Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Apakah Startup Cocok untuk Semua Wirausaha IT?

10 Maret 2016   22:37 Diperbarui: 11 Maret 2016   09:54 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: 123rf"][/caption]Banyak mahasiswa IT yang berpendapat bahwa wirausaha IT itu adalah bentuk lain dari startup. Untuk menyederhanakan cerita istilah itu sering digunakan banyak pihak. Sebenarnya tidak seperti itu analogi penyederhanaannya. Startup bisa dianggap bagian dari bentuk wirausaha IT tapi jenisnya sangat berbeda dan banyak sekali yang tidak bisa disamakan dengan bisnis wirausaha IT lainnya. Misalnya membuat layanan membuat website sebagai contoh kasus. Developer yang membuat website bisa dikategorikan ke dalam bisnis wirausaha IT. Tapi bila disandingkan dengan jenis startup yang mengembangkan aplikasi berbasis web sekalipun tetap berbeda.

Saya menuliskan artikel ini untuk memberikan perspektif yang benar tentang startup dan menjawab pertanyaan mengenai apakah startup cocok untuk semua pebisnis/penggiat IT?

Secara ringkas, startup adalah entitas bisnis yang sedang mencari bentuk model bisnis berbasis IT dengan kondisi yang minim (jumlah SDM, modal kerja, pengalaman, dsb) dengan kondisi riil dalam kondisi ekstrim (kompetitor, pasar dinamis, dsb).

[caption caption="Sumber gambar: 123rf.com"]

[/caption]

3 Bagian Ideal

Startup didirikan oleh beberapa orang yang sebaiknya menangani 3 bagian penting: teknis, bisnis dan desain. Minimal bagian teknis dan bisnis harus ada. Tanpa adanya tim yang khusus untuk menangani minimal 2 bagian itu, maka sebuah kelompok orang masih sulit dikategorikan sebagai sebuah startup. Artinya, walaupun founder-nya berlatar belakang teknis, maka sejak awal harus sudah terbagi ke dalam 2 bagian yang menangani 2 hal terpisah.

Apakah founder tunggal tidak diterima? Untuk sementara bisa, tapi sesegera mungkin harus mencari anggota tambahan yang pada akhirnya harus menangani 3 bagian yaitu teknis. bisnis dan desain. Tanpa ketiganya bisa dikatakan startup akan cenderung cepat mati. Secara statistik, banyak startup yang gagal karena tidak berhasil meletakkan orang yang tepat untuk tiap-tiap bidang secara terpisah.

Sampai saat ini, masih banyak startup yang hanya fokus ke masalah teknis tanpa memedulikan bagian bisnis dengan baik. Bahkan banyak di antaranya yang cenderung menangani sekadarnya saja. Padahal pada realitasnya ketiganya harus bisa sejalan. Dalam kondisi awal 2 bagian masih bisa diterima tapi tidak untuk masa yang lama karena akan segera menemukan banyak kendala yang harus ditangani oleh bagian yang muncul belakangan.

Salah satu alasan pelaku startup adalah karena susahnya menemukan orang yang tepat untuk bisnis atau desain misalnya. Memang kebanyakan startup dijalankan oleh orang teknis (programmer sebagai contoh). Dengan mindset orang teknis seperti itu, maka sudah lumrah kalau mereka kesulitan mencari untuk bisnis atau desain. Geek merupakan individu yang cenderung tidak terlalu terbuka untuk orang yang di luar komunitasnya sendiri. Bukan karena tidak percaya, tapi lebih karena kebiasaan bergaul yang cenderung monoton.

Latah Vs Serius

Tidak bisa dipungkiri banyak startup didirikan karena latah. Ingin terlihat beken dan kekinian maka dibangunlah startup. Dari sudut wirausaha memang tidak masalah karena yang penting adalah dimulai dari niat. Sayangnya banyak yang tidak mengembangkan lebih lanjut ke tahap berikutnya yaitu serius.

Pada level serius sebuah startup harus didirikan dengan beberapa ketentuan. Sebagai referensi metodologi, Lean Startup bisa digunakan sebagai salah satu ketentuan yang bisa dijadikan landasan. Tapi tahukah anda berapa persentase startup yang menjalankan bisnisnya dengan serius dan dengan menerapkan sebuah metodologi? Sangat kecil faktanya. Jadi tidak heran kenapa banyak startup pemula yang gulung tikar dalam jangka 1 tahun sejak berdiri.

Selain masalah metodologi sebagai acuan kerja, salah satu penyebab startup yang sering saya lihat menjadi sandungan adalah kualitas dari para founder. Hanya dengan bermodal latar belakang pendidikan IT, punya sedikit skill dan segudang nafsu, lalu tanpa ba-bi-bu buat startup. Jagoan untuk aksi awal, sayangnya aksi selanjutnya, ya tetap seperti itu.

Banyak founder yang keras kepala dan cenderung egois. Bahkan sampai sudah menerima funding sekalipun masih suka berkutat dengan isi kepala sendiri. Di sinilah perlunya bimbingan mentor dan penerapan dari acuan/metodologi tadi yang digunakan sebagai tolak ukur dari semua tindakan tim kerja.

[caption caption="Sumber Gambar: startupquotes.startupvitamins.com"]

[/caption]

Sering founder merasa sudah cukup beken dan membuat banyak alasan untuk kegagalan mereka dalam mengeksekusi operasional startupnya. Mulai dari fokus ke fitur, asyik di masalah teknis, tidak mengacuhkan bisnis dan pemasaran serta ketidakmauan belajar atau mengevaluasi insight yang sudah didapat selama ini.

Bila startup anda masih berjalan di tempat, silakan evaluasi lagi startup anda baik dari sisi founder maupun penerapan metodologinya. Jangan cari alasan mengenai keterbatasan funding dan segala macam. Ingat, alasan tidak akan membawa startup anda kemana-mana selain hanya jalan di tempat. Kejadian ini masih terus berulang ke setiap startup pemula, seakan-akan sedikit startup yang mau belajar dari kegagalan startup lainnya.

Startup Vs UKM

Sebenarnya tidak ada yang beda menurut saya selain kebanyakan pegiat startup sering merasa lebih beken dibanding pelaku UKM biasa. Sayangnya hal itu bisa saya sebut fatamorgana. Kenapa? Saya berikan pendapat saya di sini.

Terlepas dari kecanggihan dan penggunaan teknologi di bidang startup, persentase kematian usaha lebih tinggi di startup dibanding bisnis UKM. Menjalankan startup juga lebih rumit, dinamis dan butuh effort yang tidak mudah. Bandingkan dengan menjalankan bisnis wirausaha IT biasa yang cenderung lebih sederhana dan tingkat sustainability-nya masih lebih tinggi. Apalagi dibanding dengan bisnis jualan burger misalnya. Lebih pasti dan menghasilkan uang.

Contoh di atas sengaja saya berikan karena banyak startup yang saya kenal memulai startup dengan kesombongan yang tersembunyi. Karena kelatahan dan gaya kekinian yang diikuti maka menjalankan startup dianggap sebagai pilihan yang tepat saat ini. Padahal seperti yang saya sebutkan tadi, menjalankan usaha jualan burger jauh lebih aman dan bisa lebih melebar ke berbagai area. Tidak percaya? Silakan tanya kepada juragan burger kelas mahasiswa. Maka saya yakin kalau founder startup akan iri melihat model bisnis mereka.

Apa yang bisa ditiru dari mereka sebagai bentuk bisnis? Sebuah usaha tetap menekankan kepada pemilihan produk yang memenuhi kebutuhan pelanggan dan dengan berbagai upaya bisnis baik dari peningkatan mutu dan bentuk pemasaran yang tepat. Jadi menjalankan startup hampir sama dengan bisnis UKM lainnya yaitu butuh inovasi, presisi penjadwalan, produksi, sampai pemasaran. Meliputi teknis, bisnis dan desain. Tidak bisa main sakarepe dewe (semaunya sendiri).

Artikel ini adalah artikel kesekian kalinya yang saya ulangi lagi karena masih ada beberapa startup ngeyel bertanya kepada saya soal mana lebih penting antara kemauan pasar versus fitur, inovasi atau prestasi, funding atau bootstrapping, dsb. Banyak hal yang harus dikerjakan dan dipikirkan selain membanding-bandingkan hal tersebut. Pilihan yang dilakukan oleh para founder haruslah meliputi banyak hal dan analisa. Itulah sebabnya kenapa startup dikatakan menghadapi kondisi ekstrim. Keterbatasan yang dimiliki tidak bisa dijadikan alasan untuk mundur, tapi tidak bisa pula dijadikan alasan untuk mengabaikan pentingnya berbagai hal pendukung.

Mengharapkan semua hal ideal tersebut bisa pada awal startup berjalan adalah kecil. Kebanyakan startup bermula dari ketidakidealan. Dan itulah tantangan sebenarnya, dan itu pula alasan saya mengapa startup bukan untuk semua wirausaha IT karena belum tentu wirausaha IT bisa mengatasi kondisi di atas.

 

Catatan: artikel ini telah dimuat di website penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun