pada dasarnya teknologi hanyalah alat bantu dan tujuannya sering lebih kepada hal positif. Namun jika tidak diantisipasi dengan bijak, perubahan yang terjadi dengan pemanfaatan teknologi bisa menjadi tidak terkendali dan meresahkan. Pemblokiran mungkin bisa sebagai obat seketika namun dampaknya akan merugikan dalam jangka panjang.

Jumlah konsumen jauh lebih besar dibanding pengemudi taksi, tapi bukan berarti tidak bisa diberi pemahaman tentang pentingnya regulasi. Sebaliknya regulasi dibuat seharusnya bisa adaptif dan mengikuti perkembangan jaman, dengan kata lain sebaiknya pemerintah tanggap akan kondisi di publik dengan memanfaatkan berbagai teknologi untuk mendeteksi/meramalkan masalah yang mulai berkembang. Jangan hanya bergaya reaktif, tapi lebih menjemput bola dengan mengantisipasi dari awal. Untuk apa ada berbagai lembaga penelitian? Pasti bisa diberdayakan bukan?

Tapi pada akhirnya adalah keputusan bagi perusahaan taksi untuk berbenah. Mau terus demo dan ngambek? Atau mau berbenah? Lawan sebenarnya bukanlah teknologi, tetapi waktu. Dengan memanfaatkan teknologi, anda mencuri waktu secara analogi, kalau tidak bisnis anda akan tergerus oleh persaingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun