Efisiensi VS Regulasi
Sayangnya yang sekarang menonjol adalah pertempuran pendapat antara yang berpihak kepada efisiensi akibat pemanfaatan teknologi melawan aturan atau regulasi yang disepakati secara umum. Sekilas memang aspek legal yang menjadi panglima, tapi kenyataan dilapangan bisa berbeda. Efisiensi lebih menjadi ukuran final.
Jangankan perusahaan taksi biasa, perusahaan teknologi pun harus kejar mengejar dengan efisiensi untuk bisa menjadi pemenang. Lihatlah perusahaan Nokia sebagai contoh, di era 2000-an awal masih merajai, tapi karena tidak sigap menyikapi pasar maka segera tersingkir dari kancah kompetisi tak sampai 10 tahun.
Teknologi memang selalu mengedepankan inovasi yang berbasis efisiensi dalam segala aspek operasionalnya. Penghematan waktu, proses, biaya sampai tenaga pelaku  menjadi ukuran utama. Lihat saja ke berbagai model bisnis berbasis teknologi seperti manufaktur mobil yang kini lebih berpusat pada robot.
Tenaga manusia di pabrik juga mulai digantikan mesin otomatis. Tenaga manusia semakin menjadi komoditas murah dan suka atau tidak terus tergeser oleh penemuan teknologi baru. Apakah bisa dibendung?
Bila regulasi dibenturkan untuk membendung inovasi di Indonesia, maka pertanyaannya adalah: sampai kapan dan apa dampaknya?
Sampai kapan pemerintah mau mendengar secara sepihak dari pihak pendemo tentang pemanfaatan aplikasi online untuk  model on-demand seperti itu? Bagaimana dengan teknologi sejenis untuk industri lain misalnya? Siapakah yang sebenarnya diutamakan dalam masalah ini? Hanya supir taksi sajakah? Atau berpusat kepada pelanggan taksi yang jumlahnya jauh lebih banyak dan sebagai konsumen berhak untuk memilih layanan yang disukai?
Jika diblokir, apakah ini tidak merugikan pelanggan secara umum? Mengapa harus bayar mahal kalau bisa murah? Mengapa pelanggan tidak berhak memilih yang disukai walaupun ada resiko tertentu didalamnya? Menaiki Uber bukan tidak memiliki resiko sebenarnya.
Kalau di luar  negeri terjadi beberapa kejadian yang tidak menyenangkan seperti kecelakaan maka ada masalah pertanggung jawaban disini. Mungkin mobil pengemudi Uber tersebut sudah diasuransikan, mungkin supirnya sudah dilindungi asuransi juga. Lalu bagaimana dengan penumpangnya?
Bagaimana aturan keselamatan dalam berkendara selama ini? Apakah Uber lebih aman dibanding taksi biasa? Apakah supirnya lebih ramah? Apakah semua faktor kenyamanan di taksi umum rela diminimalkan demi penghematan yang lumayan? Atau sebaliknhya, naik Uber malah tidak kalah nyaman, aman dan pasti lebih murah malah cepat bisa dipanggil?
Pendapat bisa beragam dan sulit untuk memastikan mana yang benar atau valid. Kecuali ada survey khusus untuk menangani hal tersebut. Sayangnya sampai sekarang belum ada lembaga yang mau meneliti kondisi seperti itu di lokal Indonesia. Atau itu sebenarnya ranah pemerintah dalam hal ini adalah Menkominfo? Kan lebih bermanfaat daripada sibuk blokir situs dewasa? Hehehe...